Penguatan Keuangan Daerah di Panggung ASEAN Treasury Forum
Fahmi Trisnadi, Bagian Sumber Daya Manusia Sekretariat DJPb
Kereta MRT Jakarta melaju cepat meninggalkan stasiun ASEAN, mengantarkan saya dan penumpang dari berbagai sudut kota menuju tujuan masing-masing. Di dalam gerbong, sebagian orang asyik menatap ponsel, sementara yang lain hanya diam, menikmati pemandangan gedung-gedung tinggi yang membentang di luar jendela. Pemandangan kota yang terus berkembang dan penuh dinamika ini menunjukkan bagaimana pengembangan infrastruktur yang terencana dan pengelolaan keuangan
negara yang baik dapat mempercepat pertumbuhan. Namun, juga merefleksikan pertumbuhan ekonomi yang tidak selalu merata antara kota dan pedesaan, pusat dan daerah, core dan periphery. Seperti halnya jalur MRT yang masih terbatas, tantangan dalam pengelolaan keuangan subnasional atau keuangan daerah di kawasan ASEAN juga masih jauh dari selesai. Kesenjangan antarwilayah masih ada, dan tantangan alokasi sumber daya menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan infrastruktur, meninggalkan banyak wilayah yang jauh tertinggal dari arus kemajuan. Penting untuk memahami bagaimana pengelolaan keuangan daerah bisa menjadi kunci dalam mempercepat pembangunan ekonomi di seluruh kawasan ASEAN, tidak hanya di kota-kota besar tetapi juga di wilayah-wilayah yang masih tertinggal. Own-Sources Revenue of Subnational Governments atau Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi salah satu faktor fiskal dan makin bisa mengembangkan infrastruktur dan layanan publik yang dibutuhkan untuk memacu pertumbuhan ekonomi lokal. Namun, di beberapa negara ASEAN, keterbatasan PAD masih menjadi masalah signifikan. Data dari Asian Development Bank (ADB) tahun 2022 menunjukkan bahwa PAD di banyak daerah di negara ASEAN masih sangat kecil, sehingga mereka harus bergantung pada transfer fiskal dari pemerintah pusat. Sebut saja PAD Indonesia dan Filipina yang hanya berkontribusi sekitar 20-30% terhadap total pendapatan daerah, bahkan Myanmar kurang dari 5%. Hal ini berdampak langsung pada kemampuan daerah untuk berinvestasi dalam pembangunan. Ketika dana yang mereka miliki tidak cukup, infrastruktur yang dibutuhkan oleh daerah pun sulit untuk diwujudkan.
Kesenjangan dalam Transfer Fiskal dan Tantangan Infrastruktur Distribusi transfer fiskal dari pemerintah pusat yang kerap kali tidak merata menjadi tantangan tersendiri. Di Indonesia, transfer fiskal cenderung mengalami kenaikan dari kurun waktu 2020 sampai dengan 2024. Data terakhir, realisasi transfer fiskal ke daerah per 31 Agustus 2024 mencapai Rp562,1 triliun atau 65,5% dari pagu, tumbuh 11,6% year-over- year. Studi dari World Bank (2022) juga menyoroti bahwa alokasi dana sering kali lebih dipengaruhi oleh kalkulasi politik, sementara kebutuhan nyata di daerah sering terpinggirkan. Akibatnya, wilayah-wilayah yang seharusnya menerima lebih banyak dana justru tertinggal dalam hal pembangunan. Selain itu, infrastruktur yang belum merata, terutama di wilayah terpencil, memperlambat pertumbuhan ekonomi lokal. Data dari ASEAN Development Outlook (2023) memperlihatkan bahwa banyak daerah di negara-negara ASEAN yang masih kesulitan mendapatkan akses infrastruktur dasar seperti jalan dan listrik. Tanpa infrastruktur yang memadai, aktivitas ekonomi di daerah-daerah ini sulit berkembang, yang pada gilirannya memperlebar kesenjangan antara wilayah maju dan tertinggal. Sudah semestinya distribusi fiskal dilakukan secara lebih adil dan efektif agar wilayah-wilayah yang tertinggal bisa mendapatkan dukungan finansial yang memadai. Transformasi dalam alokasi dana ini dapat membantu mempercepat pembangunan infrastruktur di wilayah yang tertinggal, sehingga mampu memperkuat daya saing ekonomi lokal.
Kemandirian Fiskal dan Peningkatan Investasi Kemandirian fiskal tidak hanya penting untuk infrastruktur, tetapi juga untuk menarik investasi. Daerah-daerah yang memiliki kebijakan fiskal yang lebih mandiri dan fleksibel lebih mampu menarik investasi dan menciptakan lapangan pekerjaan baru. Sebaliknya, daerah yang masih bergantung pada pusat sering kali tidak mampu menawarkan insentif yang kompetitif untuk mendukung pengembangan sektor usaha lokal. Misalnya, studi oleh International Monetary Fund (IMF) tahun 2021 menunjukkan bahwa daerah-daerah di Thailand dan Vietnam yang memiliki kemandirian fiskal lebih tinggi mampu menarik lebih banyak investasi dan menciptakan lebih banyak lapangan pekerjaan dibandingkan dengan daerah-daerah yang sangat bergantung pada transfer dari pusat. ASEAN merupakan kawasan dengan potensi ekonomi besar. Namun, tantangan utamanya adalah menciptakan pertumbuhan yang inklusif bagi seluruh negara anggota. Fenomena “two-tier ASEAN”, perbedaan perkembangan ekonomi di antara negara-negara ASEAN, masih terlihat antara negara-negara anggota yang lebih tua dan negara-negara anggota yang lebih baru. Meskipun upaya untuk mempersempit kesenjangan ini sudah dilakukan melalui berbagai inisiatif, seperti ASEAN Economic Community (AEC), hasilnya masih belum optimal. Salah satu alasan utamanya adalah implementasi rencana kerja yang kurang efektif di tingkat daerah. Dalam hal ini, ASEAN membutuhkan kerangka kerja yang lebih terstruktur dan terkoordinasi, terutama terkait dengan kebijakan ekonomi di tingkat lokal. Ini melibatkan penguatan kapasitas pengelolaan keuangan daerah serta peningkatan kemandirian fiskal di seluruh negara anggota. Dengan demikian, daerah-daerah tidak hanya bergantung pada pemerintah pusat, tetapi dapat mengelola sumber daya mereka sendiri dengan lebih efektif.
