“Berani melakukan perubahan dan melawan korupsi adalah sesuatu yang membuat kita dihargai” - Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan RI.
Hingga saat ini banyak pembahasan mengenai kasus korupsi yang pada kenyataannya tidak diimbangi dengan pencarian solusi. Ramai dibicarakan, sepi tindakan. Maka tidak heran jika kasus korupsi terus menjadi masalah yang tidak berujung. Jangankan ujungnya, pangkalnya saja tidak pernah ditemukan. Sebenarnya bukan hal yang tidak mungkin untuk melakukannya. Hanya saja pihak yang berkepentingan menilai bahwa kasus korupsi hanya dapat diselesaikan dalam rencana jangka panjang. Misalnya saja dengan perbaikan sikap atau moral penerus bangsa lewat dunia pendidikan. Sehingga hasil penanggulangan kasus korupsi sesungguhnya hanya menjadi sebuah ekspektasi jangka panjang pula.
Seperti telah mengakar dalam diri kita, korupsi menjadi darah daging perjalanan bangsa 74 tahun ini. Tetapi sepanjang pengetahuan, definisi korupsi yang telah lekat dalam pikiran kita sendiri mengalami peggerusan makna. Dalam pemahaman sehari-hari atas korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan prbadi atau golongan (KBBI), sehingga pandangan terhadap korupsi akan berputar pada uang yang tentunya berjumlah besar. Namun setelah dirunut kembali pada etimologi bahasa, korupsi yang berasal dari kata corruptio memiliki makna segala sesuatu tindakan yang tercela, termasuk berbohong, memfitnah, mencuri, dan lain lain. Makna korupsi yang menjadi lebih luas seharusnya mampu memperluas lagi pemahaman mengenai fenomena korupsi.
Dalam jalannya pemerintahan, Aparatur Sipil Negara (ASN) adalah prajurit terdepan dalam medan perang. ASN dengan personilnya yang banyak dan spesialisasi tugas yang beraneka merupakan pelaku dalam berbagai kebijakan dalam subpemerintahan. Diperlukan berbagai bentuk pemagaran berupa pencegahan dan pelindung dalam setiap perbuatannya. Disinilah peran sebuah kode etik yang umumnya melindungi unit kerja dan menjaga martabat serta kehormatan ASN. Aparatur sipil negara dituntut untuk menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan, dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan (UU RI NO.5 Tahun 2014 tentang aparatur sipil negara bagian ketiga tentang kewajiban ASN). Tetapi nyatanya tidak sedikit perbuatan aparatur sipil negara membuat risau masyarakat dan justru memberikan contoh penyimpangan etika dan moral. Pihak yang seharusnya diteladani malah menjadi pelaku dalam cacatnya sebuah sistem.
“Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit”. Berbagai permasalahan kecil yang terus menerus diacuhkan lama-lama akan menjadi masalah yang lebih besar. Permasalahan korupsi nyatanya tidak pernah mendapat perhatian serius untuk diselesaikan. Untuk itu, diperlukan perhatian yang terfokus sebagai bentuk tanggap terhadap suatu permasalahan. Permasalahan seperti ini akan menjadi sangat fatal jika terjadi pada aspek kehidupan dengan lingkup yang luas, contohnya di dalam pemerintahan. Sikap acuh yang terus dikembangkan akan menjadi obstruksi dalam perkembangan pembangunan bangsa. Tentunya semua ini berawal dari krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah, hingga akhirnya timbul rasa lelah untuk memberikan perhatian dan pemikiran berwujud tindak anti-korupsi.
Clean Government dan Good Governance merupakan persyaratan bagi setiap pemerintahan untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan serta cita-cita berbangsa dan bernegara. Dalam rangka itu, diperlukan pengembangan dan penerapan sistem pertanggungjawaban yang tepat, jelas, terukur dan legitimate sehingga penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan dapat berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih, dan bertanggung jawab. Pada hakikatnya, Good Goveranance merupakan proses pemerintahan yang menjalankan prinsip-prinsip demokrasi, akuntabilitas, transparansi, efisiensi, efektifitas, profesionalitas, dan mendapat dukungan dari masyarakat dalam bentuk public trust.
