Gunungsitoli

Deviasi Halaman III DIPA, Muaranya Kemana? – Bagian 1

 

Pernahkah kita bertanya-tanya, acap kali KPPN mengingatkan para pejabat perbendaharaan terkait Halaman III DIPA, sebenarnya untuk apa, sih? Memangnya mengapa kalau satker saya deviasi? Rekan-rekan, yuk kita telusuri kembali secara ringkas kemana indikator Deviasi Halaman III DIPA ini bermuara. Penelusuran kita mulai dari mengulik kembali apa itu Deviasi Halaman III DIPA dan bagaimana awal mulanya dan cara menghitungnya.

 

Deviasi Halaman III DIPA merupakan salah satu komponen dalam Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran (IKPA) yang mengukur seberapa jauh kesesuaian realisasi anggaran dengan rencana penarikan dana (RPD) yang telah disusun dan ditetapkan dalam Halaman III DIPA. Indikator ini menunjukan kualitas perencanaan anggaran bulanan yang disusun per jenis belanja oleh pejabat perbendaharaan masing-masing satuan kerja.

Pengukuran IKPA meliputi 3 aspek, yakni 1) Kualitas perencanaan pelaksanaan anggaran, 2) Kualitas implementasi pelaksanaan anggaran, dan 3) Kualitas hasil pelaksanaan anggaran. Indikator Deviasi Halaman III DIPA, yang menjadi bintang utama dalam pembahasan kita kali ini, termasuk di dalam Aspek Kualitas Perencanaan Pelaksanaan Anggaran.

Dalam Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-5/PB/2024 tentang Petunjuk Teknis Penilaian Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran Belanja Kementerian Negara/Lembaga, tertulis bahwa Deviasi halaman III DIPA dihitung berdasarkan rasio antara nilai penyimpangan/deviasi realisasi anggaran terhadap RPD Bulanan pada setiap jenis belanja yang telah dimutakhirkan setiap awal triwulan (Pasal 7).

Bagaimana cara menghitung Deviasi Halaman III DIPA? Deviasi Halaman III DIPA dihitung tertimbang setiap bulan per jenis belanja sebagai berikut.

Deviasi DIPA Tertimbang per Jenis Belanja (JB) bulan ke-n

JB : Belanja Pegawai (BPeg), Belanja Barang (BBar), Belanja Modal (BMod), dan Belanja Bansos (BBns)

Deviasi DIPA Tertimbang untuk semua Jenis Belanja bulan ke-n

Sehingga, diperoleh nilai indikator Deviasi Halaman III DIPA bulan ke-n:

Untuk memperoleh nilai maksimal (100), ambang batas rata-rata deviasi bulanan adalah sebesar 5%. Ambang batas ini berarti bahwa realisasi dapat kurang 5% atau lebih 5% dari RPD yang telah ditetapkan. Hal ini merupakan salah satu bentuk fleksibilitas perencanaan untuk mengakomodasi dinamika pelaksanaan anggaran dan kegiatan di lapangan.

 

Yuk, mari simak ilustrasi perhitungan berikut:

Satker ABC merencanakan akan merealisasikan (RPD) Belanja Pegawai (51), Belanja Barang (52), dan Belanja Modal (53) seperti pada tabel. Namun pada bulan Februari, Satker ABC mengajukan SPM dan merealisasikan belanja barang dan belanja modal tidak sesuai dengan RPD, sehingga terjadi deviasi sebagaimana pada kolom (k), (l), dan (m).

Deviasi ini kemudian diproporsikan dengan pagu per jenis belanja (dikalikan proporsi pagu per jenis belanja) sehingga diperoleh deviasi tertimbang pada kolom (n), (o), dan (p). Jumlah deviasi tertimbang seluruh jenis belanja ini kemudian dirata-ratakan dan menjadi pengurang nilai IKPA.

Pada bulan Januari, nilai IKPA tetap bernilai 100 karena Deviasi DIPA Tertimbang masih dibawah 5% atau belum melebihi ambang batas. Akan tetapi, dapat kita lihat bahwa deviasi yang terjadi di bulan Januari ini mempengaruhi nilai IKPA indikator Deviasi Halaman III DIPA Februari:

Deviasi DIPA Tertimbang Februari  = Rata-Rata dari Deviasi Seluruh JB Januari dan  Februari

                                                                     = (4% + 13%)/2

                                                                     = 8,50

 

Nilai IKPA Deviasi Februari                 = 100 – 8,50 = 91,50

Begitu pula di bulan Maret, Deviasi DIPA Tertimbang dihitung dari rata-rata Deviasi Seluruh JB Januari, Februari, dan Maret = (4% + 13% + 18%)/3 = 11,67. Sehingga Nilai IKPA Deviasi Maret = 100-11,67 = 88,33.

