Havez Annamir, pelaksana pada Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup
Melalui dokumen Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia memiliki visi untuk
mencapai ketahanan iklim pada tahun 2030 sebagai hasil dari strategi mitigasi dan adaptasi
serta pengurangan risiko bencana yang komprehensif. Indonesia telah menetapkan tujuan
terkait dengan produksi dan konsumsi pangan, air, dan energi. Tujuan tersebut akan dicapai
dengan mendukung pemberdayaan dan peningkatan kapasitas, peningkatan penyediaan
layanan dasar di bidang kesehatan dan pendidikan, inovasi teknologi, dan pengelolaan sumber
daya alam yang berkelanjutan, sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola yang baik. Untuk
mencapai target NDC 2030, serta niat mempercepat perubahan transformasi menuju
pembangunan rendah karbon dan ketahanan iklim, Indonesia telah menyusun Long-Term
Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050. LTS-LCCR dirancang
dengan mempertimbangkan perlunya keseimbangan antara pengurangan emisi dan
pembangunan ekonomi, keadilan, dan pembangunan ketahanan iklim, serta dengan menjajaki
lebih lanjut peluang untuk mempercepat pencapaian net-zero emission pada tahun 2060 atau
lebih cepat.
Pemerintah Indonesia membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) pada
tahun 2019 yang saat ini terintegrasi di bawah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb)
guna mengelola dana yang dibutuhkan bagi beragam program lingkungan hidup berkaitan
dengan rencana di atas. Saat ini, BPDLH menjalin mitra dengan Ford Foundation dalam
Program Peningkatan Ketahanan dan Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat Adat dan Komunitas
Lokal yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan hutan serta ekosistem sekaligus
meningkatkan kesejahteraan masyarakat adat/komunitas lokal yang kemudian disebut sebagai
Project Dana TERRA. Istilah TERRA sendiri menurut bahasa Yunani berarti Bumi (tanah tempat
berdiri, bertani atau berinteraksi).
Dana TERRA
Aktivitas masyarakat telah mengakibatkan deforestasi yang substansial. Degradasi lahan hutan
pun terjadi, yang berakibat pada meningkatnya emisi karbon. Dalam konteks masyarakat
adat/komunitas lokal yang tinggal di sekitar kawasan hutan, penelitian terdahulu
mengungkapkan bahwa pendorong utama endogen (dari dalam) terhadap perubahan tutupan
lahan dan hutan adalah kegiatan mata pencaharian masyarakat. Padahal masyarakat
melakukan hal tersebut untuk meningkatkan kesejahteraan dan menjaga ketersediaan pangan
mereka.
Melalui Project Dana TERRA, BPDLH dan Ford Foundation memberikan dukungan pendanaan
dengan mekanisme hibah bagi nonperorangan dan/atau lembaga perantara untuk
melaksanakan beragam program dan kegiatan dalam merespons tantangan tersebut.
Masyarakat adat/komunitas lokal menjadi kelompok penerima manfaat. Umumnya, program ini
berkontribusi pada Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu SDG tentang aksi iklim,
tentang kehidupan di darat, tentang kemiskinan, dan tentang kesetaraan gender.
Total dana kelolaan program ini adalah sebesar $1,25 juta atau setara sekitar Rp18,05 miliar.
Menurut pengumpulan data internal, project yang dimulai sejak 29 Maret 2023 ini telah
terimplementasi di 16 provinsi, 39 kabupaten/kota, dan 76 desa dengan melibatkan 7 lembaga
perantara, 13 tim penelitian, dan 19 tim pengabdian dari kalangan civitas academica.
Agroforestri dan Dampaknya
Upaya mewujudkan ekonomi yang berkelanjutan melalui Project Dana TERRA salah satunya
adalah agroforestri. Kegiatan ini merupakan praktik pertanian yang menggabungkan pohon,
tanaman pertanian, dan/atau ternak dalam satu sistem. Dari tujuh lembaga/yayasan yang
mengakses Dana TERRA, semuanya memiliki aktivitas ini dengan ruang lingkup antara lain
pembinaan berupa penguatan kelembagaan kelompok tani/kelompok usaha dan edukasi terkait
sistem agroforestri. Ada pula yang memberikan bantuan bibit tanaman Multipurpose Tree
Species (MPTS) di antaranya 148.725 bibit alpukat, kopi, durian, petai, dan balsa yang di lahan
sekitar penanamannya juga bisa ditanami palawija oleh petani.
