Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) bukan hanya merupakan alat pertanggungjawaban keuangan pemerintah saja, tetapi juga merupakan indikator kredibilitas pemerintah yang tercermin dari transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Sehingga, penyusunan LKPP yang berkualitas bukan sekedar sebuah pilihan, melainkan telah menjadi sebuah tuntutan untuk dipenuhi.
Sebagai institusi yang salah satu tugas utamanya menyusun LKPP, Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (Dit. APK) tentu mempunyai tanggung jawab untuk merubah status disclaimer yang tersemat pada LKPP selama lima tahun terakhir. Dengan demikian, langkah-langkah apa saja yang telah, sedang dan akan dilakukan Dit. APK untuk mewujudkan tujuan tersebut, dapat disimak dalam materi wawancara www.perbendaharaan.go.id berikut dengan Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan (APK), Bapak Sonny Loho.
Sebagaimana telah dipublikasikan media massa bahwa Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini disclaimer terhadap LKPP 2008. Bagaimana tanggapan Bapak terkait hal ini?
Sebelumnya, perlu saya jelaskan bahwa terdapat empat opini hasil penilaian Laporan Keuangan (LK) suatu lembaga yakni Wajar tanpa Pengecualian (WTP) yang berarti semua LK dinilai wajar sepenuhnya. Lalu, Wajar Dengan Pengecualian (WDP) yaitu terdapat pos-pos tertentu saja yang dinilai tidak wajar. Berikutnya adalah disclaimer yang diberikan karena terdapat keadaan uncertainty. Terakhir, adversed dikeluarkan karena LK yang tidak wajar, baik karena ketidakpatuhan terhadap peraturan, tidak sesuai dengan standar akuntansi maupun angka-angka dalam laporan yang menyesatkan.
Penyusunan LKPP bukanlah pekerjaan mudah, yang membutuhkan tahapan panjang dengan waktu yang tidak singkat untuk menghasilkannya. Pertama, Kementerian Negara/Lembaga (K/L) menyusun Laporan Keuangan Kementerian Negara/Lembaga (LKKL) secara berjenjang dari tingkat satker sampai dengan tingkat K/L. Selanjutnya, LKKL yang telah disertai Surat Pernyataan Tanggung Jawab Menteri dan Laporan Keuangan Bendahara Umum Negara (LK-BUN) yang disusun Menteri Keuangan, disampaikan kepada Presiden (dalam hal ini diproses oleh Menteri Keuangan sebagai pengelola fiskal). Lalu, LKKL dan LK-BUN tersebut disusun menjadi LKPP untuk kemudian diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Terakhir, LKPP yang telah diaudit oleh BPK, disampaikan Presiden kepada DPR dalam bentuk RUU tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN. Jadi tugas untuk menyusun LKPP, bukanlah pekerjaan mudah, diperlukan sinergi dan komitmen para pengelola keuangan dan akuntansi guna menghasilkan LKPP yang akurat dan andal.
Terkait opini disclaimer atas LKPP selama lima tahun terakhir ini, kami menyikapinya secara proporsional. Beberapa hal dalam LKPP perlu terus diperbaiki, namun patut diketahui juga bahwa kualitas LKPP yang kami (pemerintah,red) sajikan, terus meningkat secara signifikan. Hal ini tercermin dari semakin menurunnya jumlah LKKL yang mendapatkan opini disclaimer. Jika pada tahun 2006 terdapat 36 K/L yang mendapatkan disclaimer, maka jumlah LKKL pada tahun 2008 yang mendapat opini disclaimer menurun drastis menjadi 18 LKKL. Hal ini berbanding terbalik dengan opini WTP yang pada tahun 2006 diberikan kepada 7 LKKL. Sementara, pada tahun 2008 jumlah LKKL yang mendapat opini WTP melonjak menjadi 35.
Selain itu, adakah hal positif lainnya?
Tentu banyak. Beberapa diantaranya terlihat dari semakin menurunnya temuan BPK, baik berupa pelanggaran peraturan perundangan, ketidaksesuaian dengan standar yang telah ditentukan maupun ketidakjelasan pertanggungjawaban penggunaan anggaran negara yang dibuat. Jika tahun 2004 tercatat 57 item temuan, maka pada tahun 2005 hanya 40 temuan. Bahkan untuk tahun ini (2008,red) telah menjadi 26 temuan.
