Teknologi Informasi Pada Sektor Publik dan Budaya Kerja Aparat Sipil Negara
Pada era revolusi industri 4.0 ini, kehidupan manusia semakin hari semakin tidak bisa lepas dari peran teknolgi informasi. Penggunaan teknologi informasi pada sektor publik, khususnya dalam pelaksanaan APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) telah dimulai dengan diimplementasikannya SPAN (Sistem Perbendaharaan Dan Anggaran Negara) secara menyeluruh pada tahun 2015. Kemudian, pada tahun 2016 ada implementasi MPN G2 (Modul Penerimaan Negara Generasi 2) dimana pembayaran Pajak dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) dapat dilakukan secara online, dan yang terakhir adalah implementasi SAKTI (Sistem Aplikasi Keuangan Tingkat Instansi) secara bertahap di lingkup Kementerian Keuangan dari tahun 2017 sampai dengan tahun 2019. Direncanakan pada tahun 2020 ini, SAKTI akan diimplementasikan secara menyeluruh kepada semua satker mulai dari modul admin dan penganggaran serta mengikuti modul-modul pelaksanaan anggaran serta pelaporan pada tahun mendatang.
Dari pengalaman sebelumnya pada implementasi SPAN, MPN G2, maupun SAKTI, untuk menjamin kesuksesan penggunaan teknologi informasi atau digitalisasi pada sektor publik diperlukan adanya perubahan pada budaya kerja Aparatur Sipil Negara (ASN). Inisiasi dan inovasi digital bukan hanya seputar penggunaan teknologi informasi untuk membantu proses bisnis namun juga bagaimana ASN dapat beradaptasi dengan dinamika digitalisasi pada era revolusi digital. Penggunaan teknologi informasi yang ekstensif dalam mencapai visi dan misi hanya dapat diraih jika didukung oleh sumber daya manusia yang adaptif dan kompeten. Proses digitalisasi bukan hanya penggunaan teknologi informasi namun juga perubahan mindset dan budaya kerja. Pimpinan puncak harus memahami bahwa digitalisasi proses bisnis perlu disertai oleh perubahan budaya kerja, kedua hal tersebut harus memiliki prioritas yang sama. Perubahan budaya kerja digital dimulai dari pimpinan puncak.
Budaya kerja adalah seperangkat nilai-nilai dan karakteristik perilaku yang menggambarkan bagaimana hal-hal dilakukan dalam suatu organisasi. Budaya digital dapat diartikan sebagai seperangkat nilai, praktik, dan harapan yang muncul mengenai cara orang bertindak dan berinteraksi dalam lingkungan kerja yang sarat dengan penggunaan teknologi informasi. Karakteristik budaya digital adalah fokus pada pelayanan, transparan, kolaboratif. Budaya kerja yang akan mengarahkan bagaimana setiap individu dalam suatu organisasi dapat berperilaku satu irama dengan tujuan dan strategi organisasi.
Budaya kerja digital sangat penting untuk diterapkan. Menurut Boston Consulting Group (BCG), terdapat dua alasan pentingnya budaya kerja digital. Pertama, organisasi berisiko mengalami kegagalan transformasi jika mengabaikan budaya kerja digital. Berdasarkan penilitian terhadap 40 organisasi yang melaksanakan digitalisasi, 36 organisasi yang fokus menerapkan budaya kerja digital memiliki kinerja yang lebih baik dibanding organisasi yang tidak menerapkan perubahan budaya kerja. Kedua, Budaya Kerja memberdayakan individu untuk berkinerja lebih cepat. Hal ini diraih karena budaya kerja digital memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk melakukan penilaian dan keputusan dengan lebih cepat.
Ciri dominan dari budaya kerja digital adalah kinerja yang tinggi. Digitalisasi akan merubah proses bisnis, manajemen kinerja dan sistem informasi dalam lingkungan bekerja sehingga menumbuhkan keterlibatan dan mendorong perilaku dari setiap pegawai yang selanjutnya akan meningkatkan kinerja organisasi. Budaya kerja digital yang terinternalisasi dengan baik akan membuat seluruh pegawai terlibat aktif untuk mencapai target individu maupun organisasi.
