Oleh Rachel Dwi Aurindah (Pelaksana pada Direktorat Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan
Keistimewaan, DJPK) dan As'ad Zaenul Arham (Pelaksana pada KPPN Sumbawa Besar, DJPb)
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah, Dana Desa adalah bagian dari transfer ke daerah yang
diperuntukkan bagi desa agar mendukung pendanaan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan, pemberdayaan masyarakat, dan kemasyarakatan. Alokasi Dana Desa pada tahun
2024 adalah sebesar Rp71 triliun yang terdiri atas Rp69 triliun untuk Dana Desa Reguler dan Rp2
triliun untuk insentif/tambahan Dana Desa atas kinerja pada tahun berjalan. Dana Desa yang telah
disalurkan dikelola oleh Kepala Desa bersama aparatur desa sesuai dengan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Desa (APBDes) yang telah disepakati bersama.
Desa merupakan miniatur dari pemerintahan otonomi di Indonesia. Kepala Desa bersama
aparaturnya memiliki tugas untuk membina dan meningkatkan perekonomian desa dalam
meningkatkan kualitas kehidupan demi tercapainya kesejahteraan masyarakat. Desa tidak hanya
melaksanakan belanja, tetapi juga menghimpun pendapatan dan semua siklus pengelolaan
keuangan yang ada di desa. Mulai proses penyusunan anggaran yang memerlukan persetujuan
dewan perwakilan desa, pelaksanaan, sampai dengan pelaporan dan pertanggungjawaban terdapat
di desa.
Kepala Desa juga memiliki tugas mengembangkan sumber pendapatan desa yang berasal dari
Alokasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), bagian dari hasil Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah Kabupaten/Kota, pemanfaatan aset, dan lain-lain pendapatan desa yang sah untuk
mendukung kesejahteraan dan kemandirian desa. Kepala Desa diwajibkan memanfaatkan sumber
daya tersebut untuk menetapkan kebijakan melalui program kegiatan prioritas sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Kompleksitas pengelolaan keuangan desa ini perlu dikaji lebih mendalam
agar prinsip good governance berjalan dengan baik dan membawa kemakmuran masyarakat.
Tantangan dan Pengelolaan Dana Desa: Akuntabilitas, Transparansi, dan Korupsi
Alokasi Dana Desa terhadap APBN dapat dikatakan cukup besar. Meskipun besarannya fluktuatif
setiap tahunnya, tetapi tetap berada pada angka 2% sampai dengan 3% dari total belanja negara,
bahkan berada di atas 3% pada tahun 2019. Peningkatan nilai dana desa yang cukup signifikan
terjadi pada tahun 2016 (naik Rp25,91 miliar dari tahun sebelumnya), tahun 2017 (naik Rp13,09
miliar dari tahun sebelumnya), dan tahun 2019 (naik Rp9,96 miliar dari tahun sebelumnya).
Tujuan utama pemerintah terhadap dana desa sebesar kurang lebih Rp70 triliun setiap tahunnya
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat. Kesejahteraan dan
kualitas hidup masyarakat ini dapat dilihat dari tingkat kemiskinan yang rendah. Namun
kenyataannya, angka kemiskinan Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), pada semester 1 tahun 2023 angka kemiskinan nasional berada di angka 9,36%;
masih di atas target kemiskinan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) 2020-2024 sebesar 6,5% sampai 7,5%.
Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), tingkat tindak pidana korupsi di level desa
menunjukkan tren meningkat dan konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling
banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum dari tahun 2015 sampai tahun 2021.
Sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara
mencapai Rp433,8 miliar. Hal ini berlanjut di tahun 2022, dengan jumlah 155 kasus korupsi pada
sektor desa (26,77% dari total kasus korupsi yang ditangani penegak hukum), 133 kasus
berhubungan dengan Dana Desa, dan 22 kasus berkaitan dengan penerimaan desa.
Besarnya dukungan alokasi anggaran dari pemerintah pusat dan kewenangan kepala desa dalam
pengelolaan Dana Desa menyisakan persoalan terkait pengawasan tata kelola keuangan desa yang
akuntabel dan bebas korupsi. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis membahas pengelolaan dana
desa, khususnya dalam sisi akuntabilitas dan transparansi serta implementasi prinsip-prinsip good
governance dalam pengelolaan Dana Desa.