Peran ASEAN Treasury Forum Momentum ASEAN Treasury Forum (ATF) Launching & First Meeting 2024 yang berlangsung pada awal Oktober 2024 ini memberikan peluang emas bagi negara-negara anggota untuk mengatasi berbagai tantangan di bidang keuangan. Dalam forum ini, setiap negara anggota dapat berbagi solusi tentang bagaimana meningkatkan pengelolaan keuangan daerah, memperkuat kemandirian fiskal, dan memastikan bahwa seluruh wilayah, baik maju maupun tertinggal, dapat merasakan manfaat pembangunan. ATF yang diinisiasi oleh Indonesia sebagai bagian dari kepemimpinan ASEAN tahun 2023, dirancang untuk menjadi forum khusus yang membahas pengelolaan keuangan negara anggota di tingkat daerah. Selama ini, pertemuan ASEAN Finance Ministers’ Meeting (AFMM) lebih berfokus pada kebijakan ekonomi makro dan stabilitas keuangan, tetapi belum ada platform khusus yang membahas pengelolaan keuangan daerah atau subnational governments secara meso. Dengan adanya ATF, negara-negara anggota ASEAN akan memiliki ruang untuk memperdalam dialog mengenai manajemen fiskal di tingkat daerah, berbagi pengalaman tentang pengelolaan transfer fiskal, serta menciptakan solusi inovatif untuk meningkatkan PAD dan memperkuat kebijakan fiskal yang mendukung pertumbuhan ekonomi lokal. Forum ini akan melengkapi inisiatif ASEAN yang lebih besar dalam hal integrasi ekonomi dan keuangan, dengan berfokus pada implementasi kebijakan yang lebih merata di seluruh kawasan ASEAN.
Meningkatkan Kapasitas Pengelolaan Keuangan Daerah Salah satu langkah kunci yang dapat diambil oleh negara-negara ASEAN adalah meningkatkan kapasitas pengelolaan keuangan daerah. Ini bisa dilakukan melalui pelatihan dan bantuan teknis yang difokuskan pada pengelolaan anggaran, peningkatan PAD, serta pengembangan kebijakan fiskal yang lebih mandiri. Pemerintah pusat dapat memberikan insentif bagi daerah-daerah yang berhasil meningkatkan kinerja fiskalnya, baik dalam hal
peningkatan PAD maupun efisiensi penggunaan dana. Selain itu, kerja sama antarnegara ASEAN juga dapat diperkuat melalui pertukaran pengetahuan dan pengalaman mengenai pengelolaan keuangan daerah. Negara-negara yang sudah lebih maju dalam hal kemandirian fiskal, seperti Singapura dan Malaysia, dapat berbagi praktik terbaik mereka dengan negara-negara yang masih berjuang untuk meningkatkan PAD.
Transformasi Alokasi Dana Perimbangan Transformasi dalam alokasi dana perimbangan juga perlu menjadi prioritas. Pemerintah pusat seyogianya memastikan bahwa alokasi dana sepenuhnya mencerminkan kebutuhan riil daerah, bukan dipengaruhi oleh kepentingan politik semata. Keadilan dalam pendistribusian anggaran menjadi pondasi bagi terwujudnya pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Transparansi dalam alokasi dana ini sangat penting untuk memastikan bahwa daerah-daerah
yang paling membutuhkan mendapatkan dukungan yang memadai untuk membangun infrastruktur dan layanan publik yang diperlukan. Skema pembiayaan inovatif, seperti public-private partnerships (PPP), juga dapat digunakan untuk mempercepat pembangunan infrastruktur di wilayah yang kurang berkembang. PPP melibatkan sektor swasta dalam pelaksanaannya sehingga membantu pemerintah untuk mengurangi beban anggaran, sembari tetap memastikan bahwa pembangunan infrastruktur
berjalan sesuai rencana. Pengelolaan keuangan daerah memiliki peran krusial dalam mendorong pertumbuhan ekonomi lokal di kawasan ASEAN. Dengan transformasi kebijakan fiskal, peningkatan PAD, distribusi dana yang lebih merata, serta pembangunan infrastruktur yang terintegrasi, negara-negara ASEAN dapat memperkuat daya saing mereka di kancah global. ASEAN Treasury Forum 2024 menjadi platform penting untuk mendiskusikan dan mencari solusi atas membantu mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Tak terasa, saya telah sampai ke stasiun tujuan, Bundaran HI. Seperti halnya, penumpang kereta MRT yang tiba di tujuan masing-masing, setiap daerah di negara-negara kawasan ASEAN memiliki tujuan pembangunan yang ingin dicapai. Ketimpangan antarwilayah, baik dalam pengembangan infrastruktur maupun pendapatan, memerlukan perhatian lebih dari para pemangku kebijakan. Pengelolaan keuangan subnasional atau keuangan daerah yang efisien dan alokasi sumber daya yang adil adalah kunci untuk memastikan bahwa setiap wilayah dapat berkembang, sehingga setiap “penumpang” tiba di stasiun kemajuan yang mereka tuju, tanpa tertinggal di belakang.
Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi.