Jakarta, perbendaharaan.go.id –Tidak dapat dipungkiri bahwa di tengah banyaknya indikator keberhasilan Kementerian Keuangan menjaga konsistensi perjalanan reformasi birokrasinya, masih ada beberapa hal yang menjadi sorotan masyarakat, antara lain mengenai penyerapan anggaran yang ditengarai masih terkesan lambat.
Hal ini pula yang diangkat Harian Kompas pada hari Rabu (8/9) dengan judul “Anggaran Kemkeu Lambat, Sepuluh Masalah Menghambat Penyerapan Anggaran” yang terdapat pada kolom Bisnis dan Keuangan hal. 17. Artikel lengkap dapat dilihat di sini (klik untuk memperbesar gambar)
Lalu bagaimana tanggapan dan komentar Direktur Jenderal Perbendaharaan, Herry Purnomo mengenai artikel yang cenderung memojokkan Kementerian Keuangan Cq. Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam menjalankan salah satu tugasnya dalam hal pencairan anggaran? Ikuti hasil wawancara Media Center Ditjen Perbendaharaan dengan beliau, langsung dari Kantor Pusat Ditjen Perbendaharaan.
Menurut Bapak apakah pemberitaan tersebut menggambarkan masih adanya proses birokrasi yang berbelit-belit, atau hanya kesalahan persepsi dari pemberitaan?
Kalau saya membaca, sepuluh permasalahan yang dimaksud (baca lebih lengkap artikel Harian Kompas (8/9) hal.17, red), sebetulnya itu adalah permasalahan yang sudah basi. Permasalahan sudah didiskusikan sebelum acara retreat II di Bogor telah diklarifikasi dengan telah dicarikan jalan keluarnya. Jadi, dengan demikian pemberitaan itu sudah tidak relevan lagi.
Dalam artikel tersebut, administrasi DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran), dianggap salah satu masalah penghambat penyerapan anggaran. Apa tanggapan Bapak?
Dari sisi penerbitan DIPA awal tahun tidak benar menjadi penyebab lambatnya pencairan anggaran. Buktinya, DIPA sudah selesai pada saat penyerahan oleh Presiden, awal Januari tahun 2010 kepada para Menteri / Ketua Lembaga dan para Gubernur. Sementara itu KPPN juga telah siap (mencairkan dana, red). Jadi sebetulnya hal tersebut tidak perlu dianggap sebagai masalah.
Dalam rangka penyelesaian DIPA Tahun 2011, Kementerian Keuangan sedang menyempurnakan proses dan administrasi penyelesaian DIPA agar lebih efesien dan efektif. Proses penyelesaian DIPA yang dimulai dari penyelesaian Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) akan lebih cepat karena ditunjang sistem IT terpadu dan ... perbaikan proses di KL.
Harus disadari sepenuhnya masih tetap bergantung pada KL sendiri. Semakin cepat menyelesaikan RKA-KL dan kemudian juga DIPA lembar putih yang ditandatangani oleh KL sebagai KPA maka penyelesaian Surat Pengesahan DIPA juga dapat dilakukan lebih cepat.
Lalu bagaimana dengan proses revisi DIPA yang juga dianggap sebagai salah satu penghambat penyerapan anggaran?
Untuk revisi DIPA, dapat saya katakan (bahwa proses ini, red) baik di DJA maupun di DJPBN sudah memiliki time frame yang jelas. Perubahan dan perbaikan juga telah dilakukan untuk menunjang pelayanan di Kanwil Ditjen Perbendaharaan. Jadi, kalau dikatakan prosesnya (revis DIPA, red) lambat, hal ini perlu di cek lebih lanjut. Selain kejelasan time frame, kita juga sudah menerapkan front office, khususnya di Kanwil untuk pelayanan revisi, dimana persyaratan yang harus dipenuhi bisa langsung diputuskan bisa diterima atau tidak. Proses di Kanwil membutuhkan waktu hanya selama paling lambat tiga hari, bahkan sekarang bisa satu hari sudah selesai. Di Kantor Pusat (Ditjen Perbendaharaan, red) juga demikian, sudah ada kepastian waktu.
