KPPN Palopo, Jl. Opu Tosappaile Nomor 107 Kota Palopo

Hari ini Sabtu kira kira pukul 6 pagi, saya berkunjung ke rumah Pak Sabar yang terletak di sudut kota, tepatnya simpang jalan Jenderal Sudirman lorong belakang Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU), saat tiba saya mendapati sepeda motornya Honda keluaran tahun 90an terparkir rapi di depan balai-balai yang terbuat dari anyaman bambu yang kemudian saya ketahui itu buatan tangan Pak Sabar.

Saya menunggu di balai-balai bambu yang tertata rapi di halaman, dan tak lama kemudian dia datang dengan sekantung panganan kecil buat sarapan pagi,….Assalamu alaikum..sahutku ..dan dijawabnya Waalaikumsalam kira-kira dari jarak 3 meter, dia menatapku lamat-lamat  dan bergumam siapa yaa?.

Wajar bila Pak Sabar lupa pada saya karena hampir dua tahun kami tidak bertemu, dan  selama itu pula dia tentu punya banyak teman yang datang dan bertemu di dalam hidupnya, dia memang mungkin tidak mengenali saya lagi,....sejurus kemudian saya menyebut nama,....saya Umar Bakri….pak.. waah…waah …waah kata Pak Sabar..memecah suasana pagi…Ooo…Umar ..Umar..toh…iya pak ..jawabku.

Beberapa menit pertama menjadi saat-saat canggung bagiku, saya ingin memulai pembicaraan tetapi tidak tahu dengan topik apa. Setelah kami cipika-cipiki, ceritapun menjadi lancar bagai aliran air sungai Latuppa yang menyuplai air baku PDAM kota sepanjang tahun. Dia mempersilahkan saya duduk pada balai-balai bambu..dan melanjutkan ceritanya, namun sebelum dia berucap saya mendahuluinya menanyakan tentang kesehatan dan pekerjaannya sekarang setelah dia pensiun.

Pak Sabar…sehat-sehat bukan?...tanyaku perlahan-lahan…Alhamdulillah Pak. Umar…..sehat-sehat…jawabnya lirih…kemudian saya lanjutkan ..apa kegiatannya setelah pensiun pak?..maksudnya pekerjaan bapak,….Ooo …pekerjaan saya…gumamnya…yaaah beginilah..pak,…dua tahun terahir ini saya bawa ojek pak..maksud bapak narik ojek?...mempertegas ucapannya…iyaa..pak.  jawabnya..singkat…lumayan pak buat nambah- nambah belanja dapur karena uang dari pensiun tidak seberapa …saya kan pensiun golongan dua saja pak,..sejurus kemudian dia menawariku untuk naik ojeknya sembari bercanda saya menolak.

Mendengar penolakan saya, responnya biasa saja, tidak marah, tidak menggerutu, apalagi kecewa, sebagaimana saya temui pada beberapa tukang ojek. Saya selalu kagum pada sifatnya yang satu ini. Penolakan-penolakan itu mungkin seperti latihan khusus baginya, yang juga biasa dialami ketika masa aktifnya dahulu sebagai  pegawai negeri golongan dua  namun kini, dia sudah lulus.

Pagi hari ini cuaca agak mendung cukup sepi, namun tidak membosankan, kami  menikmati sepi itu dengan senyum gembira penuh kebersahajaan dan selalu berinteraksi satu sama lain,sampai kemudian Pak Hamzah datang.

Pak Hamzah adalah  warga lorong SPBU. yang juga seorang pensiunan salah satu kantor dinas, Pak Hamzah cukup aktif memecah hening antara saya dan Pak Sabar. Karena candaannya, kami pun bercerita lepas.

Pak Hamzah tinggal di lorong SPBU yang banyak kos-kosan  sejak tahun 2013. Enam tahun lebih dia habiskan dengan mengamati daerah setempat. Dia cukup kenal seluk-beluk kos-kosan yang ada di lorong SPBU  yang terletak satu lorong dengan rumahnya. Bahkan, sampai mahasiswa dan penyewa kos-kosan, dia kenal semua. Kata pak Sabar, Pak Hamzah adalah “orang penting” Lorong SPBU. Setiap ada kehilangan atau ada urusan dengan pihak polisi, pasti minta izin dulu dengannya. Tidak jarang malah Pak Hamzah diminta membantu menyelidiki kasus-kasus yang ada. Padahal, jika dilihat dari tampang dan gaya berpakaiannya, sangat jauh dari kesan jagoan dan preman penguasa wilayah yang selama ini digambarkan. Gaya pakaian Pak Hamzah rapih dan murah senyum.

Tawaran menjabat sebagai ketua RT sudah beberapa kali ditolaknya. Bahkan ketua RT yang tengah menjabat pun pernah menawarinya untuk jadi penerusnya. Tapi, tetap juga dia tolak. Dia malas berurusan dengan birokrasi pemerintah. Katanya, dia tidak mau dihargai hanya karena status atau jabatan pekerjaannya. dia hanya mau menjadi Hamzah saja.

Pak Hamzah dan Pak Sabar hampir setiap pagi dan sore menghabiskan waktu bercerita di balai-balai bambu buatan Pak Sabar. Pembicaraan mereka sangat bebas dan santai. Mereka memperbincangkan baliho yang baru saja dipasang oleh mahasiswa yang tinggal di seputar lorong SPBU tadi malam.

Bahasannya berlanjut ke bahan baku baliho. Akan dikemanakan nanti bambu dan tripleks-tripleks itu jika sudah dipakai, bahan itu sangat bermanfaat sebagai tempat berlindung bagi pengemis jalanan dari  terik matahari dan dinginnya malam.