Tantangan Sumber Daya Manusia
Sumber daya manusia merupakan salah satu penentu terbesar keberhasilan suatu sistem. Meskipun
sistem sudah terstruktur dengan baik dan sistematis, tetapi apabila tidak didukung dengan sumber
daya manusia yang kompeten, maka output yang dihasilkan tidak akan optimal. Sumber daya
manusia yang dimaksud disini adalah pemerintah desa, mulai dari kepala desa dan perangkat desa
sebagai pelaksana Dana Desa secara langsung; dan juga Badan Permusyawaratan Desa (BPD)
selaku pengawas kinerja kepala desa dan pengawas anggaran di desa. Selain itu juga pihak Dinas
Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) dan Inspektorat yang memiliki tugas pembimbingan
dan pengawasan (binwas) desa.
Permasalahan pertama terkait permasalahan sumber daya manusia adalah kurangnya kompetensi
perangkat desa. Kompetensi yang kurang dari perangkat desa dapat menghambat efisiensi,
transparansi, dan keberlanjutan pembangunan di tingkat lokal. Tidak jarang perangkat desa belum
memiliki pendidikan dan pelatihan yang memadai terkait dengan tugas dan fungsi serta tanggung
jawab dalam pengelolaan keuangan desa.
Perangkat desa tidak sepenuhnya memahami regulasi dan kebijakan yang berlaku terkait dengan
administrasi desa, pengelolaan sumber daya, dan pelaksanaan program-program pembangunan.
Ketidakpahaman tersebut dapat menyebabkan pelanggaran aturan, kesalahan dalam pelaporan, dan
keputusan yang tidak tepat dalam mengelola dana desa dan sumber daya lainnya.
Pengelolaan keuangan tingkat desa saat ini sudah memanfaatkan teknologi untuk mempermudah,
yaitu aplikasi Sistem Keuangan Daerah (Siskeudes). Namun, masih terdapat beberapa perangkat
desa di Kabupaten Sumbawa yang masih kurang terampil dalam menggunakan aplikasi tersebut
sehingga membutuhkan bantuan DPMD ataupun desa lain untuk menginput transaksi mereka dalam
aplikasi Siskeudes. Hal ini dapat menyebabkan perbedaan data karena data yang diinput dalam
aplikasi tidak dilakukan oleh pelaksana kegiatan di desa.
Permasalahan kompetensi aparat desa juga terkait dengan kualitas kegiatan yang ada. Penggunaan
Dana Desa sedikit yang melakukan inovasi atau kegiatan pengelolaannya hanya sebatas fisik
lingkungan dan sangat sedikit kegiatan produktif dan inovatif.
Permasalahan kedua adalah keterbatasan jumlah pegawai DPMD serta Inspektorat Daerah dengan
jumlah desa yang harus dibina. Pegawai DPMD Kabupaten Sumbawa hanya ada 34 pegawai,
sedangkan desa yang ada sebanyak 157 desa. Inspektorat sendiri hanya memiliki 58 pegawai,
sedangkan lingkup kerja Inspektorat tidak hanya desa, melainkan keseluruhan pemerintah daerah.
Hal ini menyebabkan DPMD dan Inspektorat tidak dapat melakukan tugas bimbingan dan
pengawasan dengan optimal dan mendalam terhadap desa dan hanya melakukan sampling.
Pengawasan dan pembinaan dari kecamatan juga sangat variatif tergantung dengan kualitas pejabat
kecamatan.
Kendala Implementasi Check and Balance
Permasalahan pertama adalah terkait kurangnya implementasi check and balance pada tahap
pelaksanaan keuangan desa. Masih ditemukan penumpukan kekuasaan pada kepala desa pada
pengelolaan keuangan desa, terutama pada saat pelaksanaan belanja atau pencairan dana.
Pelaksanaan belanja harusnya diawali dengan Kepala Urusan (Kaur) dan Kepala Seksi (Kasi) selaku
Pelaksana Pengelola Keuangan Desa (PPKD) melaksanakan kegiatan berdasarkan Dokumen
Pelaksanaan Anggaran (DPA), untuk selanjutnya Kaur dan Kasi mengajukan SPP beserta dokumen
pendukung. Sekretaris desa melakukan verifikasi, apabila sudah sesuai maka dilanjutkan dengan
persetujuan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) oleh Kepala Desa. Kaur Keuangan selaku
Bendahara dan Kepala Desa melakukan pencairan anggaran pada bank yang ditunjuk.
