Transaksi Pemerintah Non Tunai dan Harapan Ke Depan
Oleh : Delfiana Lase, Kepala Bidang SKKI
Dirongrong oleh disrupsi ditengah pesatnya perkembangan teknologi dan digitalisasi, sistem pembayaran pun turut berevolusi. Mekanisme transaksi di era disrupsi menuntut pembayaran yang serba cepat dan praktis, telah menjadikan peran uang tunai kian terpinggirkan oleh alat pembayaran non-tunai.
Di tahun 2019, Bank Indonesia mencatat nilai transaksi non tunai (cashless) mencapai Rp128 triliun, meningkat hingga lima kali lipat dibanding tahun 2014 sebesar Rp3,3 triliun. Artinya, evolusi pembayaran memang sedang dan akan terus terjadi. Alat pembayaran non-tunai tersebut dibedakan berdasarkan tiga kategori, yakni berbasis kertas, berbasis kartu, dan berbasis elektronik. Cek, Giro, Nota Debet, Nota Kredit adalah contoh pembayaran non tunai berbasis kertas. Sedangkan yang berbasis kartu berupa Kartu Kredit dan Kartu Debet. Yang berbasis elektronik dikenal dengan sebutan e-money dalam bentuk dompet digital.
Berdasarkan studi dari Ipsos Indonesia, faktor keamanan dan efisiensi pembayaran menjadi dua di antara berbagai alasan pengguna memanfaatkan transaksi non tunai (cashless). Selain itu, ada beberapa manfaat lain dari sistem pembayaran non-tunai, yakni: transaksi kapan pun dan di mana pun karena tidak perlu mendatangi ATM dan antri; mudah mengatur pengeluaran dengan mengisi saldo harian seperlunya, praktis dan efisien karena tidak perlu membawa fisik uang tunai, terhindar dari tindak kriminal; dan mendapat banyak promo dan potongan rabbat/diskon.
Pembayaran Non Tunai dalam Transaksi Keuangan Pemerintah Saat Ini Transaksi keuangan pemerintah berevolusi dari rekening manual ke bentuk Giro, kemudian bertransformasi menjadi rekening Virtual dengan system pembayaran berupa Kartu Kredit Pemerintah termasuk yang terbaru yaitu Kartu Kredit Pemerintah Domestik dengan basis QRIS.
Mekanisme Uang Persediaan (UP) sebagai uang muka operasional perkantoran dalam pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Kementerian/Lembaga (K/L) selama ini dilakukan dengan basis kas dan pembayaran tunai. Sejak tahun 2019, telah dilakukan dengan sistem Kartu Kredit yang dinamai Kartu Kredit Pemerintah. Kartu Kredit Pemerintah (KKP) adalah alat pembayaran dengan menggunakan kartu, yang dapat digunakan untuk melakukan pembayaran atas belanja yang dapat dibebankan pada APBN, dimana kewajiban pembayaran pemegang kartu dipenuhi terlebih dahulu oleh Bank Penerbit Kartu Kredit Pemerintah, dan Satker berkewajiban melakukan pelunasan pembayaran pada waktu yang disepakati. Adapun kriteria Satker yang wajib bertransaksi dengan fasilitas KKP adalah yang memiliki pagu UP di atas Rp2,4 milyar.
KKP yang merupakan bentuk pembayaran transaksi pemerintah yang disebut Digital Payment, sedangkan untuk pasar yang mendukung transaksinya sudah disiapkan marketnya yang disebut sebagai Sistem Marketplace. Sistem Marketplace adalah sistem yang menyediakan layanan daftar Penyedia Barang/Jasa, pemesanan barang/jasa, pembayaran, dan pelaporan secara elektronik, dalam rangka penggunaan UP yang disediakan oleh bank tempat menyimpan uang persediaan yang mana pendaftaran Merchant/Vendornya dilakukan oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Satker yang mengelola APBN dalam dokumen DIPA.
Dalam perkembangannya, Sistem Marketplace dengan Sistem Digital Payment diintegrasikan menjadi Digipay dalam rangka penggunaan UP. Sistem Marketplace (yang menyediakan layanan daftar Penyedia Barang/Jasa, pemesanan barang/jasa, pembayaran, dan pelaporan secara elektronik, dalam rangka penggunaan UP yang disediakan oleh bank tempat menyimpan uang persediaan) diintegrasikan dengan Digital Payment (sistem pembayaran dengan mekanisme pemindahbukuan/overbooking, SKN-BI, dan/atau BI-RTGS dari rekening pengeluaran secara elektronik melalui CMS Virtual Account atau KKP, dalam rangka penggunaan UP melalui Sistem Marketplace) menghasilkan Platform yang disebut sebagai Digipay. Digipay diselenggarakan dengan sistem Interoperabilitas yaitu pelaksanaan pembayaran atas belanja negara dapat dilakukan melalui mekanisme pemindahbukuan (overbooking), Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI), dan/ atau Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BIRTGS).