Lembaga lainnya memberikan dukungan untuk pengelolaan pupuk organik dari kotoran
hewan sekitar dengan manfaat mengurangi biaya yang timbul sebelumnya karena membeli
pupuk kimia. Pupuk organik ini pun dapat memberikan nilai ekonomi dari hasil penjualan. Di
samping itu tersedia juga dukungan pengolahan pascapanen berupa rumah pengeringan
cengkeh dan alat pengolah kopi maupun hasil tanaman lain. Kegiatan di atas memberikan
optimisme bahwa upaya mendorong peningkatan ekonomi dapat dilaksanakan secara
berkelanjutan dengan mempertimbangkan dampak terhadap aspek lingkungan, ekonomi, dan
sosial.
Pada aspek lingkungan, tanaman yang tumbuh dapat mengurangi emisi karbon, membantu
mencegah erosi tanah, dan meningkatkan retensi air tanah guna mengurangi risiko banjir dan
kekeringan. Secara tidak langsung, aktivitas penanaman juga berperan dalam peningkatan
kualitas air tanah dan sungai sekitar.
Pada aspek ekonomi, tumbuhnya komoditas baru di tengah masyarakat adat/komunitas lokal
akan memberikan potensi tambahan penghasilan yang juga mengurangi risiko finansial karena
ketahanan terhadap perubahan iklim dan fluktuasi pasar. Dari sisi pengolahan pupuk organik,
telah dibangun prototype Unit Produksi Pupuk Organik (UPPO) yang menerima kotoran hewan
rata-rata 1,8 ton/hari dari 250 kepala keluarga masyarakat sekitar. Aktivitas tersebut secara
nyata sudah menambah pendapatan serta mengurangi biaya yang sebelumnya digunakan
untuk membeli pupuk kimia. Dari aktivitas penanaman palawija, masyarakat binaan Yayasan
Pesona Tropis Alam Indonesia (PETAI) sudah menghasilkan pendapatan dari penanaman
tembakau dan cabai sebanyak 495 kg dari 28 kali panen dengan kalkulasi nilai jual sampai
Rp70 juta.
Pada aspek sosial, agroforestri telah mempromosikan kolaborasi antarpetani dan memperkuat
hubungan dalam komunitas agraris. Berjalannya kegiatan tersebut beriringan dengan
meningkatnya keterampilan dan pengetahuan masyarakat, serta mendorong inovasi dalam
aktivitas ekonomi berkelanjutan.
Aktivitas agroforestri tidak hanya memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat
adat/komunitas lokal, tetapi juga meningkatkan kualitas lingkungan dan kesejahteraan sosial di
wilayah implementasi Project Dana TERRA. Dengan demikian, penerapan agroforestri dapat
menjadi salah satu solusi yang holistik dan berkelanjutan untuk diamplifikasi.
Kunci Keberhasilan
Menurut Perjanjian Implementasi Kontribusi antara BPDLH dan Ford Foundation serta
persetujuan No Cost Extension (NCE), Dana TERRA dijadwalkan akan selesai pada 30 Juni
2024. Menurut penulis keberhasilan program ini bergantung pada beberapa faktor kunci yang
terus diupayakan. Faktor tersebut antara lain tata kelola yang lebih baik dari Project
Management Unit, Lembaga Perantara, maupun Tim Civitas Academica; keberlanjutan
implementasi program setelah berakhirnya Project Dana TERRA; terpenuhinya indikator dalam
Theory of Change (ToC) yang telah disepakati oleh BPDLH dan Ford Foundation; dan memiliki
dampak terhadap priority areas Ford Foundation, yaitu: (1) Natural Resources and Climate
Change, (2) Community Based Forest, Peatland, and Mangrove Management, serta (3) Just
and Equitable Energy Transition yang telah tertuang dalam Grant Management Plan.
Dengan demikian, langkah mewujudkan keberhasilan program ini bukan menjadi satu-satunya
upaya yang bisa dilakukan. Sisi ekonomi dan lingkungan tidak selalu bertolak belakang.
Keduanya harus dilihat sebagai tantangan untuk membuat ekonomi masyarakat tumbuh
sekaligus ekosistem pulih menuju Indonesia net-zero emission.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan
organisasi