“Apa itu Spending Review?”
“Apa yang direviu atau dianalisis?”
“Apa bedanya dengan Public Expenditure Review yang diterbitkan Bank Dunia?”
Mungkin itu pertanyaan-pertanyaan yang menunjukan rasa penasaran itu terbesit saat pertama kali mendengar Spending Review yang disusun dan diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan.
Fokus utama Spending Review adalah untuk efisiensi anggaran. Spending Review secara lugas menyebut angka yang harus dihemat karena terdapat inefisiensi anggaran. Hal ini berbeda dengan Public Expenditure Review yang dimiliki oleh Bank Dunia yang menyasar kebijakan makro dan cenderung lebih normatif.
Saat ini, terdapat tiga metode yang digunakan dalam Spending Review. Pertama adalah reviu alokasi. Reviu ini dilakukan dengan meneliti RKA-K/L untuk menemukan indikasi inefisiensi anggaran. Metode yang kedua adalah analisis benchmarking. Analisis dilakukan dengan membandingkan unit organisasi yang memiliki karakteristik serupa. Alat statistik yang digunakan adalah Data Envelopment Analysis (DEA). Dengan alat tersebut, akan diperoleh unit dengan kinerja terbaik (paling efisien). Unit tersebut dijadikan sebagai benchmark/frontier untuk mengukur efisiensi bagi unit-unit yang lain. Terakhir adalah analisis deviasi kebutuhan sebagai metode yang ketiga. Analisis ini dilakukan untuk menghitung efisiensi dengan membandingkan antara realisasi belanja operasional dengan kebutuhan riil belanja operasional.
Dari ketiga metode tersebut, yang paling menonjol dan paling banyak diperbincangkan adalah reviu alokasi. Perbincangan tentu seputar kewenangan dan manfaat dari reviu alokasi. Mengapa repot-repot “metani” RKA-K/L? Bukankah itu adalah kewenangan DJA yang sudah disahkan? Kalau sudah ketemu nilai inefisiensinya, lalu untuk apa?
Sebagai treasurer, seringkali mendapati SPM yang nilainya tidak realistis. Pembayaran honor yang merupakan tupoksi, nilai satuan barang melebihi standar biaya, dan sebagainya. Namun, KPPN tidak dapat menolak pencairan anggaran tersebut karena memang anggarannya sudah tercantum dalam DIPA.
Spending Review dibuat untuk menjembatani permasalahan tersebut. Pemborosan dalam anggaran berusaha dieliminir. Memang tidak bisa langsung dieksekusi oleh DJPBN. Hasil Spending Review menjadi bahan masukan pada trilateral meeting untuk penyusunan anggaran tahun berikutnya. Itulah yang DJPBN lakukan, seperti kata peribahasa, “Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuk kegelapan”.
Apakah cahayanya menyala? Pada tahun 2013, hasil Spending Review menjadi dasar penyesuaian anggaran baseline menjadi insiatif strategis senilai 40 triliun. Tahun ini, hasil Spending Review diminta Menteri Keuangan untuk dipresentasikan di rapat koordinasi terbatas (rakortas) yang dipimpin oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Jum’at (24/7). Peserta rapat cukup terkesan dengan hasil Spending Review tersebut. Selanjutnya, hasil Spending Review pun dilaporkan pada sidang kabinet yang dipimpin oleh Presiden Jokowi pada Senin (27/7). Angka inefisiensi yang dihasilkan oleh Spending Review digunakan sebagai bahan dalam penyusunan anggaran tahun 2016.
Atas capaian tersebut, melalui pesan singkat kepada pimpinan Dit. PA, Dirjen Perbendaharaan, Marwanto Harjowiryono mengapresiasi segenap jajaran Dit. PA dan Kanwil DJPBN atas kerja keras dalam menghasilkan kajian Spending Review. Ke depan, Dirjen Perbendaharaan mengharapkan terdapat penyempurnaan pada kajian Spending Review, “Sehingga bukan saja lebih bermanfaat bagi pengambilan keputusan, namun lebih dari itu dapat diperluas landasan teorical-nya” pesannya.
Tentu kita berharap dapat menindaklanjuti pesan Dirjen Perbendaharaan tersebut. Dengan kerja keras, kerja cerdas, kerja tuntas, dan kerja ikhlas kita akan dapat menghasilkan kajian Spending Review yang lebih bercahaya. Bravo Treasury Squad !!!
Oleh : Direktorat Pelaksanaan Anggaran, Direktorat Jenderal Perbendaharaan