Selain itu, pemerintah juga berhasil mempersempit gap (suspen) pencatatan belanja antara K/L dengan BUN. Jika pada LKPP 2005 selisihnya mencapai Rp.2,14 T, maka untuk LKPP 2008 berhasil ditekan hingga hanya selisih Rp.58 M saja. Keberhasilan lainnya yang berdampak positif bagi keuangan negara adalah penertiban 39.477 rekening termasuk di dalamnya 3.930 rekening liar yang ditutup dan disetor ke kas negara senilai Rp.7,9 T. Inilah bukti nyata bahwa LKPP yang dibuat oleh pemerintah bermanfaat untuk pengelolaan keuangan negara yang baik.
Apakah hal ini terekspose pada publik?
Depkeu telah menggelar press conference untuk mempublikasikan kemajuan-kemajuan LKPP. Namun sayangnya, press conference tersebut hanya diletakkan di halaman tengah atau akhir media cetak. Hal ini berbeda ketika opini disclaimer atas LKPP di publish, masalah ini menjadi headline bahkan editorial media cetak dan elektronik. Karena itu, kami berharap media dapat menyajikan berita secara berimbang di masa depan.
Khusus untuk LKPP 2008, apa yang menjadi alasan BPK mengeluarkan opini disclaimer ?
Intinya, BPK menemukan enam item yang tidak bisa diyakini angkanya wajar atau tidak. Pertama, pendapatan pajak senilai Rp.3,43 trilyun yang tidak terekonsiliasi antara data penerimaan menurut Kas Umum Negara pada Sistem Akuntansi Umum (SAU) dengan data penerimaan menurut Modul Penerimaan Negara (MPN). Apabila nilai ini dibandingkan dengan total pendapatan pajak yang nilainya lebih dari Rp.600 trilyun, tentu selisih ini tidaklah signifikan yakni kurang dari 1 %. Namun kami memahami prinsip materialitas yang dianut BPK, sehingga selama dianggap tidak jelas maka akan dijadikan temuan. Kami berharap, dengan terus diperbaikinya sistem MPN, selisih angka tersebut akan semakin kecil bahkan tidak ada lagi.
Selain itu, BPK juga menemukan perbedaan data antara Saldo Anggaran Lebih (SAL) dalam buku dengan jumlah yang ada dalam saldo rekening-rekening SAL (kas negara). Kemudian, pencatatan penarikan hutang luar negeri yang tidak terekonsiliasi, data investasi Penanaman Modal Negara (PMN) yang belum valid, inventarisasi dan revaluasi aset tetap yang belum selesai, hingga administrasi dan kebijakan akuntansi aset Eks BPPN dan aset KKKS yang belum memadai. Item-item tersebut yang dijadikan temuan BPK pada LKPP 2008.
Melihat permasalahan tersebut, Apa saja yang menjadi kendala dalam penyusunan LKPP? Apakah terkait dengan kualitas SDM?
Salah satunya demikian. Harus disadari bahwa organisasi pemerintah sangatlah besar. Dengan 22.399 satuan kerja, 1.486 kantor wilayah, 282 unit eselon I, dan 84 kementerian negara/lembaga, tentu butuh tenaga besar, semangat yang kuat, kemampuan manajerial yang mumpuni untuk menggerakkan organisasi pemerintah tersebut.
Bukan hanya itu, kondisi demikian semakin berat dengan tugas tambahan untuk merubah mindset para jajaran pimpinan lembaga dan pelaksana akuntansi yang selama ini belum mengenal akuntansi modern. Terlebih lagi, seperti anda katakan bahwa SDM yang ahli di bidang akuntansi, cukup langka di hampir seluruh K/L maupun pemerintah daerah. Lalu, mungkinkah gerak langkah mewujudkan LKPP yang berkualitas dapat terwujud dalam waktu singkat? Dalam waktu singkat memang sangat sulit, tetapi kita harus optimis dan berkerja keras agar dalam 1 – 2 tahun ini LKPP tidak lagi mendapat opini disclaimer.
Melihat kondisi demikian, mampukah keluar dari disclaimer ?
Dengan usaha keras yang telah dilakukan selama ini, kami yakin dapat keluar dari opini disclaimer. Dilihat dari penyebab opini disclaimer LKPP 2004 – LKPP 2008, masalah paling berat yang dihadapi pemerintah adalah tentang aset. Karena sebagian besar K/L yang mendapatkan opini WDP atau disclaimer disebabkan oleh pengelolaan aset yang belum baik.
Untuk Laporan Keuangan tahun 2009 target opini LKPP adalah WDP, bahkan Ibu Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mentargetkan dalam waktu 2-3 tahun kedepan, opini WTP dapat diraih.
Langkah-langkah apa saja yang dilakukan untuk merealisasikan harapan tersebut?
