Lubuksikaping

Terbitnya paket undang-undang bidang keuangan negara berupa Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara telah menjadi momentum perbaikan sistem keuangan negara di Indonesia (Widyanti, 2015). Upaya peningkatan dan transparansi pengelolaan keuangan negara telah menjadi perhatian serius bagi kita semua. Sebagai upaya nyata peningkatan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara tersebut, pemerintah pusat dan pemerintah daerah diwajibkan untuk menyusun laporan pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara berupa laporan keuangan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.

Selain mengatur kewajiban penyusunan laporan keuangan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 juga mengamanatkan bahwa laporan keuangan pemerintah harus dapat menghasilkan statistik keuangan yang mengacu pada manual statistik keuangan pemerintah sehingga dapat memenuhi kebutuhan analisis kebijakan dan kondisi fiskal, pengelolaan dan analisis perbandingan antar negara (cross country studies), kegiatan pemerintahan, dan penyajian statistik keuangan pemerintah. Amanat tersebut kemudian dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan yang mengatur perlunya penyusunan konsolidasi laporan. Dalam pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2010 dinyatakan bahwa ada dua jenis konsolidasi, yaitu konsolidasi fiskal dan konsolidasi statistik keuangan pemerintah. Konsolidasi fiskal merupakan konsolidasi Laporan Keungan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Laporan Keungan Pemerintah Daerah (LKPD) yang kemudian disusun menjadi Laporan Keungan Pemerintah Konsolidasian (LKPK) sesuai dengan prinsip dan aturan akuntansi dengan merujuk pada PSAP Nomor 11. Selain karena amanat peraturan perundang-undangan, terdapat alasan lain perlunya dilakukan penyusunan LKPK. Laporan keuangan yang disusun oleh masing-masing entitas pelaporan pemerintah belum mampu untuk menggambarkan aktivitas pemerintah secara umum menjadi alasan perlunya dilakukan konsolidasi laporan keuangan pemerintah sebagaimana dinyatakan oleh Baihaqi (2018).

Pelaksanaan konsolidasi laporan keuangan pemerintah dilakukan pada tingkat nasional dan tingkat wilayah. Sistem pelaporan keuangan pemerintah kosolidasian di tingkat wilayah dilaksanakan oleh unit penyusun pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Kanwil DJPb). Penyusunan LKPK Tingkat Wilayah (LKPK-TW) oleh Kanwil DJPb merupakan wujud nyata dari fungsi kantor vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan sebagai Regional Chief Economist (RCE). Hasil wawancara pada tahun 2021 terhadap beberapa penyusun LKPK-TW menunjukkan bahwa, masih terdapat kendala dalam penyusunan  LKPK-TW. Kendala yang dihadapi antara lain, adanya perbedaan sistem dan kebijakan akuntansi pemerintah pusat dan daerah, rendahnya kualitas dan ketepatan waktu penyampaian data pemerintah daerah, dan belum terintegrasinya SPAN dan SIKD sehingga penyusunan laporan dilakukan secara manual, serta kendala lainnya.

Sistem Akuntansi Pemerintahan pada pemerintah pusat diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan, sedangkan sistem akuntansi pemerintahan pada pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Kepala Daerah yang mengacu pada Pedoman Umum Sistem Akuntansi Pemerintahan (PUSAP). Dampaknya, terdapat perbedaan antara sistem akuntansi pemerintah pusat dan sistem akuntansi pemerintah daerah, mulai dari kebijakan akuntansi, jurnal dan prosedur penyusunan laporan keuangan, yang pada akhirnya berdampak pula kepada penyajian informasi dalam laporan keuangan. Dampak akhir dari perbedaan tersebut adalah muncul kesulitan dalam proses konsolidasi antar laporan keuangan pemerintah daerah dan kesulitan dalam konsolidasi laporan keuangan pemerintah daerah dan laporan keuangan pemerintah pusat. Hasil wawancara juga menunjukkan bahwa, terdapat kendala saat melakukan eliminasi akun-akun resiprokal. Selain itu, dalam penyajian aset tetap, beberapa pemerintah daerah menyajikan aset tetap dalam nilai buku (nilai perolehan dikurang akumulasi penyusutan). Penggunaan akun yang berbeda-beda antar pemerintah daerah juga menjadi hambatan dalam proses konsolidasi LKPD. Perbedaan penyajian informasi dalam laporan keuangan menyebabkan proses konsolidasi menjadi lebih lama.

