oleh Ferdy Sukmadianto (pemerhati Keuangan Negara)
Beberapa waktu yang lalu, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati sempat mengutarakan uneg-unegnya mengenai perjalanan dinas ASN yang setiap tahun semakin membengkak. Sri Mulyani tidak mempersoalkan masalah pembengkakan biaya perjalanan dinas itu namun yang menjadi fokus perhatiannya adalah dampak dan output dari hasil perjalanan dinas tersebut. “Beban puluhan triliun rupiah harus dikeluarkan untuk kepentingan perjalanan dinas pegawai pemerintah pusat setiap tahun, apabila ditambah dengan beban APBD bisa dibayangkan berapa trilyun lagi uang negara yang dialokasikan untuk perjalanan Dinas. Sudahkah ada yang mengukur pengaruh beban alokasi perjalanan dinas terhadap kualitas kinerja pelayanan publik, apakah sudah efektif atau belum, atau jangan-jangan perjalanan dinas hanya dijadikan sarana mencari tambahan penghasilan”, demikian Sri Mulyani menyampaikan keresahannya terkait perjalanan dinas ASN.
Perjalanan Dinas adalah perjalanan yang dilakukan oleh karyawan/pegawai suatu lembaga/perusahaan yang berkaitan dengan tugas suatu lembaga/perusahaan yang berkaitan dengan tugas pekerjaan kedinasan. Tugas pekerjaan kedinasan adalah tugas pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan lembaga perusahaan yang bersangkutan (Wursanto, 2009). Pada organisasi pemerintahan, perjalanan dinas diatur mekanismenya melalui PMK (Peraturan Menteri Keuangan). Terdapat dua aturan PMK mengenai perjalanan dinas ini yakni: PMK 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, dan Pegawai Tidak Tetap dan PMK 164/PMK.05/2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Perjalanan Dinas Luar Negeri. Hal penting dan krusial dari kedua PMK tersebut yakni pemberlakuan prinsip selektif dan efisien dalam pelaksanaan perjalanan dinas.
Lantas bagaimanakah penerapan prinsip selektif dan efisien tersebut dalam implementasi perjalanan dinas, adakah ukurannya, atau apakah wujudnya serta berbagai macam pertanyaan serupa yang menjadi tolok ukur perjalanan dinas. Di beberapa kesempatan dan berbagai acara, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati selalu menyatakan bahwa jangan sampai satu rupiah pun uang negara tidak bisa dipertanggungjawabkan. Kondisi tersebut relevan dengan biaya perjalanan dinas sehingga setiap biaya perjalanan dinas harus dapat dipertanggungjawabkan dari mulai perintah, tujuan sampai dengan capaiannya.
Efisiensi pada anggaran belanja negara merupakan sesuatu yang penting di tengah makin meningkatnya kondisi defisit pada APBN kita. Data di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat menunjukkan pos Biaya Perjalanan Dinas selalu meningkat signifikan, dimulai di tahun 2015 sebesar Rp.30,12 trilyun, 2016 sebesar Rp.34,42 trilyun, 2017 sebesar Rp.39,51 trilyun dan 2018 sebesar Rp.43,79 trilyun. Tercatat dari tahun 2015 sampai dengan 2018 kenaikan biaya perjalanan dinas sudah mencapai 43,11%. Apabila dibandingkan lagi porsi pos biaya perjalanan dinas ini juga semakin membesar terhadap belanja operasional yakni 31,11% di tahun 2018. Dari data dan statistik di atas sudah menggambarkan betapa tingginya pos biaya perjalanan dinas di APBN.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan sudah melakukan beberapa kebijakan dalam mengatasi peningkatan biaya perjalanan dinas ini antara lain melalui kebijakan selfblocking, pembatasan paket meeting dalam dan luar kota, pembatasan perjalanan dinas luar negeri bagi pejabat negara serta pemberlakuan SBM terhadap rincian biaya perjalanan dinas secara sistem. Perlu diketahui sejak tahun 2007 melalui PMK 45/PMK.05/2007 sistem perjalanan dinas menggunakan kombinasi antara lumpsum dan “at cost”, yang artinya dibayar sesuai dengan kebutuhan.
Sebelumnya saat sistem “lumpsum” diterapkan maka pegawai yang akan melakukan perjalanan dinas akan menerima sejumlah uang tertentu yang dibayarkan sekaligus. Hitungan yang masuk di dalamnya, termasuk biaya transportasi, biaya penginapan dan biaya hidup selama perjalanan dinas. Sistem ini memungkinkan pegawai yang melakukan perjalanan dinas dapat mengatur sendiri penggunaan uangnya karena tidak ada pertanggungjawaban lebih lanjut mengenai penggunaan uang dinas. Satu-satunya alat bukti adalah Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD), yang ditandatangani dan dicap oleh instansi tempat tujuan sehingga berpotensi terjadinya penyelewengan. Dengan sistem kombinasi antara lumpsum dan “at cost” setiap perjalanan dinas harus dapat menunjukkan bukti kwitansi termasuk transportasi seperti tiket pesawat maupun akomodasi seperti invoice atau bill hotel dan lainnya.
Namun demikian sistem kombinasi antara lumpsum dan “at cost” sendiri juga tidak menjamin perjalanan dinas bersih dari penyelewengan. Terdapat 542 kasus yang ditemukan BPK sepanjang tahun 2017 terkait pemalsuan tiket dan boarding pass pesawat serta penggelembungan biaya atau mark-up hotel. Melihat banyaknya modus operandi praktik penyelewengan biaya perjalanan dinas ini maka diperlukan sistem yang lebih baik dalam mencegah dan menghilangkan potensi penyelewengan, salah satunya membuat sistem perjalanan dinas secara online memanfaatkan jejaring biro perjalanan seperti Traveloka, Tiket.Com, dsb serta pemberlakuan Kartu Kredit Pemerintah untuk Perjalanan Dinas.
Pemanfaatan teknologi informasi menjadi senjata baru bagi pemerintah dalam upaya mengefisienkan perjalanan dinas dari sisi sistem pembayaran. Namun upaya efisiensi dari sisi lainnya seperti moral hazard pegawai masih belum terukur hasilnya. Himbauan seperti pengurangan jumlah hari perjalanan dinas, jumlah pegawai yang melakukan perjalanan dinas dalam satu tim, serta peruntukan perjalanan dinas masih kerap diabaikan. Seperti tercatat dalam berita (Senin, 10 Desember 2018) Sri Mulyani Geram Pejabat Daerah Habiskan Anggaran untuk Jalan-Jalan (sumber Sindonews.com). Di berita tersebut Sri Mulyani menyoroti banyaknya pejabat daerah yang berkunjung ke Kementerian Keuangan secara rombongan dan berulang-ulang dengan keperluan yang tidak jelas. “Pernah kita buat layanan komunikasi website dan kita pakai teleconference tapi banyak daerah enggak suka karena enggak ada SPJ-nya," katanya.
Perjalanan dinas merupakan konsekuensi dan bagian operasional dari penyelenggaraan organisasi pemerintahan, namun demikian perjalanan dinas hendaknya dimaknai sebagai tugas negara yang pembiayaannya berasal dari uang rakyat melalui APBN. Maka efisiensi dari perjalanan dinas adalah hal yang mendesak serta perlu banyak dilakukan kajian secara lengkap demi terwujudnya tata kelola pengelolaan keuangan negara yang bersih, profesional dan akuntabel.