Konvergensi Menuju Pemerataan: Strategi RCE dan Financial Advisor
Opini : Affandi Rahman Halim Kepala Seksi PPA IIB
Unit vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan, yang selama ini menjalankan peran sebagai treasurer, kini telah diperkuat dengan peran strategis sebagai Regional Chief Economist (RCE) dan Financial Advisor (FA). Penguatan ini menindaklanjuti arahan Menteri Keuangan yang menghendaki unit vertikal Direktorat Jenderal Perbendaharaan menjadi pengelola keuangan negara secara utuh yang memiliki paradigma dan pemahaman yang lebih luas tentang kebijakan fiskal dan dampaknya pada perekonomian, bukan hanya kasir penyalur uang.
RCE bertindak layaknya chief economist, yang mampu memahami dan menganalisa kondisi fiskal dan ekonomi regional, serta menjelaskan kepada pemangku kepentingan, terutama bagaimana pengaruhnya pada masyarakat di regional tersebut. APBN dan keterkaitannya dengan APBD, kebijakan yang melingkupinya, serta berbagai kondisi perekonomian daerah menjadi hal prinsip yang harus dipahami oleh RCE. Sementara peran FA lebih pada pemberian advis kepada pemerintah daerah, baik terkait pengelolaan fiskal secara mikro maupun implementasi kebijakan fiskal secara luas. RCE dan FA secara bersama-sama diharapkan berkontribusi terhadap peningkatan kondisi fiskal dan ekonomi daerah.
Fungsi dan tugas RCE dan FA menuntut wawasan yang memadai akan kondisi fiskal dan ekonomi daerah di wilayahnya bertugas. Dengan melihat realita bahwa Indonesia sangat luas dan setiap daerah memiliki kondisi, karakteristik dan tantangan yang berbeda, RCE dan FA perlu memahami bahwa ketimpangan pembangunan adalah hal yang tak dapat dihindari. Ada daerah yang sudah maju, ada yang sedang berkembang, ada pula yang masih tertinggal. Berangkat dari realita tersebut, RCE dan FA dapat berperan dalam mendukung pembangunan yang inklusif, yang tidak hanya fokus pada pertumbuhan tetapi juga pada pemerataan.
Potret Ekonomi Daerah: Tantangan di Kawasan Timur Indonesia Dalam beberapa dekade terakhir, pembangunan di Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang baik, yang diukur melalui indikator seperti Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), dan tingkat kemiskinan.
PDRB per kapita, yang mengukur produktivitas ratarata penduduk, menunjukkan peningkatan dua kali lipat dalam dekade terakhir, menandakan pertumbuhan ekonomi yang baik di semua provinsi. Namun, ketimpangan terlihat jelas dengan beberapa provinsi seperti DKI Jakarta dan Kalimantan Timur memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi dibandingkan rata-rata provinsi lainnya. Pada tahun 2023, Kalimantan memiliki PDRB per kapita tertinggi, diikuti oleh Jawa, sementara Nusa Tenggara memiliki PDRB terendah.
Indikator lain, IPM, yang mengukur kualitas hidup manusia berdasarkan umur panjang, kesehatan, pengetahuan, dan standar hidup layak, juga menunjukkan peningkatan yang baik dari tahun 2010 hingga 2023. Provinsi dengan IPM tertinggi adalah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan Kepulauan Riau, sedangkan yang terendah adalah Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, dan Papua.
Tingkat kemiskinan, yang diukur berdasarkan ketidakmampuan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar, menunjukkan tren penurunan selama dekade terakhir, yang berarti perkembangan positif. Namun, ketimpangan tetap ada, dengan Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur memiliki tingkat kemiskinan tertinggi, sementara Bali, DKI Jakarta, dan Kepulauan Bangka Belitung memiliki tingkat kemiskinan terendah. Meskipun ada kemajuan dalam pembangunan, kawasan timur Indonesia, terutama Nusa Tenggara dan Maluku Papua, masih tertinggal dibandingkan provinsi lainnya, menunjukkan adanya ketimpangan pembangunan antarwilayah.
Secara keseluruhan, capaian pembangunan Indonesia mengalami kemajuan yang baik. Namun, indikator seperti PDRB per kapita, IPM, dan kemiskinan menunjukkan bahwa kawasan timur Indonesia, terutama Nusa Tenggara dan Maluku Papua, masih tertinggal dibandingkan provinsi lainnya.