Dalam penyusunan LKPK, Kanwil DJPb menghadapi tantangan terkait kualitas data dan ketepatan waktu penyampaian data pemerintah daerah secara berkala. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, terdapat beragam jenis sistem informasi akuntansi yang digunakan oleh pemerintah daerah di Indonesia sebagaimana diungkap pada buku Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Indonesia dari Masa ke Masa (2018). Sebesar 68% pemerintah daerah menggunakan Sistem Manajemen Daerah (SIMDA), 17% pemerintah daerah menggunakan Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD), 5% pemerintah daerah menggunakan Sistem Informasi Anggaran dan Keuangan Daerah (SIMAKDA), 2% pemerintah menggunakan E-Finance, 1% pemerintah daerah menggunakan SIMRAL, dan 7% pemerintah daerah menggunakan sistem lainnya. Beragamnya sistem yang digunakan oleh pemerintah daerah berdampak pada beragamnya cakupan dan keandalan data pemerintah daerah.

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa penyusun LKPK-TW juga terungkap bahwa kualitas laporan keuangan pemerintah daerah masih rendah. Hal ini dapat dapat dilihat dari tidak sinkronnya data antar komponen laporan keuangan, laporan keuangan tidak detil, terdapat perbedaan ouput dari aplikasi SIKRI dan kertas kerja manual, LKPD tidak disampaikan secara lengkap, dan untuk data LKPD triwulan yang disampaikan ke Kanwil DJPb sering bergerak datanya (data belum final), serta LKPD sulit untuk diminta.

Kendala lain yang terjadi pada penyusunan LKPK sebagaimana hasil wawancara yaitu time frame penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Konsolidasian (LKPDK) yang tidak sama dengan time frame penyusunan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD). Hal ini menyebabkan data yang disampaikan dari pemerintah daerah kepada Kanwil DJPb merupakan data yang belum final. Terbatasnya jumlah Sumber Daya Manusia pada Kanwil DJPb juga menjadi kendala dalam penyusunan LKPK. Penyusunan LKPK dilakukan secara manual menjadi kendala lainnya. Data LKPD yang diberikan oleh pemerintah daerah kebanyakan berupa hardcopy sehingga Kanwil DJPb harus melakukan upaya ekstra untuk membaca data dan melakukan penginputan secara manual kedalam kertas kerja menggunakan Microsoft Excel. Selain tidak efisien, proses secara manual ini juga berpotensi terjadi kesalahan dalam menginput maupun memproses data.

Rekomendasi yang dapat diberikan terkait permasalahan di atas yaitu (1) Perlunya keseragaman dalam sistem dan kebijakan akuntansi pemerintah pusat dan daerah,; (2) Penggunaan BAS yang terstandar nasional oleh pemerintah daerah; (3) Perlunya peningkatan komitmen pemerintah daerah untuk menjaga kualitas dan ketepatan waktu penyampaian LKPD kepada Kanwil DJPb; (4) Perlunya sinkroniasi waktu penyusunan LKPK oleh Kanwil DJPb dan LKPD oleh pemerintah daerah; dan (5) Perlunya Aplikasi yang seragam dalam penyusunan LKPD oleh pemerintah daerah. Harapan penulis, semoga tulisan singkat ini dapat menjadi sumber masukan yang positif dalam upaya peningkatan peran Kanwil DJPb sebagai Regional Chief Economist dengan peningkatan efektivitas dan efisiensi penyusunan LKPK.

Footer

 Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

 

Kontak Kami

Hak Cipta HaDirektorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Djuanda I Lt. 9
Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1 Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

Ikuti Kami

IKUTI KAMI

Search