O P I N I

Disclaimer: “Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan instansi/organisasi manapun.

Membangun Daerah dengan Konsep Whole of Government (WoG) dan Peran Kanwil DJPb di Dalamnya

Oleh: Sarimin1, Khusnul Fuad2 dan Bulan Indah Purnama Siregar3

Kanwil DJPb Provinsi Riau

 

Kementerian Keuangan, khususnya DJPb, menorehkan kesuksesan besar saat menutup tahun 2022 dan mengawali tahun 2023 dengan mampu menyalurkan gaji PNS Pusat tepat pada tanggal 1 Januari 2023, meskipun tanggal merah, dan mampu menyalurkan DAU ke Pemda di hari kerja pertama. Namun, prestasi itu menjadi tidak berarti di Pemda karena masih terjadi keterlambatan pembayaran gaji PNS Pemda bulan Januari 2023. Hal ini terjadi akibat SOP di Pemda yang belum menyesuaikan inovasi itu dan diperparah dengan aplikasi Sistem Informasi Pembangunan Daerah (SIPD), yang wajib digunakan oleh Pemda, ternyata juga tidak mengalami perbaikan. “Bencana” keterlambatan pembayaran gaji PNS Pemda di awal tahun 2022 lalu masih terulang di awal 2023 ini. Keterlambatan ini tentu menjadi hal yang bisa mencoreng citra DJPb, mengingat komunikasi di Pemda tidak selalu berjalan baik dan tidak jarang DJPb menjadi kambing hitam.

Hal di atas merupakan fakta saat Kanwil DJPb Riau menyampaikan kepada para Kepala Daerah bahwa telah diterbitkannya SP2D terkait DAU untuk seluruh Pemda dan kepastian telah masuknya dana dimaksud ke rekening Kas Daerah di 2 Januari 2023. Namun ternyata, hingga tulisan ini dikonsep, mereka masih belum bisa membayarkan gaji Januari 2023 kepada seluruh PNS. Berdasarkan konfirmasi, keterlambatan ini terjadi karena aplikasi SIPD belum terintegrasi dengan sistem perbankan sehingga harus dilakukan koordinasi tiga pihak; Pemda, Kemendagri dan Perbankan; secara online dan manual. Dan ternyata hal ini bukan hanya pada awal tahun saja, melainkan setiap bulan harus dilakukan. Hanya saja, koordinasi pada awal tahun tidak dapat dilakukan di hari kerja pertama. 

Sesuai pernyataan pejabat yang dikonfirmasi, pembayaran gaji PNS bulan Januari akan dilakukan secara manual. BPKAD akan mentransfer kepada Bendahara masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD) untuk disampaikan datanya kepada bank mitra lalu dilakukan transfer dari rekening Bendahara OPD. Padahal, seharusnya mekanisme ini bisa dibuat jauh lebih singkat dan cepat dengan melakukan transfer dari rekening Kasda langsung ke rekening masing-masing pegawai. Mekanisme ini tetap terus dilakukan pada bulan berikutnya bila SIPD masih belum juga memungkinkan untuk dilakukan pembayaran gaji secara otomatis. Dari penuturan PIC terkait, pembayaran gaji PNS Pemda pernah tersendat hingga hampir 3 bulan saat awal-awal implementasi pembayaran gaji terpusat Pemda.

Penyampaian kontradiksi di atas bukan bermaksud untuk menyanjung satu pihak dan merendahkan pihak lain. Namun, dari peristiwa di atas, kita bisa melihat bahwa inovasi yang berhasil di satu pihak bila tidak diikuti oleh pihak lain yang terkait menjadikan inovasi itu seolah tidak berguna. Kita bisa bayangkan bagaimana kualitas pelayanan masyarakat di Pemda dalam kondisi 3 bulan gaji belum dibayarkan. Hal ini bisa menjadi isu yang berkembang liar dan berpotensi untuk terjadinya politisasi dengan menyalahkan salah satu atau kedua pihak untuk menutupi kelemahan pihak lain yang berkepentingan dengan menampilkan diri sebagai pihak yang memperjuangkan aspirasi masyarakat. Dan itu sudah terjadi di lapangan. 

Untuk itulah, kita perlu bekerja dan melayani dari perspektif yang lebih luas. Dalam hal ini, DJPb telah melakukan itu dengan peran-peran baru sebagai Treasury, Regional Chief Economist (RCE), dan Financial Advisor (FA) yang bersinergi dengan seluruh unit di Kementerian Keuangan. Bahkan pelaksanaan peran-peran baru dimaksud telah tertuang dalam konteks Shadow Organization (SO) pada KPPN dan Kanwil. Namun, berdasarkan fakta di atas, sepertinya DJPb perlu memperluas lagi perspektif itu menjadi lintas kementerian sebagai sebuah kesatuan layanan dan pembinaan oleh pemerintah pusat kepada pemda. Hal ini perlu dilakukan karena kesuksesan pembinaan kepada pemda ternyata melibatkan lintas kementerian. Konsep inilah yang disebut dengan Whole of Government (WoG).

WoG merupakan penekanan pendekatan pada aspek kebersamaan dan menghilangkan penghalang berupa sekat-sekat sektor. WoG menuju pada integrasi pemberian pelayanan sehingga prinsip kolaborasi, kebersamaan, kesatuan dalam melayani masyarakat bisa diselesaikan dalam waktu singkat. Pendekatan ini diaplikasikan dengan tujuan agar pemerintah dapat memberikan layanan bagi masyarakat secara berkualitas serta memastikan pekerjaan yang diemban oleh aparat dapat berjalan dengan efektif dan efisien. 

Definisi WoG dalam laporan Australian Public Service Commision (ASPC) adalah konsep yang menunjukkan bagaimana badan layanan publik yang bekerja melintasi batas-batas portofolio untuk mencapai tujuan bersama dan respons pemerintah yang terintegrasi terhadap isu-isu tertentu. Pendekatannya dapat dilakukan secara formal maupun informal, sehingga dapat berfokus pada pengembangan kebijakan, pengelolaan program, dan penyampaian layanan. Sementara menurut United States Institute of Peace (USIP) definisi WoG adalah pendekatan yang mengintegrasikan instansi pemerintah dalam upaya kolaboratif untuk menjadi kesatuan menuju tujuan bersama sebagai bentuk kolaborasi dan kerjasama antar-instansi dalam upaya menyelesaikan suatu masalah dalam pelayanan. Peter Shergold mendefinisikan WoG sebagai pelayanan oleh pemerintah kepada publik secara lintas batas untuk mencapai tujuan bersama dan memberikan tanggapan terpadu terhadap isu-isu tertentu.

WoG juga sering disamakan dengan konsep policy integration, policy coherence, cross-cutting policy-making, joined-up government, concerned decision making, policy coordination atau cross government. WoG memiliki karakteristik yang sama dengan konsep-konsep tersebut, terutama karakteristik integrasi institusi atau penyatuan pelembagaan baik secara formal maupun informal. Ciri lainnya adalah kolaborasi yang terjadi antar-sektor dalam menangani isu tertentu. Perbedaannya adalah bahwa WoG menekankan adanya penyatuan keseluruhan (whole) elemen pemerintahan, sementara konsep-konsep tersebut lebih banyak menekankan pada pencapaian tujuan, proses integrasi institusi, proses kebijakan, dan lainnya. Hal ini menyebabkan penyatuan yang terjadi hanya berlaku pada sektor-sektor tertentu yang dipandang relevan. 

WoG perlu segera dilakukan karena, pertama, terdapat faktor-faktor eksternal seperti dorongan publik dalam mewujudkan integrasi kebijakan program pembangunan dan pelayanan agar tercipta penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Kedua, terkait faktor internal dengan adanya fenomena ketimpangan kapasitas sektoral sebagai akibat dari adanya nuansa kompetisi antar sektor dalam pembangunan. Satu sektor bisa tumbuh sangat superior terhadap sektor lain atau masing-masing sektor tumbuh tetapi tidak berjalan beriringan, sehingga mempengaruhi jalannya proses pembangunan. Ketiga, dalam konteks Indonesia yakni keberagaman latar belakang nilai, budaya, adat-istiadat, serta bentuk latar belakang lainnya mendorong adanya potensi disintegrasi bangsa. WoG merupakan salah satu metode yang dapat diterapkan dalam pemerintahan dalam rangka meminimalkan potensi disintegrasi bangsa dan menghilangkan fragmentasi sektor. Pemerintah sebagai institusi formal berkewajiban untuk mendorong tumbuhnya nilai-nilai perekat kebangsaan yang akan menjamin bersatunya elemen-elemen kebangsaan ini dalam satu wadah NKRI.

Pendekatan WoG ini sudah lama dikenal dan berkembang terutama pada negara Anglo Saxon seperti Inggris, Australia, dan Selandia Baru. Di negara Inggris misalny,a ide WoG dalam mengintegrasikan sektor-sektor ke dalam satu cara pandang dan sistem sudah dimulai sejak pemerintahan Perdana Menteri Inggris Tony Blair pada tahun 1997. Integrasi tersebut dituangkan dalam gerakan modernisasi program pemerintahan yang dikenal dengan istilah “Joined Up Government”. Ketika itu, pemerintah Inggris mengalami hambatan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang sulit dipecahkan (wicked problem) pada sektor publik akibat lemahnya koordinasi vertikal maupun horizontal pada lembaga-lembaga pemerintahan di berbagai tingkatan. Hambatan ini kemudian dicoba diatasi dengan membentuk jejaring kerja (network) pemerintahan di mana dilakukan koordinasi intra dan inter-departemen serta sektor. Namun, lama-kelamaan upaya ini dinilai kurang efektif karena muncul masalah lain, yaitu terjadi benturan kepentingan karena masing-masing instansi memiliki agenda dan tujuan sendiri. Hal ini masih ditambah persoalan-persoalan lain, seperti struktur hierarki kewenangan, tugas pokok, dan fungsi, serta struktur anggaran yang sifatnya kaku (rigid) sehingga tidak mudah diintegrasikan. Meski demikian, hingga kini konsep tersebut banyak diadopsi oleh negara-negara lain di seluruh penjuru dunia termasuk negara di Asia Tenggara: Singapura, Thailand, dan Malaysia.

Kekinian, konsep WoG ini akan diterapkan pemerintah dalam konsep kantor di Ibukota Negara (IKN) berupa Kantor Bersama (shared-offices) yang berbasis konektivitas fisik dan digital antar kementerian lembaga. Transformasi tempat kerja itu juga diiringi dengan konsep flexible working arrangement yang berbasis digital di mana cara kerja lebih liquid, lebih informal, informatif, kasual, dan tidak terbatas ruang kantor. Hal ini sebenarnya sudah mulai dilaksanakan dengan adanya pandemi COVID-19. Namun, konsep di atas adalah untuk IKN yang belum terealisasi secara utuh. Sementara permasalahan awal yang kita bahas sudah terjadi di depan mata dan ada di daerah, bukan di Ibukota sehingga memerlukan konsep penyelesaian yang segera dan implementatif.

Dalam perspektif Hubungan Keuangan antara Pusat dan Daerah (HKPD), sebagai salah satu bentuk dari WoG, Kementerian Keuangan bisa berkolaborasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk melakukan pembinaan keuangan daerah. Kolaborasi itu bisa diwujudkan dengan pembentukan kantor bersama antara Kemenkeu dengan Kemendagri yang fokus objek layanannya adalah Pemda, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Hal ini terinspirasi dari bentuk Atase teknis pada Kantor Kedutaan Besar RI di Luar Negeri dengan merujuk pada Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri. Keppres tersebut menjadi dasar bagi Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen (sekarang istilahnya Kementerian Negara/Lembaga) untuk menempatkan atasenya di luar negeri demi menjalankan tugas tertentu yang dirasa urgen. Dalam hal ini, mengingat Kemendagri tidak memiliki unit vertikal di daerah, konsep WoG disini bisa dilakukan dengan menempatkan “atase” Kemendagri pada unit vertikal Kemenkeu di daerah. Dalam hal ini, kantor Kemenkeu yang paling memungkinkan adalah Kanwil DJPb yang berada di setiap provinsi. 

Penempatan “atase” Kemendagri pada Kanwil DJPb akan jauh memberikan dampak dalam pelaksanaan financial advisory Kanwil DJPb pada pemda. Sebab berdasarkan pengalaman, saran atau advice untuk perbaikan sistem pengelolaan keuangan pemda sering terbentur dengan kebijakan Kemendagri yang cenderung bersifat general. Sementara setiap daerah memiliki keunikan yang bisa jadi terhambat dengan pengaturan umum Kemendagri. 

Keberadaan “atase” Kemendagri itu sendiri dapat menjadi sarana bagi Kemendagri untuk mengeluarkan diskresi dalam hal terdapat kekhususan atau keunikan yang benar-benar tidak bisa disamakan dengan daerah lain. Dalam hal ini, diskresi itu benar-benar berdasarkan informasi/fakta di lapangan yang bisa dilihat secara kasat mata di daerah. Hal ini juga menjadi sangat urgen sebab, berbeda dengan Kementerian Keuangan yang mempunyai instansi vertikal di daerah, Kemendagri memang memerlukan SDM khusus seperti “atase” di atas, untuk membantu pemecahan masalah khususnya pengelolaan keuangan pada Pemda yang memang menjadi kewenangan Kemendagri. Hal ini menjadi tantangan tersendiri karena jumlah Pemda yang sangat banyak. Pembinaan pun harus dilakukan mengingat, selain OPD, ada tata kelola Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang juga sangat memerlukan pembinaan dari Kemendagri.

Bagi Kanwil DJPb sendiri, konsep “atase” ini juga turut membantu kelancaran peran Financial Advisor kepada Pemda. Hal ini berdasarkan opini yang disampaikan dari local expert terkait salah satu kendala di Kanwil DJPb adalah mutasi yang terlalu cepat, apabila dibandingkan dengan time frame mutasi di Bank Indonesia. Mutasi yang cepat ini menjadi kendala dalam pelaksanaan tugas RCE karena saat pejabat/pegawai yang menjadi PIC sudah mulai tune in di mana komunikasi dengan stakeholder, khususnya Pemda, telah terjalin dengan baik tiba-tiba mendapat SK pindah. Lebih jauh, mutasi tujuan bukan ke bidang yang sama dan yang menggantikan juga bukan dari bidang yang mengurusi RCE sehingga terjadi pengulangan proses baik pada unit yang lama maupun yang baru dari nol lagi. Masih menurut local expert, pembinaan terhadap Pemda tidak dapat disamakan dengan pembinaan kepada satuan kerja sebab permasalahan yang terjadi juga sering beririsan dengan lintas Kementerian. Untuk itulah, menurut penulis, konsep WoG mendesak untuk dilakukan dan bisa dimulai dengan bentuk “atase” di atas.

Bentuk “atase” di atas merupakan bentuk sederhana dari WoG yang bisa dilakukan saat ini. Bentuk ini memang akan terkendala dari sisi bentuk/struktur organisasi yang saat ini ada secara formal karena harus mendapat izin dari KemenPAN/RB. Untuk itu, paralel dengan upaya komunikasi dan upaya legal, bentuk “atase” ini bisa dilakukan dengan bentuk secondment untuk jangka waktu tertentu pada topik khusus, misalnya: penyempurnaan aplikasi SIPD untuk pembayaran gaji, kolaborasi pendampingan kebijakan implementasi Kartu Kredit Pemerintah Daerah (KKPD), atau kerja sama pembinaan BLUD berupa Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD). Dan Kanwil DJPb selayaknya menyambut ini dengan tangan terbuka.

 

Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi

1 Penulis adalah Kepala Seksi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran IA Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran I kanwil DJPb Provinsi Riau

2 Penulis adalah Kepala Seksi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran IIB Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II kanwil DJPb Provinsi Riau

3 Penulis adalah Pelaksana pada Bidang Pembinaan Pelaksanaan Anggaran I kanwil DJPb Provinsi Riau

 

Referensi:

Bappenas: Perkantoran IKN dibangun dengan konsep "Kantor Bersama", https://www.antaranews.com/berita/2821517/bappenas-perkantoran-ikn-dibangun-dengan-konsep-kantor-bersama diakses 12 Januari 2023

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 108 Tahun 2003 tentang Organisasi Perwakilan Republik Indonesia di Luar Negeri, disahkan tanggal 31 Desember 2003

Shergold, P., & others, Connecting government: Whole of government responses to Australia‟s priority challenges, Launching speech made on 20 April 2004, (Canberra Bulletin of Public Administration, (112), 2004), hal 11.

TribunKaltim.com, “Pelayanan dengan Pendekatan Whole of Government”, Kamis 23/02/2017, https://kaltim.tribunnews.com/2017/02/02/pelayanan-dengan-pendekatan-whole-of-government diakses pada tanggal 12 Januari 2023

Farid A. Gaffar, Analisis Implementasi Whole of Government (WoG) Pelatihan Dasar Calon pegawai Negeri di Badan Pendidikan dan Pelatihan Jawa Timur, Vol 5 No, 3, (Surabaya: Jurnal Manajemen Bisnis dan Informasi, 2018), hal 152

Bkpsdmd Provinsi Bangka Belitung, Whole of Government Rabu 7/11/2018, https://bkpsdmd.babelprov.go.id/content/whole-government diakses pada tanggal 12 Januari 2023

Whole of Government (WoG) Sebuah Strategi Membumikan e-court, http://pa-sukamara.go.id/berita/artikel/698-whole-of-government-wog-sebuah-strategi-membumikan-e-court#ftn10 diakses pada 12 Januari 2023



Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili tempat penulis bekerja.

 

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

 

 

IKUTI KAMI

 

PENGADUAN

 

 

Search

Kantor Wilayah Provinsi, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) 

(Daftar Kantor Vertikal DJPb Selengkapnya ..)