Ketimpangan pembangunan menggambarkan ketidakmerataan distribusi pembangunan ekonomi dan sosial di berbagai daerah. Beberapa daerah menikmati kemajuan pesat, sementara yang lain tertinggal.
Faktor-faktor yang mempengaruhi ketimpangan ini meliputi perbedaan sumber daya alam, kondisi geografis, akses transportasi, konsentrasi kegiatan ekonomi, dan alokasi dana pembangunan daerah (Sjafrizal, 2014).
Studi menunjukkan bahwa kebijakan pembangunan infrastruktur, kedekatan dengan pusat pemerintahan, investasi, jumlah tenaga kerja, dan pusat aktivitas ekonomi juga berperan dalam ketimpangan pembangunan antara kawasan barat dan timur Indonesia (Rosmeli & Nurhayani, 2014; Dewanto & Rahmawati, 2021).
Penelitian Firdaus & Yusop (2009) lebih lanjut menunjukkan bahwa daerah-daerah tertinggal dapat mengejar kemajuan daerah lain melalui proses konvergensi. Namun, tanpa intervensi, proses catch up ini diperkirakan memakan waktu hingga 200 tahun. Hal ini menunjukkan perlunya intervensi kebijakan yang efektif untuk mempercepat pemerataan pembangunan di seluruh wilayah Indonesia.
Strategi RCE dan FA - Pendekatan Empat Pilar HKPD Intervensi pemerintah untuk mendorong pemerataan pembangunan telah dijalankan melalui kebijakan desentralisasi fiskal sejak 2001. Kebijakan desentralisasi fiskal terus disempurnakan dengan berbagai regulasi seiring kemajuan pembangunan dan dinamika implementasinya. Regulasi terbaru adalah UndangUndang Nomor 1 Tahun 2022, yang memperkenalkan empat pilar utama untuk mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat: penguatan local taxing power, penurunan ketimpangan vertikal dan horizontal, peningkatan kualitas belanja daerah, dan harmonisasi kebijakan fiskal antara pemerintah pusat dan daerah.
Melalui implementasi empat pilar utama HKPD, pemerintah daerah didorong untuk mempercepat proses konvergensi, sebagaimana dikemukakan oleh Firdaus & Yusop (2009). RCE dan FA di setiap wilayah perlu menggunakan pendekatan ini dalam merumuskan strategi yang tepat untuk mengawal pembangunan daerah yang menjadi tanggung jawab mereka.
Penguatan Local Taxing Power Penguatan local taxing power bertujuan meningkatkan kemampuan daerah otonom dalam memperoleh dan mengelola pendapatan daerah, yang dikaitkan dengan kemandirian fiskal. Perlu mengambil strategi dengan berkolaborasi dengan pemerintah daerah dalam suatu diskursus upaya peningkatan pendapatan asli daerah.
RCE dapat memulai dari menganalisa kapasitas daerah menghasilkan pajak dan retribusi daerah dan upaya yang dilakukan untuk mengumpulkannya. Lebih lanjut, dua pendekatan dapat diimplementasikan, baik dari upaya dan kapasitas collecting pendapatan pemerintah daerah maupun dari basis pendapatannya dengan meningkatkan aktivitas ekonomi daerah. FA dapat mendorong peningkatan pajak dan retribusi melalui intensifikasi dan ekstensifikasi, dengan memperkuat sistem dan kapasitas aparatur pengelola pendapatan RCE dapat fokus pada peningkatan aktivitas ekonomi dengan mengidentifikasi sektor unggulan yang belum optimal dan mendorong prioritas sektor tersebut dalam perencanaan dan penganggaran daerah.
Penurunan Ketimpangan Fiskal Vertikal Dan Horizontal Menurut Langoday (2009), ketimpangan vertikal terjadi karena desentralisasi fiskal yang tidak seimbang antara tanggung jawab pengeluaran dan sumber pendapatan, sementara ketimpangan horizontal disebabkan oleh perbedaan geografis terkait sumber pendapatan dan biaya layanan publik. Upaya mengurangi ketimpangan ini dapat dilakukan melalui transfer ke daerah (TKD).
