Jl. Raya Koto Baru KM 5 Solok

Delapan Puluh Persen Korupsi terkait Pengadaan Barang dan Jasa, Waspadalah!

 

Apa sebenarnya yang menarik dari sebuah Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), bukan kah pengisian LHKPN merupakan kewajiban rutinitas tahunan yang dibuat oleh para Penyelenggara Negara untuk Lapor LHKPN? Awalnya penulis pun tidak memberikan perhatian lebih terhadap LHKPN tersebutkarena memang tidak menjadi bagian yang mempunyai kewajiban untuk membuat LHKPN. Namun, ketika memperhatikan daftar yang diwajibkan membuat LHKPN, terutama dilingkungan Ditjen Perbendaharaan, penulis  menemukan masih banyaknya perangkapan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Lantas, salahkah apabila seorang KPA merangkap sebagai PPK dimana pada saat yang sama terdapat pejabat di satuan kerja tersebut yang memenuhi kualifikasi sebagai PPK?

Dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor  6/KMK.01/2013 dijelaskan bahwa Penetapan Pejabat Pembuat Komitmen dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut :

  1. Pejabat Pembuat Komitmen merupakan pejabat struktural pada Satuan Kerja berkenaan yang memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa;
  2. Kuasa Pengguna Anggaran yang merangkap sebagai Pejabat Pembuat Komitmen tidak memerlukan sertifikat keahlian pengadaan barang/jasa;
  3. Dalam hal tidak terdapat pejabat sebagaimana dimaksud pada huruf a, Kuasa Pengguna Anggaran dapat menunjuk Pegawai dengan jabatan pelaksana berstatus Pegawai Negeri Sipil yang memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang dan jasa sampai dengan tersedianya pejabat sebagaimana dimaksud pada huruf a;
  4. Kuasa Pengguna Anggaran harus mengusahakan pejabat sebagaimana dimaksud pada huruf a paling lambat 6 (enam) bulan sejak Pegawai sebagaimana dimaksud pada huruf c ditetapkan sebagai Pejabat Pembuat Komitmen;
  5. Dalam hal terdapat keterbatasan jumlah pegawai pada Satuan Kerja setingkat eselon IV dan Satuan Kerja Sementara, Kuasa Pengguna Anggaran dapat menunjuk Pegawai dengan jabatan pelaksana berstatus Pegawai Negeri Sipil yang memiliki sertifikat keahlian pengadaan barang dan jasa sebagai Pejabat Pembuat Komitmen.

Berdasarkan KMK tersebut, penulis berpendapat bahwa dalam susunan pengelola keuangan satuan kerja sebaiknya tidak terjadi perangkapan PPK oleh KPA, kalaupun terpaksa jika tidak tersedianya pejabat yang memenuhi kualifikasi sebagai PPK maka perangkapan tersebut paling lama selama 6 (enam) bulan saja. Dalam kurun enam bulan tersebut KPA harus mengusahakan tersedianya pejabat yang dapat memenuhi persyaratan untuk menjadi PPK.

Adanya pemisahan antara PPK dan KPA sejalan dengan semangat kontrol pelaksanaan pengadaan barang dan jasa yang tertuang pada Perpres Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Pada Pasal  57 Perpres Nomor  16 Tahun 2018 tersebut disebutkan bahwa setelah pekerjaan selesai 100% sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam kontrak,  penyedia mengajukan permintaan secara tertulis kepada PPK untuk serah terima barang/jasa. Selanjutnya PPK melakukan pemeriksaan terhadap barang/jasa yang diserahkan. Selanjutnya pada pasal 58 disebutkan bahwa setelah terjadi serah terima antara PPK dan Penyedia, maka PPK menyerahkan barang /jasa kepada Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA). Dengan demikian apabila terjadi perangkapan jabatan PPK oleh KPA maka akan terjadi orang yang melakukan pemeriksaan terhadap barang/jasa yang diserahkan oleh Penyedia barang/jasa adalah sama dengan orang yang menerima hasil dari pemeriksaan tersebut sehingga dikhawatirkan dapat mengurangi fungsi dari check and balance.

Apabila dikaji lebih mendalam dapat dikemukakan bahwa dalam hal  dilakukan  perangkapan jabatan antara KPA dengan PPK, maka akan sangat sulit untuk mewujudkan adanya proses saling uji (check and balance) sebagaimana dikehendaki dalam peraturan Menteri Keuangan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 190/PMK.05/2012 tentang Tata Cara Pembayaran Dalam Rangka Pelaksanaan Anggaran  Pendapatan Dan Belanja Negara, bahkan sesungguhnya sangat ‘berbahaya” bagi keamanan dalam pengelolaan keuangan negara. Mengapa demikian? Pertama, karena adanya kendala atau hambatan psikologis yang merupakan penyakit birokrasi selama ini. Dalam hal ini jika jabatan PPK dirangkap oleh kepala kantor/satuan kerja selaku KPA sedangkan PPSPM merupakan pejabat bawahannya (subordinate) yang notabene berada dalam posisi lemah, maka sudah dapat dipastikan bahwa PPSPM akan mengalami kesulitan untuk menolak permintaan atau perintah atasannya meskipun mungkin perintah tersebut tidak benar. Lebih-lebih lagi mengingat kewenangan pengujian PPSPM hanya terbatas pada kebenaran formal dan atau keabsahan administratif, maka dengan dalih bahwa tanggung jawab atas kebenaran material ada pada dirinya selaku KPA dan PPK, dapat dipastikan pula bahwa setiap Surat Permintaan Pembayaran yang diajukan kepada PPSPM akan dengan mudah diterbitkan SPM. Kondisi demikian sudah tentu sangat rawan dan rentan terhadap penyimpangan yang dapat mengakibatkan kerugian negara.

Terjadinya Perangkapan jabatan PPK oleh KPA juga memberikan gambaran bahwa semangat berbagi peran di tubuh Ditjen Perbendaharaan masih perlu ditingkatkan, seperti kita ketahui salah satu nilai Kementerian Keuangan adalah Sinergi dimana setiap pegawai harus mempunyai prasangka baik terhadap pegawai lainnya sehingga diharapkan kerjasama akan tercipta dengan baik dalam melaksanakan pekerjaan. Hampir setiap tahun Ditjen Perbendaharaan mengirimkan pegawainya untuk mengikuti sertifikasi pengadaan barang jasa di Pusdiklat Anggaran, hal tersebut untuk memenuhi kebutuhan pejabat yang memenuhi kualifikasi sebagai PPK. Adanya perangkapan jabatan PPK oleh KPA berarti telah menyia-nyiakan output yang telah dihasilkan dari Diklat Pengadaaan Barang dan Jasa tersebut, dimana didalamnya telah menghasilkan pejabat bersertifikasi Ahli Pengadaan Barang dan Jasa. Untuk meningkatkan kemampuan para pejabat bersertifikasi Pengadaan Barang dan Jasa tersebut perlu diberikan kesempatan kepada mereka untuk dapat memperaktekan kompetensi yang dimilikinya.

Penyimpangan dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa masih banyak ditemukan dilingkungan pemerintahan. situs berita online detik.com pernah mempublikasi sebuah fakta bahwa berdasarkan data yang bersumber dari KPK, angka korupsi di lingkup pemerintahan yang terjadi melalui pengadaan barang dan jasa adalah  sebesar 80% dari angka korupsi.

Pada Direktorat Jenderal perbendaharan sendiri, pengaturan pengadaan barang dan jasa di dilakukan dengan Mapping Risk yang antara lain meliputi :

  1. mempelajari permasalahan dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa serta menyampaikan hal tersebut kepada seluruh pengelola keuangan dan barang di unit kerja masing-masing untuk dipelajari dan melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan pelaksanaan pengadaan barang dan jasa berlangsung secara efisien, efektif, bersaing, transparan, tidak diskriminatif dan akuntabel dengan memegang teguh nilai integritas.
  2. melakukan identifikasi dan menyusun rencana mitigasi risiko dalam kegiatan pengadaan dan jasa serta menjadikan risiko tersebut sebagai risiko mandatory pada profil risiko, disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik masingmasing unit kerja.
  3. memerintahkan Unit Kepatuhan Internal agar melakukan Pemantauan Pengendalian Internal pengadaan barang dan jasa secara sungguh-sungguh sesuai dengan Rencana Pemantauan Tahunan (RPT) yang telah ditetapkan dan melakukan pengujian kepatuhan pengadaan barang dan jasa berdasarkan Keputusan Dirjen Perbendaharaan Nomor KEP-525/PB/2017 tentang Pedoman Pengujian Kepatuhan di Lingkungan DJPb.

Selanjutnya apa yang telah di implementasikan Ditjen Perbendaharan harapannya bisa menjadi sebuah awal membentuk birokrasi yang bersih dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa.

Pada akhir tulisan ini penulis ingin menyampaikan bahwa untuk tata kelola pengadaan barang dan jasa yang baik diperlukan adanya pemisahan pemangku jabatan PPK dan KPA karena selain berguna untuk fungsi check and balance juga memberikan kesempatan kepada para pejabat yang memiliki sertifikat pengadaan barang dan jasa untuk dapat mempraktekan ilmu terkait pengadaan barang dan jasa yang mereka miliki sehingga dimasa yang akan datang Ditjen Perbendaharaan tidak akan  pernah mengalami kekurangan pejabat yang ahli dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa.

#KPPNSolokRANCAK
#DJPbKawalAPBN
#MengawalAPBNIndonesiaMaju

Oleh : Ilyas Rosadi *

*) Kepala Seksi Verifikasi dan Akuntansi KPPN Solok

Catatan :
Artikel di atas merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili pandangan instansi dimana Penulis bekerja.

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

© Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Sumatera Barat
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Solok

Jl. Raya Koto Baru No.km.5, Koto Baru, Kec. Kubung, Kab. Solok, Sumatera Barat 27362
Tel: 0755-21632 Fax: 0755-20501

 

IKUTI KAMI

 

MOTO LAYANAN
 

 


       

 

Search