Semua ini adalah terobosan-terobosan, jadi kalau mengatakan di Kemenkeu masih seperti itu (menghambat, red), enggak benar itu! Dalam kaitan ini tentunya perlu dicek lagi kesiapan KL dalam mengajukan revisi.
Bagaimana pendapat Bapak dengan adanya pembintangan proyek atau program oleh DPR atau Kemenkeu sehingga proyek itu batal dijalankan?
Mengenai pencairan anggaran dengan tanda bintang sudah tidak ada masalah sebetulnya. Kalau pun ada, jumlahnya relatif kecil. Dalam berbagai kesempatan Dirjen Anggaran yang juga Wakil Menkeu telah menegaskan masalah ini. Jadi, tidak seharusnya dibesar-besarkan.
Mengenai proyek multiyears yang harus mendapat ijin Menkeu, hal tersebut dianggap tidak sejalan dengan cita-cita “lets the manager manage”. Menteri atau pimpinan lembaga bukankah sudah seharusnya mendapat kewenangan langsung?
Kemudian, masalah proyek multiyears, saya kira ini sudah dijelaskan oleh Ibu Anny Ratnawati (Wamenkeu) di Kompas (14/9). Beliau menjelaskan bahwa mekanisme proyek tahun jamak (multiyears) diindikasikan sebagai modus baru bagi kementerian/lembaga untuk menutupi kemampuan penyerapan anggaran yang rendah pada institusinya. Dengan cara ini, proyek yang seharusnya cukup dalam satu tahun menjadi mundur lebih dari satu tahun. Pengalaman mengatakan, kementerian/lembaga baru melaksanakan proyeknya mendekati akhir tahun, lalu meminta proyeknya menjadi multiyears. Perilaku ini membahayakan ruang fiscal pemerintah yang sangat terbatas. Atas dasar pengamanan ruang fiscal itulah, Kementerian Keuangan berkeras memperketat aturan tentang proyek multiyears.
Lalu bagaimana dengan Uang Persediaan (UP) yang terlalu kecil, yang masih dianggap sebagai penghambat penyerapan anggaran, sehingga PPK harus menutupi terlebih dahulu biaya untuk banyak kegiatan. Bagaimana tanggapan Bapak atas statement tersebut?
Prinsip dasar dalam pengelolaan APBN khususnya untuk belanja Negara yang dikelola oleh satker adalah bahwa pengeluaran seharusnya lebih banyak dilakukan dengan pembayaran langsung (LS), bukan dengan Uang Persediaan (UP).
Filosofinya mengapa LS adalah pertama, dalam rangka menyederhanakan proses tagihan kepada negara. Kedua, mengurangi idle cashdi tangan bendahara. Ketiga, meningkatkan keamanan terhadap uang negara.
Tagihan kepada negara menjadi lebih sederhana dalam arti bahwa tagihan itu bisa langsung dibayar dari kas Negara, tidak perlu pakai perantara bendahara. Dibayar langsung itu artinya SPM (Surat Perintah Membayar) sudah atas nama yang mempunyai hak tagih. Atas dasar SPM yang diterbitkan satker, KPPN akan ditransfer dana dari rekening kas negara kepada yang mempunyai hak tagih tersebut dengan sarana SP2D dan tidak lagi melalui bendahara. Ini dalam rangka efisiensi penyaluran dana.
Terkait masalah idle cash, sebenarnya semakin banyak diberikan uang persediaan, maka semakin banyak uang ‘menganggur’ yang ada di tangan bendahara. Sekarang saja dari data yang kita miliki, dengan uang persediaan yang dibatasi untuk 22.000 lebih satker rata-rata satu hari dua triliun uang yang ada di rekening bendahara. Apalagi nanti diberikan keleluasaan, misalnya sekarang maksimal 200 juta, terus seandainya kita kasih 500 juta, nanti berapa triliun uang ‘menganggur’?.