FA, yang juga berperan sebagai treasurer, perlu memperkuat monitoring dan evaluasi belanja daerah dari TKD, serta mendorong kinerja pembangunan dan layanan publik. RCE dapat menganalisis efektivitas belanja TKD dan menilai apakah ketimpangan fiskal dan kesenjangan layanan publik menurun. FA juga dapat mendorong sinergi berbagai sumber pendanaan, termasuk utang daerah dan kerja sama dengan badan usaha, untuk mempercepat pembangunan.
RCE dapat mengkaji implementasi sinergi pendanaan ini dan menilai dampaknya, yang kemudian digunakan FA sebagai bahan evaluasi bagi pemerintah daerah.
Peningkatan Kualitas Belanja Daerah Peningkatan kualitas belanja daerah perlu dilakukan untuk mencapai output dan outcome yang optimal dan berdampak bagi masyarakat. FA perlu mendorong peningkatan kualitas penganggaran dan pengalokasian belanja, serta kualitas aparatur pengelola keuangan dan aparatur pengawasannya. Kualitas penganggaran dapat ditingkatkan melalui penyederhanaan dan penyelarasan program prioritas nasional dan prioritas daerah, belanja yang berdasarkan standar harga dan standar belanja.
Pengalokasian belanja dapat ditingkatkan melalui disiplin dalam pemenuhan porsi yang dimandatkan, untuk belanja pegawai dengan maksimal 30% dan belanja infrastruktur paling rendah 40% dari APBD. FA dapat mendorong, memantau, dan mengevaluasi bagaimana upaya pemerintah daerah memenuhi porsi alokasi tersebut.
Peningkatan kualitas aparatur pengelola keuangan dan pengawasan dapat dilakukan melalui standardisasi kompetensi. Dalam pelaksanaan standardisasi kompetensi ini, FA dapat mengambil peran melakukan pendampingan dan konsultasi terhadap implementasi sertifikasi jabatan pengelola keuangan di pemerintah daerah dengan berbekal pengalaman sertifikasi jabatan yang sama di instansi vertikal.
Di sisi lain, RCE dapat mengkaji apakah pemenuhan porsi tertentu dari belanja dapat berdampak lebih baik bagi pembangunan daerah. RCE dapat berperan melihat gambaran yang lebih luas mengenai upaya peningkatan kualitas belanja daerah dari waktu ke waktu dan sekaligus melihat pengaruhnya terhadap pembangunan daerah.
Gambaran ini hanya dapat 22 A D C D e-Majalah Padar Edisi September 2024 diperoleh ketika RCE memiliki hubungan yang erat dengan pemerintah daerah.
Harmonisasi Kebijakan Fiskal Pusat dan Daerah Kebijakan fiskal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu harmoni dan sinergis sehingga seluruh instrumen fiskal bekerja selaras dalam mencapai tujuan bernegara. Di satu sisi, pemerintah daerah dalam menyusun perencanaan pembangunan perlu memperhatikan kebijakan pembangunan dan kebijakan fiskal yang tercantum pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan dokumen perencanaan strategis nasional lainnya. Di lain pihak, RPJMN dan RKP memperhatikan usulan dan pertimbangan dari pemerintah daerah.
Harmonisasi kebijakan fiskal nasional perlu didukung dengan sistem informasi yang dapat mengkonsolidasikan informasi perencanaan dan informasi keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dengan enabler ini, sinergi kebijakan fiskal pusat dan daerah dapat dipantau secara memadai. FA dapat mengambil peran dalam melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap berjalannya harmonisasi ini, untuk melihat bagaimana program dalam APBN dan APBD yang saling berkaitan saling melengkapi, bukan duplikasi dan tumpang tindih.
Di sisi lain, dengan informasi konsolidasian antara pusat dan daerah yang memadai, RCE dapat melihat secara komprehensif dan utuh terhadap perencanaan dan realisasi yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi daerah. Informasi ini makin diperkuat dan lebih bermanfaat bagi penajaman analisis RCE bila disertai penandaan (tagging) untuk tujuan tertentu, seperti stunting, kemiskinan ekstrem, ketahanan pangan, dan inflasi.
Artikel ini telah tayang di e-Majalah PADAR edisi Bulan September 2024 dengan judul "Konvergensi Menuju Pemerataan: Strategi RCE dan Financial Advisor".