Pada praktiknya, terdapat desa yang tidak melakukan check and balance antara PPKD, sekretaris
desa, bendahara, dan kepala desa seperti seharusnya. Terdapat PPKD desa yang tidak tahu ada
pencairan terkait anggaran terkait kegiatan teknisnya karena proses pencairan hanya dilakukan oleh
bendahara dan Kepala Desa yang terindikasi terjadi fraud. Penyimpangan juga sangat mungkin
terjadi, karena syarat pencairan hanya Rencana Anggaran dan Biaya (RAB) dengan bukti-bukti
seperti kuitansi, Berita Acara Serah Terima. (BAST) dan sebagainya disusulkan secara manual.
Permasalahan kedua adalah mekanisme pembayaran yang hanya dapat dilakukan secara tunai.
Setiap transaksi yang dilakukan desa hanya dapat dibayarkan secara tunai, tidak dapat dilakukan
dengan transfer bank. Hal ini merupakan kendala yang sangat besar karena meningkatkan cost of
cash, yaitu biaya yang timbul dari kebutuhan akan penanganan, penyimpanan, transportasi, dan
keamanan uang tunai, serta biaya terkait dengan potensi kehilangan, pencurian, atau kesalahan yang
terjadi dalam proses penggunaan uang tunai.
Permasalahan ketiga adalah terkait pengadaan barang dan jasa yang ada di desa, terutama untuk
barang dan jasa di atas Rp200 juta dan tidak dilakukan secara swakelola. Pelaksanaan pengadaan
barang/jasa di atas Rp200 juta masih menggunakan sistem manual yang tidak transparan dan
akuntabel. Pada umumnya dilapangan pembayaran semua pengadaan dilakukan di muka, tetapi
tidak menggunakan prosedur uang muka.
Proses ini cukup sulit apabila dilakukan oleh perangkat desa yang tidak memiliki kompetensi
pengadaan barang dan jasa. Selain itu nilainya yang cukup besar juga dapat mengakibatkan kerugian
yang cukup besar pula apabila penyedia yang tersedia di desa tersebut ataupun desa terdekat tidak
kompeten serta pembayaran di muka sebelum barang diterima.
Permasalahan keempat adalah mekanisme pembinaan dan pengawasan dari kecamatan yang dinilai
kurang efektif. Kegiatan peningkatan kompetensi camat dan staf kecamatan sebagai pelaksana
Binwas terhadap desa terkait pengelolaan keuangan desa dinilai kurang atau bahkan tidak pernah.
Hal ini menyebabkan binwas terhadap desa tidak maksimal dan tidak menyeluruh sehingga sulit
untuk melakukan deteksi awal penyelewengan. Selama ini penyelewengan diketahui karena ada
laporan dari warga.
Permasalahan kelima adalah tidak adanya aturan tanggung jawab bendahara. Apabila dibandingkan
dengan satuan kerja pemerintah pusat, ini setara dengan tidak adanya kewajiban laporan
pertanggungjawaban (LPJ) setiap bulannya oleh bendahara. Hal ini disebabkan tidak adanya
mekanisme Uang Persediaan (UP) dan Langsung (LS) seperti yang ada pada pelaksanaan APBN,
karena LPJ bendahara hanya mengacu pada UP yang dipegang oleh bendahara. Tidak adanya
pertanggungjawaban wajib oleh bendahara menyebabkan sulit mendeteksi nilai uang yang dipegang
secara tunai oleh bendahara. Tidak adanya laporan pertanggungjawaban bendahara ini menjadikan
posisi bendahara lemah dan umumnya uang dipegang oleh Kepala Desa.
Tantangan dan Risiko
Fasilitas pendukung pengelolaan keuangan desa adalah aplikasi Siskeudes. Siskeudes memudahkan
proses pengelolaan keuangan desa dibandingkan dilakukan dengan manual, tetapi dalam Siskeudes
yang ada di desa saat ini tidak ada pembagian user ataupun pembagian kewenangan. Proses
pengelolaan keuangan dapat dilakukan oleh satu orang saja. Hal ini sangat berbahaya terutama
dalam proses pencairan dana ke bank, karena yang dibutuhkan untuk pencairan dana hanyalah
rekapitulasi SPP yang dihasilkan pada aplikasi Siskeudes.
Kekurangan lainnya aplikasi Siskeudes adalah masih berbasis offline. Hal ini menyebabkan setiap
desa hanya dapat menggunakan satu komputer untuk pencatatan seluruh transaksi. Akibat lainnya
adalah tidak dapat dilakukan monitoring secara realtime oleh camat, DPMD, ataupun Inspektorat
apabila terjadi indikasi penyimpangan, contohnya penarikan uang yang terlalu banyak dalam satu
waktu.