Selanjutnya, masalah keamanan. Kalau bendahara itu makin banyak pegang duit tunai yang ditaruh di brankas, maka akan rawan dicuri sekaligus muncul kerawanan atas tanggung jawab dari satker/bendahara itu sendiri.
Bagaimana dengan UP yang dirasa terlalu kecil dalam kaitannya dengan biaya perjalanan dinas, apa solusi yang bisa diberikan atas hal tersebut?
Berapa pun kebutuhan uang persediaan, sepanjang ada reasoning dan pertimbangan yang jelas sesuai dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi, red) di satker, kita berikan dispensasi kok. Ada yang dispensasinya melalui KPPN, ada juga yang melalui Kanwil. Misalnya untuk biaya perjalanan, kita selalu berikan kepada institusi yang memang tugasnya itu melakukan perjalanan dinas. Seperti BPKP, dan BPK, secara formal dibatasi 200 juta, bisa minta sampai dua atau tiga miliar, disertai perencanaan yang jelas dan satu bulan habis. Jadi, enggak ada masalah itu.
Makanya dari awal saya katakan masalah ini sudah basi, yang mengambil kesimpulan bahwa UP jadi penghambat enggak pernah dengar, atau tidak pernah lihat apa yang dipraktekan di Ditjen Perbendaharaan. Proses dispensasi UP di KPPN atau Kanwil ada time frame yang jelas dan tidak perlu pakai ‘uang pelicin’. Semua itu merupakan layanan unggulan dari Kanwil dan KPPN.
Hambatan penyerapan anggaran lainnya yang dikeluhkan adalah pelayanan KPPN Non Percontohan yang masih berbelit-belit, apakah benar demikian?
Ini juga hal yang basi. Kita sudah menjalankan KPPN percontohan sejak tahun 2007. Pada tahun 2008 dan 2009 secara berangsur mengubah layanan KPPN non percontohan sudah setara dengan KPPN Percontohan. Time frame layanansudah jelas, standar-standar pelayanan sudah jelas dan sama di seluruh KPPN.
Kalau ada yang mengatakan KPPN selalu menghambat (pencairan anggran, red), karena saat ini kalau persyaratannya tidak lengkap itu bisa langsung diputuskan (ditolak/dikembalikan, red) di front office. Itu resiko. Dari beberapa kunjungan ke lapangan, ada satker yang mengeluh, “Pak, setelah menjadi KPPN Percontohan, kok kami jadi susah?” Saya tanya, “Kenapa?” Mereka menjelaskan bahwa sebelum KPPN Percontohan atau sebelum pola Percontohan pada KPPN non Percontohan, walaupun persyaratannya kurang mereka bisa cincay (sekongkol, red) dengan petugas kita (KPPN, red) dan bisa diproses. Tapi, karena sekarang petugas kita disiplin, kalau persyaratan tidak lengkap, ya dikembalikan. Tidak bisa cincay lagi. Ini yang kemudian dikeluhkan. Dan yang tidak dilihat, proses penolakan di front office disertai dengan penjelasan, jika masih tidak jelas disediakan oleh costumer service.
Ada juga informasi yang mengatakan KPPN menghambat, Kanwil memperlambat, saya khawatir yang datang ke KPPN itu petugas bawahan (kurir, red). Ketika terjadi permasalahan persyaratan yang kurang, diberi penjelasan oleh petugas front office tidak menangkap. Kemudian lapor ke atasannya bahwa SPM tidak bisa cair, karena KPPN menolak. Menurut analisis saya hal ini yang dilaporkan ke atasannya secara berjenjang bahwa KPPN itu mempersulit. Hal ini disebabkan petugas yang datang ke KPPN itu tidak mengerti dan tidak dapat memberikan penjelasan yang lengkap pada Pejabat yang bersangkutan.