Menurut BCG implementasikan budaya kerja digital dilaksanakan melalui tiga langkah. Pertama adalah menetapkan perubahan budaya kerja yang diperlukan. Pimpinan puncak dan top level management suatu organisasi memiliki peran sangat penting pada tahap ini, keberhasilan perubahan budaya kerja sangat bergantung pada komitmen pimpinan puncak. Pimpinan puncak harus dapat melakukan identifikasi karakteristik-karakteristik budaya kerja digital apa saja yang sesuai dan diperlukan untuk mencapai visi misi dan tujuan organisasi. Karakteristik budaya kerja digital tersebut harus diterjemahkan ke dalam perilaku spesifik yang harus dilaksanakan oleh pegawai. Langkah tersebut sebaiknya dilanjutkan dengan membandingkan penilaian budaya kerja yang berlaku saat ini dengan budaya kerja digital yang diharapkan. Jika terdapat perbedaan antara budaya kerja existing dengan yang diharapkan maka pimpinan puncak harus mengkomunikasikan perubahan budaya kerja dengan lebih giat. Sebagai contoh, untuk klarifikasi karakteristik apa saja yang dibutuhkan suatu organisasi pimpinan puncak dapat melakukan benchmarking dengan organisasi yang sudah melaksanakan budaya kerja digital.
Langkah kedua adalah membangun karakteristik kepimpinan yang kuat pada setiap pegawai dan melibatkan pegawai. Dalam budaya kerja digital sebuah tim harus mandiri dan bertindak cepat dalam menyelesaikan pekerjaan. Pimpinan puncak dalam suatu organisasi harus menjadi agent of change yang berperan sebagai katalis utama atau pemicu terjadinya sebuah perubahan. Karakter pemimpin yang kuat dibutuhkan oleh semua sumber daya manusia untuk dapat bertindak dalam lingkungan digital. Untuk membangun karakteristik pemimpin maka harus ditunjukan oleh pimpinan puncak dan melibatkan seluruh sumber daya manusia dalam organisasi. Sebagai contoh, mengenalkan rutinitas yang baru dalam kegiatan sehari-hari seperti memimpin rapat secara bergantian pada sebuah rapat yang diikuti oleh pegawai lintas unit kerja, generasi dan latar belakang pendidikan. Menginformasikan perubahan mindset dengan tindakan simbolis untuk mewujudkan budaya baru adalah salah satu cara untuk mengaktifkan karakteristik kepemimpinan dari setiap sumber daya manusia pada sebuah organisasi.
Organisasi harus mendorong pemimpin unit kerja untuk melatih anggota tim-nya dan melakukan hal-hal baru yang sesuai dengan budaya kerja digital. Mengaktifkan karakteristik kepemimpinan juga sangat penting untuk memacu keterlibatan pegawai. Pimpinan diharapkan dapat menggunakan cara-cara non formal untuk menumbuhkan karakteristik kepemimpinan pada pegawai. Misalnya perusahaan obat-obatan novartis yang menggunakan permainan untuk menginformasikan pegawai mengenai produk-produk baru serta untuk menekankan nilai-nilai perusahaan. Contoh lain, kesuksesan pada implementasi SPAN dapat terjadi salah satunya adalah karena proses change management/perubahan budaya kerja dilakukan sejak SPAN masih berada dalam tahap pengembangan. Pada setiap unit kerja, pimpinan unit kerja menetapkan satu orang Duta SPAN yang secara intensif dan kreatif menginformasikan kepada seluruh pegawai dan juga pengelola keuangan satker tentang bagaimana implementasi SPAN akan dilaksanakan.
Ketiga adalah menyelaraskan organisasi dengan budaya kerja yang baru. Budaya kerja digital sangat berbeda dengan budaya kerja tradisional. Contoh mikronya dalam budaya kerja digital, pada level jabatan menengah atau puncak hal pertama yang dilakukan dalam bekerja adalah log in pada sistem aplikasi dan menyelesaikan (approval) pekerjaan secara online dimana semua kebutuhan informasi dapat dilihat pada sistem aplikasi. Sedangkan pada budaya kerja tradisional, untuk menyelesaikan pekerjaan adalah menunggu berkas yang pada umumnya cukup tebal yang disampaikan secara hierarkis sampai ke meja kerja untuk selanjutnya di periksa dan diselesaikan. Perbedaan budaya kerja tersebut sangat kontras karena pada budaya kerja tradisional seorang pimpinan akan bersifat pasif untuk menunggu informasi dari bawahannya sedangkan pada proses bisnis yang sudah terdigitaliasi bawahan maupun pimpinan dapat langsung aktif berkolaborasi untuk menyelesaikan pekerjaan melalui sistem aplikasi. Organisasi harus menyesuaikan proses bisnisnya agar budaya kerja digital dapat relevan dengan proses bisnis. Tanpa penyesuaian organisasi dengan budaya kerja digital maka hampir sulit untuk menanamkan perilaku baru dalam sebuah organisasi.
#KPPNSolokRANCAK
#DJPbKawalAPBN
#MengawalAPBNIndonesiaMaju
Oleh : Budi Utomo *
*) Kepala KPPN Solok
Catatan :
Artikel di atas merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili pandangan instansi dimana Penulis bekerja.