Kurangnya kompetensi perangkat desa dapat diatasi pada level kecamatan dengan pelatihan dan
pembinaan secara berkala. Apabila tidak memungkinkan untuk melakukan pelatihan dan pembinaan
secara one-on-one maka dapat dilakukan dengan memanggil perangkat desa terkait pada satu
tempat. Selain dapat menghemat waktu juga dapat menjadi media knowledge sharing dan experience
sharing untuk perangkat desa yang memiliki kendala/permasalahan yang sama.
Keterbatasan jumlah pegawai DPMD dan inspektorat serta kurang efektifnya pengawasan oleh
kecamatan dapat diatasi dengan pembagian kewenangan binwas pada tingkat kecamatan, tingkat
DPMD, serta tingkat inspektorat; sehingga untuk substansi yang sudah dilakukan oleh camat, tidak
perlu dilakukan oleh DPMD dan inspektorat, dan seterusnya. Sehingga, binwas dapat dilakukan lebih
mendalam dan keseluruhan, bukan sampel. Selain itu perlu juga penguatan fungsi BPD untuk
mengawasi pelaksanaan anggaran pada desa sehingga dapat meringankan beban pelaksana
binwas.
Permasalahan terkait check and balance yang kurang efektif dan aplikasi Siskeudes yang belum
optimal dapat diselesaikan dengan solusi yang sama, yaitu dengan mengimplementasikan Siskeudes
berbasis online sehingga memungkinkan adanya pemisahan kewenangan yang dapat memperkuat
proses check and balance pada pengelolaan keuangan desa. Manfaat lainnya, desa dapat
mengakses Siskeudes di mana saja serta dapat dimonitor oleh camat, inspektorat, serta DPMD
secara realtime.
Pengenalan sistem Cash Management System (CMS) kepada desa dapat mengatasi permasalahan
pembayaran yang keseluruhan dilakukan secara tunai. CMS dapat mengurangi cost of cash yang
harus dikeluarkan desa, sehingga dapat mengurangi potensi kerugian akibat kehilangan uang tunai.
Sehubungan dengan penggunaan CMS, dapat mulai dikenalkan juga mekanisme UP dan LS yang
selama ini digunakan satker pemerintah pusat. Selain membantu desa apabila ada
kegiatan/pembelian dalam jumlah kecil, hal ini juga dapat meningkatkan kesadaran bendahara
karena diwajibkan untuk membuat laporan pertanggungjawaban.
Rekomendasi Pengelolaan Keuangan Desa yang Efektif dan Transparan
Rekomendasi yang pertama adalah pembuatan peraturan terkait pengimplementasian Cash
Management System (CMS) dalam pengelolaan keuangan desa. Setelah payung hukum tersebut
dibentuk, pemerintah desa dapat bekerja sama dengan bank untuk menerapkan CMS dalam
pengelolaan keuangan desa. Rekomendasi kedua, implementasi mekanisme pembayaran Uang
Persediaan (UP) dan Langsung (LS) seperti pada satuan kerja pemerintah pusat dapat dilakukan. UP
dapat mendukung simplifikasi proses pengadaan barang dan jasa dengan nominal kecil seperti
peralatan kantor, serta mengefektifkan kegiatan desa yang bersifat mendadak.
Rekomendasi ketiga adalah implementasi LPJ Bendahara. Dengan adanya LPJ, bendahara akan
lebih berhati-hati dalam menggunakan Dana Desa. Hal ini dapat pula mengurangi potensi kerja sama
dengan kepala desa dalam pencairan dana. Bendahara akan menolak pencairan dana yang tidak
dapat dipertanggungjawabkan, mengingat pencairan dana hanya dapat dilakukan oleh kepala desa
dan bendahara bersama-sama.
Rekomendasi keempat adalah pengadaan barang dan jasa di atas Rp200 juta yang tidak dilakukan
secara swakelola dapat dibantu oleh Unit Layanan Pengadaan (ULP) pemerintah daerah setempat
dengan proses pemilihan yang lebih sederhana. Dengan demikian, pengadaan barang dan jasa
dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam penyusunan dokumen pengadaan, penilaian
penawaran, dan negosiasi kontrak, serta meningkatkan persaingan penyedia lokal.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi