Upaya Mengukur Kualitas Pelaksanaan APBN di Provinsi Papua
Oleh : Made Ambara – KPPN Jayapura
Pengeluaran pemerintah menurut ekonom John Maynard Keynes, merupakan salah satu unsur pembentuk pendapatan nasional. Dalam identitas pendapatan nasional menurut Keynes, semakin besar pengeluaran pemerintah, maka semakin besar pula pendapatan nasional yang dapat terbentuk. Besarnya pengeluaran pemerintah dapat diukur dari jumlah realisasi Angggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dikurangi jumlah pajak/pungutan oleh pemerintah pusat maupun daerah. Pendapatan nasional biasa diukur dengan indikator Produk Domestik Bruto (PDB). Selanjutnya dari perubahan nilai PDB antar tahun pada harga konstan dapat diukur pertumbuhan ekonomi.
Dalam memberikan stimulus pada pertumbuhan ekonomi, selain besarnya (size) pengeluaran pemerintah, kualitas eksekusi APBN atau APBD juga sangat menentukan. Dalam siklus anggaran pemerintah, tahap eksekusi APBN/APBD disebut sebagai tahap Pelaksanaan Anggaran. Selanjutnya, apa indikator yang digunakan untuk mengukur kualitas Pelaksanaan Anggaran? Sering kita mendengar, membaca, atau melihat berita, pejabat yang meminta jajaran birokrasi di bawahnya untuk mengoptimalkan dan mempercepat penyerapan anggaran. Benar, penyerapan anggaran dapat dijadikan indikator bagi kualitas Pelaksanaan Anggaran. Namun, tingginya penyerapan anggaran tidak serta merta dapat dikatakan telah terjadi Pelaksanaan Anggaran yang berkualitas. Seyogyanya, pengukuran kualitas Pelaksanaan Anggaran perlu menambahkan indikator-indikator lain.
Dalam konteks APBN, pengukuran kualitas Pelaksanaan Anggaran merupakan tugas dan wewenang Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Tugas dan wewenang Menteri Keuangan tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN dan perubahannya. Teknis pelaksanaannya diatur lebih lanjut pada Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan. Sampai dengan tahun 2021, untuk mengukur kualitas Pelaksanaan Anggaran, telah dirumuskan Indikator Kualitas Pelaksanaan Anggaran (IKPA) dengan 13 sub-indikator. Ke-13 sub-indikator IKPA mewakili empat aspek yaitu : pertama, kesesuaian perencanaan dengan pelaksanaan anggaran; kedua, kepatuhan terhadap regulasi; ketiga, efektivitas Pelaksanaan Anggaran, dan terakhir, efisiensi Pelaksanaan Anggaran. IKPA bersifat dinamis, artinya sub-indikator di dalamnya bisa ditambah, dikurangi atau sekedar diperbaiki manual cara perhitungannya.
Berapa skala IKPA dan bagaimana teknis perhitungannya? Nilai tertinggi IKPA adalah 100 persen. Ketiga belas sub-indikator IKPA mempunyai bobot yang ditetapkan dalam Peraturan Dirjen Perbendaharaan. Dua sub-indikator dengan bobot terbesar adalah : pertama, persentase capaian output dan kedua, persentase penyerapan anggaran. Kedua sub-indikator tersebut masing-masing memiliki bobot 17 dan 13 persen dalam manual perhitungan IKPA. IKPA digunakan untuk mengukur kualias Pelaksanaan Anggaran pada 26.000 satuan kerja kementerian/lembaga yang ada di seluruh Indonesia. Nilai IKPA di-update secara periodik dan dapat dihitung pula nilai IKPA bersadarkan provinsi atau wilayah kerja KPPN. Oleh karena banyaknya satker yang menjadi objek pengukuran IKPA, dan pengukuran IKPA dilakukan terus menerus, maka perhitungan IKPA secara manual sangat tidak efisien dilakukan. Oleh sebab itu, perhitungan IKPA dilakukan dengan menggunakan aplikasi Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (OM SPAN). Aplikasi OM SPAN yang mendapatkan data dari aplikasi-aplikasi yang terkait dengan Pelaksanaan Anggaran dan input dari petugas satuan kerja. Setiap pejabat/petugas satuan kerja dapat melihat perkembangan nilai IKPA satuan kerja-nya masing-masing pada aplikasi OM SPAN setiap saat dengan user dan password masing-masing.
Selanjutnya, bagaimanakah hasil perhitungan IKPA untuk Provinsi Papua? Sesuai data yang dirilis oleh Kantor Pusat Direktorat Jenderal Perbendaharaan, rata-rata nilai IKPA dari 639 satuan kerja kementerian/lembaga yang ada di Provinsi Papua adalah 91,11 persen dari nilai maksimal 100 persen untuk periode triwulan III 2021. Nilai tersebut sebenarnya sudah cukup baik, namun dibandingkan dengan nilai IKPA provinsi lainnya, nilai IKPA Provinsi Papua hanya menempati peringkat ke-32 dari 34 provinsi. Tentunya peringkat tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat potensi peningkatan kualitas Pelaksanaan Anggaran di Provinsi Papua pada triwulan IV 2021.
Dari rincian nilai IKPA, nilai sub-indikator persentase capaian output perlu mendapatkan perhatian ekstra, karena nilai sub-indikator ini mendapatkan nilai terendah yaitu 77,86 persen. Peningkatan nilai sub-indikator persentase capaian output adalah peluang utama untuk meningkatkan nilai IKPA Provinsi Papua, karena sub-indikator ini memiliki bobot tertinggi dalam formulasi perhitungan nilai IKPA. Isitilah “output” yang digunakan di sini, kurang lebih adalah barang dan/atau jasa yang dihasilkan dari Pelaksanaan APBN. Contoh barang dan/atau jasa yang dimaksud contohnya adalah barang publik seperti jembatan, jalan, saluran irigasi, kegiatan vaksinasi, atau kegiatan monitoring dan evaluasi yang perlu dilaksanakan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi satuan kerja. Target sub-indikator persentase capaian output per triwulan III adalah 60 persen. Artinya, jika rata-rata satker melaporkan capaian output telah mencapai 60 persen, maka nilai sub-indikator persentase capaian output akan mendapatkan nilai 100 persen. Dengan demikian, rata-rata persentase capaian output yang telah dilaporkan oleh 639 satuan kerja hanya sebesar 46,7 persen (77,86 persen x 60 persen).
Persentase capaian output seluruh satuan kerja di Papua dapat dianalisis lebih lanjut dengan membandingkannya dengan persentase realisasi penyerapan anggaran. Tingkat penyerapan APBN di Provinsi Papua per triwulan III telah mencapai lebih dari 60 persen dari pagu yang ada. Idealnya, antara tingkat penyerapan anggaran dan tingkat capaian output seharusnya tidak terdapat perbedaan yang terlalu tinggi. Pada masa pandemi COVID-19 tingkat penyerapan anggaran dapat lebih rendah dari tingkat capaian output karena ada kegiatan sosialisasi, bimtek, atau monitoring dan evaluasi yang semula direncanakan akan dilakukan secara luring, direalisasikan secara daring. Artinya ada anggaran untuk perjalanan dinas atau konsumsi rapat yang tidak digunakan, sementara output kegiatan telah tercapai. Penyebab rendahnya nilai persentase capaian output tersebut dapat disebabkan oleh belum seluruh satuan kerja melaporkan capaian outputnya secara lengkap setiap bulan.
Akhirnya, kualitas Pelaksanaan Anggaran hanya dapat meningkat dengan sinergi antara jajaran Kementerian Keuangan, khususnya Kanwil Ditjen Perbendaharaan dan KPPN, dengan para Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang ada di seluruh satuan kerja. Tanpa peran aktif dan komitmen yang tinggi dari kedua belah pihak, upaya peningkatan kualitas Pelaksanaan Anggaran tidak dapat dilaksanakan secara optimal. Torang bisa!
Penulis adalah Kepala KPPN Jayapura
***