Oleh karena itu, saya menekankan pada rekan-rekan di Kanwil dan KPPN pada waktu memberikan penjelasan agar yang datang jangan hanya kurir. Kita minta juga kepada para satker/KPA atau pejabat yang berkompeten menyempatkan diri untuk datang ketika diundang dalam rangka pembinaan, sehingga interaksi bisa lebih jelas. Ketika ada perubahan-perubahan menjadi tahu. Jangan hanya memperoleh laporan sepihak dari kurir mereka bahwa KPPN mempersulit.
Tolong juga diwaspadai KPPN sama sekali tidak lagi pungut duit, kanwil juga demikian. Tolong, para kepala satker jangan mau dibohongioleh petugasnya, dengan mengatakan bahwa KPPN dan Kanwil masih minta duit. Kanwil dan KPPN tidak minta duit. Saya sudah minta kepala Kanwil dan KPPN untuk membuat surat pada kepala satker bahwa pelayanan tidak dipungut biaya. Kalau masih ada yang mengatakan kalau KPPN dan Kanwil minta duit, harus dicek lagi, siapa yang minta duit? Karena banyak kasus KPPN dan Kanwil menjadi ‘kambing hitam’, seolah-olah masih minta duit.
Sejauh mana Bapak dapat menjamin pelaksanaan pencairan anggaran pada instansi vertikal Ditjen Perbendaharaan sudah sesuai dengan apa yang digariskan?
Yang jelas ada yang kita pecat, karena memang terbukti pada saat ‘diintip’ oleh aparat pengawasan internal kita, tertangkap tangan menerima (gratifikasi, red). Kalau sudah terjadi seperti itu, maka pimpinan Kementerian Keuangan tidak akan segan-segan memecat. Sudah ada contoh itu. Ini saya kira yang perlu diketahui oleh masyarakat, bahwa upaya-upaya untuk memperbaiki layanan terus kita lakukan.
Informasi yang mengatakan bahwa Kemenkeu masih mempersulit menjadi alat instropeksi juga buat kita (jajaran Ditjen Perbendharaan, red) untuk mengecek kembali apakah memang masih terjadi praktek-praktek seperti dulu. Menjadi peringatan juga bagi kita, jangan sampai terus terulang kembali praktek-praktek masa lalu. Bagi satker atau KL yang mengalami kesulitan dengan layanan DJPBN, laporkan saja pada saya. Sebutkan lokasinya dimana. Kalau terbukti masih ada yang ‘main-main’ kita tindak.
Secara psikologis, pemberitaan ini dapat menjadi kontra produktif bagi segenap jajaran Ditjen Perbendaharaan dan Kemenkeu. Dalam menjaga spirit perubahan yang dilakukan oleh Ditjen Perbendaharaan, apa himbauan Bapak secara internal maupun eksternal?
Tanpa harus berpolemik, kita ambil hikmahnya saja. Seluruh jajaran Ditjen Perbendaharaan harus bisa membuktikan bahwa kita bekerja dengan lebih baik, tidak mempersulit orang lain, mencari-cari kesalahan, atau minta duit. Jadi, kita buktikan kita sudah berubah, sudah lebih baik. Biarkan fakta yang berbicara.
Kemudian, kepada para pejabat Kementerian/Lembaga sebelum menyimpulkan dan memberikan pandangan hal-hal yang terkait dengan layanan di Ditjen Perbendaharaan, melihat dulu fakta di lapangan. Jangan hanya atas laporan dari bawahan yang tidak berdasar. Jika memperoleh layanan yang tidak memuaskan di tiap-tiap KPPN, Kanwil DJPBN maupun Kantor Pusat DJPBN disediakan sarana pengaduan atau bisa langsung ke saya.
Selanjutnya, pada waktu kegiatan pembinaan yang dilakukan oleh KPPN atau Kanwil terkait masalah pengelolaan DIPA satker, harus dihadiri oleh pejabat yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan DIPA bersangkutan.
Oleh : Tonny W. Poernomo, Novri H.S. Tanjung, Sugeng W – Media Center Ditjen Perbendaharaan