Selaras dengan cita-cita itu, perubahan mindset harus mulai digalakkan. Sikap “nanti saja” yang terus berlarut dapat menggerus program-program anti-korupsi yang telah dirumuskan dengan matang harus dihapuskan. Perubahan mindset tidak dapat terjadi dalam waktu yang singkat, melainkan memerlukan bantuan dari berbagai kalangan. Silent fighting yang sering dilakukan oleh creative minority sebenarnya dapat membantu menciptakan iklim zero tolerance to corruption, hanya saja seni menyampaikan opini sangat mudah dikalahkan oleh nafsu emosi. Tidak dapat dipungkuri, berbagai aksi anti-korupsi tentunya telah dilakukan oleh berbagai kalangan dengan berbagai pengemasan yang mudah untuk diterima, entah itu lewat karya seni, sastra, ceramah keagamaan, atau bahkan orasi ilmiah. Namun, terkadang beberapa masyarakat lupa bahwa akan sangat dibutuhkan pengaduan singkat yang sifatnya praktis untuk dipertimbangkan penindakannya disamping vokal yang lantang didepan gedung-gedung pemerintah.
Pemerintah harus mau lebih banyak mendengar supaya dapat lebih banyak memberi dan memenuhi ekspektasi masyarakat. Sebagai bentuk dukungan, pemerintah yang mengambil peran policy maker memiliki kewajiban untuk membuka selebar-lebarnya sarana pengaduan masyarakat. Dengan dukungan teknologi mutakhir, sarana pengaduan harus mampu menyelami berbagai sektor publik misalnya layanan kesehatan, layanan pendidikan, hingga layanan administrasi publik. Sarana-sarana pengaduan yang disediakan harus mendapatkan akses yang mudah untuk dijangkau. Kerahasiaan identitas pelapor juga perlu diberikan jaminan untuk tidak mudah terpublikasi. Feedback yang cepat setelah laporan dibuat tentu akan menambah nilai kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kemudahan-kemudahan tersebut akan membuat masyarakat lebih nyaman dan yakin untuk memberikan laporannya melalui sarana pengaduan online, sehingga kedepannya diharapkan masyarakat akan lebih giat dan teratur dalam usahanya turut memerangi korupsi.
Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang secara langsung menangani penyaluran DAK Fisik, dana desa, dan pencairan realisasi APBN di daerah, memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi para stakeholder dalam hal ini masyarakat, untuk memberikan laporannya secara tertutup melalui layanan pengaduan online Sistem Informasi Pengelolaan Pengaduan (SIPANDU). SIPANDU adalah sistem pengaduan online Direktorat Jenderal Perbendaharaan yang merupakan salah satu turunan sarana whistleblowing system yang telah lebih dulu dibentuk oleh Kementerian Keuangan. SIPANDU memfasilitasi siapapun yang memiliki informasi dan ingin melaporkan adanya suatu perbuatan berindikasi pelanggaran atas kode etik dan disiplin pegawai yang terjadi di lingkungan Ditjen Perbendaharaan. Pengaduan yang dibuat akan dapat dengan mudah ditindaklanjuti apabila memenuhi unsur 4W+1H yaitu jenis perbuatan berindikasi pelanggaran, lokasi, waktu, pihak yang terlibat, dan bagaimana perbuatan tersebut dilakukan. Setiap laporan yang telah dibuat akan diproses secara topdown oleh Unit Kepatuhan Internal Eselon I (UKI E-1) Kantor Pusat sebagai unit pengelola pengaduan. Setelah pengaduan diterima, unit pengelola pengaduan akan melakukan verifikasi, pengakijian materi pengaduan, tindak lanjut pengaduan, hingga penyusunan laporan. SIPANDU dapat diakses pada laman https://pengaduandjpb.kemenkeu.go.id/.
Seluruh jajaran pegawai Kementerian Keuangan memahami bagaimana sulitnya membangun kembali citra positif setelah beberapa tahun silam nama baiknya dihancurkan oleh oknum tidak bertanggungjawab. Public trust adalah nilai yang mahal harganya, inilah yang melatarbelakangi Kementerian Keuangan untuk terus melakukan ekspansi dan inovasi berbagai bentuk sarana pengaduan yang semakin user friendly. Hal ini dilaksanakan sebagai wujud keseriusan komitmen Kementerian Keuangan dalam sikap anti-korupsi. Kedepannya diharapkan dapat terjalin sinergi positif antara Kementerian Keuangan, masyarakat, dan para pemangku kepetingan untuk bersama sama secara proaktif mengawal APBN untuk membangun negeri melalui sikap anti-korupsi. (*)
Penulis: Vini Vignandi