Interoperabilitas adalah kemampuan sistem untuk dapat digunakan oleh User dengan berbagai rekening yang berbeda dan terhubung dengan sistem lain dalam rangka pertukaran data dan/atau informasi. Dalam perjalanan waktu, KKP mengalami perluasan digitalisasi menjadi Kartu Kredit Pemerintah Domestik (KKPD). KKPD adalah skema pembayaran domestik berbasis fasilitas kredit dalam memfasilitasi transaksi pemerintahan pusat dan daerah melalui Kartu Kredit Pemerintah yang diproses secara domestik, yang mulai diimplementasikan pada 1 September 2022 yang diluncurkan berbasis Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) antar negara.
Implementasi KKPD dan QRIS antar negara ini diinisiasi oleh Bank Indonesia sebagai tindak lanjut digitalisasi sistem pembayaran untuk pembelian barang dan jasa pemerintah baik pusat maupun daerah. KKP dan KKPD sudah direalisasikan oleh Satuan Kerja (Satker) K/L yang dana operasionalnya bersumber dari APBN Pos Belanja Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam dokumen pembayaran DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran). Sedangkan khusus KKPD, mulai diperkenalkan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) terutama Pemda Provinsi, disusul Pemda Kota dan Pemda Kabupaten.
KKPD merupakan bentuk jawaban atas pelaksanaan Elektronifikasi Transaksi Pemerintah Daerah (ETPD) yang dicanangkan sejak Februari 2020 yang lalu, sebagai bagian dari jawaban disrupsi pandemic Covid-19. ETPD adalah suatu upaya yang terpadu dan terintegrasi untuk mengubah transaksi pendapatan dan belanja pemerintah daerah dari tunai menjadi non tunai berbasis digital dengan tujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan keuangan daerah.
Implementasi Transaksi Pemerintah Non Tunai dan Harapan Ke Depan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam penandatangan MoU Koordinasi Percepatan dan Perluasan Elektronifikasi Transaksi Pemerintah (ETP) mengatakan bahwa ETP bukanlah tujuan namun merupakan sarana, jika dimanfaatkan dengan baik akan menjadi sarana untuk mencapai tujuan yang baik. Mengandung analogi bahwa ETPD pun sebagai bagian dari ETP, harus pula dilaksanakan dengan prinsip dan tujuan yang sama.
Pertama, deliverable assurance, yaitu diharapkan dengan pelaksanaan ETP akan menjamin hasil-hasil pembangunan dari APBN dan APBD, bukan hanya berstatus sent, melainkan hingga delivered sehingga bermanfaat bagi ekonomi dan masyarakat. Kedua, data utilisation, melalui ETP pengelola keuangan tidak lagi sibuk pada pengumpulan data namun beralih menjadi data analysis, data dapat diolah untuk pengambil keputusan merumuskan kebijakan yang bersifat strategis.
Ketiga, continous improvement, karena data yang timely dapat digunakan untuk perbaikan terus menerus.
Keempat, ETP mendukung ketahanan fiskal nasional melalui otomasi pemotongan pajak pada saat pembayaran sehingga meningkatkan penerimaan pajak dari belanja daerah. Proses otomasi pemotongan dan penyetoran pajak atas belanja daerah dapat terwujud melalui implementasi penyetoran pajak ke kas negara yang terintegrasi dengan pencairan dana belanja daerah (SP2D Online). Kelima, ETP mendorong perbaikan pelayanan publik dan reformasi birokrasi yang makin baik karena transparan dan semakin akuntabel. ETPD yang berbasis digital akan memperkokoh pengelolaan keuangan daerah dan pengamanan pajak atas belanja daerah, yang pada gilirannya akan meningkatkan ketahanan fiskal nasional melalui terwujudnya otomasi pemotongan dan penyetoran pajak atas belanja daerah.***
Artikel Ini Telah Tayang Di *FaktaHukumNTT.Com*
*Dengan Judul :*
Transaksi Pemerintah Non Tunai dan Harapan Ke Depan
*Sumber Link :*
https://www.faktahukumntt.com/opini/transaksi-pemerintah-non-tunai-dan-harapan-ke-depan/5/