Untuk menjaga agar proses penyempurnaan sistem akuntansi berikut aplikasinya berjalan simultan, maka dibutuhkan aturan hukum sebagai payungnya. Saat ini, telah tersedia berbagai peraturan tentang akuntansi dan pelaporan keuangan pemerintah, seperti Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 171/MK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat, PMK Nomor 40/PMK.05/2009 tentang Sistem Akuntansi Hibah, dan PMK Nomor 86/PMK.05/2008 tentang Sistem Akuntansi Utang Pemerintah. Selain itu, Depkeu juga sedang menyusun peraturan-peraturan pendukung lain yang dibutuhkan. Salah satu diantaranya peraturan mengenai pertanggungjawaban dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Tidak sampai disitu, Depkeu juga secara konsisten melakukan penertiban rekening pemerintah pada seluruh K/L. Salah satu caranya dengan menyusun pedoman tentang Pengelolaan Rekening Pemerintah dan membentuk Tim Penertiban Rekening Pemerintah. Sementara itu, upaya-upaya penertiban Barang Milik Negara (BMN) yang meliputi inventarisasi, penilaian, dan sertifikasi BMN pada seluruh K/L, terus dilakukan dan diperkirakan selesai tahun depan.
Khusus untuk peningkatan kualitas SDM, kami secara rutin menghelat Program Percepatan Akuntabilitas Keuangan Pemerintah (PPAKP) dengan target jumlah pegawai yang akan dilatih mencapai 22.000 orang. Hingga akhir tahun 2008 telah dilatih sebanyak 8.400 orang, dan pada tahun ini akan dilatih 7.600 orang.
Terkait peningkatan komitmen para pejabat pemerintah terhadap tuntutan akuntabilitas dan transparansi di lingkungannya, dan untuk mendorong terjadinya collaborative actions baik horizontal maupun vertikal, maka telah diselenggarakan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah pada tanggal 11 – 12 Agustus 2009. Langkah-langkah ini diharapkan dapat memuluskan target kami untuk meraih LKPP beropini WTP.
Memahami kompleksitas penyusunan LKPP, apakah Negara lain mengalami hal yang sama?
Negara yang menjadi rujukan best practices untuk kegiatan penyusunan Laporan Keuangan adalah Australia. Namun Australia tidak mempunyai kompleksitas masalah sebagaimana Indonesia. Selain SDM yang cukup dan capable, sistem keuangannya juga sangat mendukung.
Nasib Indonesia tidak berbeda jauh dengan Amerika Serikat (AS). Laporan Keuangan negara adikuasa ini masih disclaimer selama beberapa tahun terakhir. Penyebab utamanya adalah anggaran Departement of Defence yang tidak bisa diyakini kewajarannya oleh ’BPK’ nya AS. Indonesia memiliki peluang sangat besar untuk keluar dari disclaimer, jika LK berlandaskan international best practices yang telah diterapkan sejak 2004, dilaksanakan dengan konsisten dan komitmen yang kuat.
Mungkinkah mekanisme Reward and Punishment diterapkan pemerintah Indonesia ?
Selama tiga tahun terakhir, LKKL diberi opini audit tersendiri oleh BPK. Oleh karena itu, mekanisme reward and punishment akan lebih mudah diterapkan. Bagi K/L yang berhasil mengelola keuangan negara dengan baik, diberikan reward. Sementara bagi K/L yang mengelola uang negara secara serampangan, akan dikenakan sanksi (punishment). Namun, mekanisme ini butuh payung hukum untuk bisa diterapkan. Dalam Perpres Sistem Akuntabilitas Keuangan Instansi Pemerintah (SAKIP) yang saat ini masih dibahas oleh Sekretaris Kabinet, secara umum hal tersebut telah dimasukkan. Tetapi tampaknya perlu dibuat Perpres yang lebih spesifik mengatur reward and punishment.
Mekanisme reward and punishment juga mendapatkan sinyal positif dari anggota DPR. UU No. 23 Tahun 2009 Pasal 10 ayat (2) dan ayat (3) tentang Pertanggungjawaban atas Pelaksanaan APBN TA 2007 mengatur tentang pemberian imbalan dan/atau penghargaan atas pencapaian prestasi kerja K/L jika berhasil melakukan efisiensi anggaran. Sedangkan penerapan sanksi administratif dan/atau dugaan perbuatan pidana atas ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan sebagaimana hasil laporan BPK, diberikan kepada K/L yang bekerja secara sembrono dan asal-asalan. Tetapi, masih perlu kajian apakah reward and punishment ini akan diberikan kepada lembaga saja atau sampai kepada personelnya.
Apakah ini menjadi salah satu bentuk awareness anggota DPR terhadap Laporan Keuangan Pemerintah?