Nah, nilai indikator Deviasi Halaman III DIPA ini kemudian mengalir ke dalam nilai IKPA dengan bobot sebesar 15%. Nilai bobot ini meningkat dibanding dengan bobot formulasi IKPA sebelumnya yang sebesar 10% (PER-5/PB/2022).

Dari ilustrasi di atas, diperoleh bahwa

  1. semakin tinggi nilai deviasi, semakin turun nilai indikator Deviasi Halaman III DIPA, dan semakin turun nilai IKPA.
  2. deviasi yang telah terjadi di bulan-bulan sebelumnya, tetap terbawa dan mempengaruhi nilai IKPA di bulan berikutnya.

Jadi, sampai di sini kita sudah dapat memahami titik awal penelusuran kita, yakni 1) RPD yang disusun dan dimutakhirkan setiap awal triwulan oleh para pejabat perbendaharaan satuan kerja, 2) SPM yang diajukan ke KPPN dan menjadi realisasi per bulannya, 3) Nilai IKPA Indikator Deviasi per bulan, dan 4) Nilai IKPA satuan kerja per bulan.

Sampai pada tahap ini, satuan kerja diharapkan

  1. Menyusun RPD secara akurat, baik dari nominal maupun waktu pelaksanaannya. Diperlukan komunikasi dan koordinasi yang baik antara para pejabat perbendaharaan dan pihak pelaksana teknis kegiatan agar rencana keuangan sinkron dengan rencana kegiatan. Berikut beberapa tips atau strategi yang dapat dicoba dalam menyusun RPD:
    1. Identifikasi kegiatan yang memerlukan belanja secara terperinci, termasuk jadwal dan target waktu penyelesaiannya. Apakah kegiatan diselesaikan dalam satu waktu, atau bertahap?
    2. Identifikasi belanja yang rutin setiap bulannya, seperti gaji, tunjangan, listrik, air, internet, ATK, dsb.
    3. Hitung seluruh perkiraan belanja dan susun RPD.
    4. Manfaatkan open period pemutakhiran RPD setiap awal triwulan apabila ada perubahan. Ingat, pemutakhiran disampaikan oleh satker paling lambat pada hari kerja kesepuluh awal triwulan. Revisi/pemutakhiran yang dilakukan melewati batas waktu tersebut tidak diperhitungkan dalam Halaman III DIPA.
    5. Perhatikan target penyerapan anggaran sebagaimana diatur dalam ketentuan terkait indikator Penyerapan Anggaran.

 

  1. Mengajukan SPM setelah mengecek ketersediaan RPD per jenis belanja setiap bulannya melalui aplikasi Monev PA – OMSPAN.

Harap memperhatikan bahwa tidak semua jenis SPM akan terbit SP2D dan menjadi realisasi bulan berkenaan pada hari yang sama. Misalnya, meskipun sama-sama diajukan di tanggal 30 Juni, SPM GUP akan terbit SP2D di hari yang sama dan menjadi realisasi bulan Juni, sedangkan SPM LS-Banyak Penerima untuk pembayaran perjalanan dinas akan terbit SP2D dalam 2 hari kerja berikutnya sesuai schedule payment date (SPD) yakni di tanggal 2 Juli dan menjadi realisasi bulan Juli, bukan Juni.

 

Di samping itu, agar pengajuan SPM tidak terhambat karena penolakan oleh KPPN atau sistem, para pejabat perbendaharaan sesuai dengan kewenangannya masing-masing penting untuk selalu memastikan:

  • kesesuaian data supplier yang direkam pada SAKTI dengan yang terdaftar di SPAN (penulisan nama, gelar, spasi, titik, koma, nomor rekening, tipe supplier, dsb),
  • kelengkapan dokumen yang wajib dilampirkan per jenis SPM yang diajukan,
  • pembubuhan tanda tangan elektronik di aplikasi SAKTI atas seluruh dokumen lampiran SPM sesuai kewenangannya masing-masing,
  • kesesuaian penulisan uraian SPM, penggunaan akun, dsb.

 

  1. Jika terdapat kebutuhan yang sangat penting dan mendesak namun belum diperhitungkan dalam RPD, segera koordinasikan dengan KPPN sebelum mengajukan SPM.

Lantas, apa yang terjadi jika nilai IKPA satuan kerja rendah? Yuk, kita bahas di bagian berikutnya, ya.

 

Oleh: Lady Ayu Finishend Daeli

Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi dan tidak mewakili institusi tempat penulis bertugas.

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

© 2021 DItjen Perbendaharaan. All Rights Reserved. Managed By DorinteZ

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Djuanda I Lt. 9
Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1 Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

IKUTI KAMI

 

PENGADUAN

 

 

Search