Ya… Bahkan pada rapat-rapat pembahasan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN antara Pemerintah dan Panitia Anggaran DPR, tampak bahwa tingkat awareness anggota DPR terutama Panitia Anggaran terhadap LKPP sudah sangat baik. Hal ini dapat terlihat dari rekomendasi-rekomendasi yang disampaikan oleh DPR dan kesepakatan rapat yang sangat berguna bagi pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pertanggungjawaban APBN.
Jika demikian, sejauhmana LKPP dijadikan alat pengambil kebijakan?
Sampai saat ini, peranan LKPP sebagai salah satu elemen dalam pengambilan kebijakan, belumlah signifikan. Namun demikian, informasi keuangan yang termuat dalam LKPP merupakan umpan balik (feed back) yang kerap digunakan dan bahkan menjadi acuan bagi pemerintah maupun DPR dalam proses perencanaan dan penganggaran. Selain itu LKPP bukan sekedar laporan pertanggungjawaban keuangan pemerintah saja, tetapi juga untuk menunjukkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah. Sehingga, LKPP yang baik akan sangat menentukan kredibilitas pemerintahan dimata masyarakat.
Adakah kaitan antara akuntansi keuangan yang baik dengan upaya pemerintah dalam melakukan pemberantasan korupsi?
Akuntansi merupakan salah satu pilar tertib manajemen keuangan pemerintah. Akuntansi memfasilitasi terwujudnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan pemerintah. Karena akuntansi dapat menghasilkan laporan keuangan yang menyajikan sumber daya dan alokasinya, serta menyajikan posisi aset, kewajiban, dan ekuitas dana pemerintah. Contohnya, dari neraca dapat terpantau kas negara berikut pengalokasian dan saldonya sehingga dapat untuk bahan penertiban rekening pemerintah. Dengan sistem demikian, korupsi dapat dicegah/dikurangi. Selain itu, implementasi akuntansi juga dapat membantu mengungkap penyimpangan-penyimpangan yang mungkin terjadi. Apalagi jika akuntansi berbasis akrual sebagaimana diamanahkan UU 17/2003 tentang Keuangan Negara dan UU 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara mulai diterapkan, tentu peluang terjadinya penyimpangan keuangan negara semakin kecil.
Lalu mengapa akuntansi berbasis akrual belum diterapkan hingga saat ini?
Undang-undang No 17 tahun 2003 mengamanahkan accrual budgeting dan accrual accounting diterapkan. Namun melihat kondisi SDM dan peraturan yang belum memadai, maka untuk accrual accounting penerapannya akan dilakukan secara bertahap dengan masa transisi 5 tahun. Sedangkan accrual budgeting perlu dikaji lagi lebih lanjut.
Untuk saat ini, pemerintah secara bertahap menerapkan accrual accounting dengan cash budgeting, sebagaimana disarankan oleh OECD dan negara yang menerapkan accrual budgeting seperti Australia. Alasannya, sumber daya yang terkuras dalam menerapkan accrual budgeting, tidak sebanding dengan manfaat yang diraih. Sehingga, accrual accounting dengan cash budgeting menjadi pilihan terbaik yang digunakan pemerintah Indonesia saat ini.
Penerapan akuntansi berbasis akrual secara bertahap merupakan hasil kesepakatan rapat konsultasi pemerintah dengan Pimpinan DPR RI pada tanggal 25 September 2008 lalu. Kesepakatan ini tertuang dengan jelas dalam UU No. 41 Tahun 2008 tentang APBN TA 2009. Untuk menindaklanjuti kesepakatan tersebut, pemerintah telah menyampaikan pertimbangan BPK atas Draf SAP Berbasis Akrual yang disusun oleh Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (KSAP). Saat ini, pemerintah sedang memproses penetapan Peraturan Pemerintah tentang SAP Berbasis Akrual dan diharapkan pada tahun 2013 pemerintah telah menerapkan SAP berbasis akrual secara penuh.
Mungkinkah terjadi perubahan kebijakan seiring pergantian Menteri Keuangan?
Kami berharap tidak. Sejak zaman Bapak Boediono menjadi Menteri Keuangan, platform telah disusun, sehingga ketika beralih kepada Ibu Sri Mulyani, kebijakan tersebut dapat berjalan lebih cepat. Siapapun Menteri Keuangan yang akan datang, diharapkan memiliki concepts and needs yang sama. Selain itu, kami mencoba membentuk sistem keuangan yang ajeg. Sehingga, siapapun yang menjadi Menteri Keuangan, messagenya sama yakni menuju akuntansi yang sesuai dengan international best practices sehingga transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara semakin baik.
Oleh:
Tonny (Bagian Pengembangan Pegawai), Fajar Sidik (Bagian OTL) dan Yongki Andrea (Dit. APK)