Tidak lama berselang, di simpang jalan Jenderal Sudirman semakin padat akibat ulah mobil angkutan umum yang menurunkan dan menjemput penumpang di sembarang tempat yang menjadi penyebab padatnya lalu lintas saat itu.

Sementara kami bersenda gurau, tiba-tiba terdengar bunyi tabrakan  dari arah jalan raya. Ada dua motor bertabrakan. Motor yang satu, dikendarai dua orang mahasiswa, yang mencoba menyalip dari sisi kanan mobil angkutan umum yang tiba-tiba berhenti hampir di tengah jalan. Ternyata, di saat bersamaan, ada pengendara motor melaju kencang dari sisi kiri mobil angkutan umum. Suara rem mati, terjadi tabrakan  meski tidak parah, tapi anak dan ibu yang dibonceng oleh suaminya terjatuh. Aduh, anaknya masih kecil, mungkin masih berusia 7 atau 8 tahun.

Kali ini Pak Hamzah yang nyeletuk, “ini gegara  produksi motor sama mobil banyak sekali" Tidak jelas pernyataan ini serius atau bercanda dan ditujukan ke siapa. Pak Hamzah bercanda dengan wajah yang serius. Tapi, candaannya itu sungguh serius dan kritis.

Lalu ada gadis berjalan di depan kami, langkahnya sedikit angkuh, seperti nya dunia ini miliknya sendiri. Melihat gadis itu, Pak Hamzah berkata pada Pak Sabar, "Jam keluarnya mi itu, Sabar”...

Pak Sabar, yang masih termenung, tiba-tiba tersigap dan melihat gadis yang dimaksud Pak Hamzah. "Iyo di', malam Sabtu mi pale’. Besok  itu bertugaski’ ronda malam

Melihat saya yang cukup bingung, Pak Hamzah langsung menjelaskan.           

"Anak Café-cafe itu, Pak Umar…Jam keluarnya itu siang-siang begini, nanti dia pulang tengah malam, atau subuh-subuh."

Pada awalnya saya tidak yakin. Mana bisa Pak Hamzah tahu tentang seseorang sampai sedetail itu. Secara logika, hanya penguntit yang bisa tahu rutinitas seseorang.. Pak Sabar yang baru selesai makan, menambahkan bahwa wajar kalau Pak Hamzah tahu gadis tadi karena tinggal satu lorong. Bertetangga, tapi hanya saling mengamati, belum pernah bertegur sapa.

Menurut Pak Sabar, gadis tadi punya 4 orang teman satu kosan. Rutinitas mereka hampir sama. Keluar siang atau sore, dengan baju ketat yang membentuk lekuk tubuh yang menggoda, dan kemudian pulang tengah malam atau subuh. Tidak jarang Pak Hamzah bertemu dengan mereka ketika pulang. Pak Hamzahl baru pulang nongkrong dengan penjaga-penjaga malam di lorong SPBU, atau baru pulang main domino, sedangkan mereka pun juga baru pulang. Setiap pulang mereka diantar oleh laki-laki yang berbeda setiap malam. Naik mobil atau motor gede, bahkan pak Hamzah pernah mendapati mereka pulang sambil muntah-muntah. mungkin mereka mabuk.

Mereka mahasiswa atau bukan pak? Pak Hamzah tidak tahu yang pasti, dia tidak pernah melihatnya masuk kampus atau pergi kuliah. Gayanya setiap keluar pakaiannya selalu  begitu, menggoda syahwat, katanya.

Ketika kami tengah bercerita, ada lagi yang lewat. kali ini, gadis itu menyapa Pak Sabar dan Pak Hamzah. “Nah, kalau itu calon dokter ." Dulu, katanya, dia mahasiswi di FK, tergolong gadis baik-baiklah, menurut Pak Hamzah. Bahkan, Pak Hamzah pernah dapat perawatan  gratis dari gadis yang tadi.

Pak Sabar lalu bercerita bahwa dia pernah bekerja sebagai tukang bersih-bersih dalam kampus. Awalnya Pak Sabar cukup menikmati pekerjaannya . Mengisi waktu istirahat dengan bercanda dengan beberapa mahasiswa sudah cukup bahagia menurutnya. Sampai pada satu waktu, sangat banyak tuntutan untuk bersih dari pihak Universitas. Mereka, pegawai honor kebersihan, diminta untuk menjaga kebersihan, tapi tidak dibantu dengan perlengkapan yang memadai. Gaji bulanan mereka juga sering telat.

Ternyata, setelah bercerita dan curhat dengan beberapa mahasiswa, dia menyimpullkan kalau ini ada hubungannya dengan pergantian birokrasi kampus, khususnya rektor universitas yang punya tuntutan sempurna di beberapa hal. Pak Sabar tidak lagi bahagia menjalani pekerjaannya, terlalu banyak tuntutan diluar kemampuannya. Daripada menggerutu, lebih baik minta berhenti, toh,gaji pensiun sudah ada meskipun sedikit. Gaji yang sudah ditabung selama ini  kemudian dia belikan motor yang hingga kini dibuat ojek. Dari hasil mengojek dan pensiun golongan dua itulah pak Sabar  membangun rumah sederhana di lorong SPBU.

Ada keunikan Pak Sabar sebagai tukang ojek. Dia hanya mau dibayar ketika mengantar masuk penumpang ke dalam lorong SPBU atau kawasan dalam yang berjarak seribuan meter. Bila tengah jalan pulang usai mengantar penumpang lalu bertemu mahasiswa berjalan kaki ke arah luar, dia menawarkan tumpangan dan tak mau dibayar.

Alasan Pak Sabar, kalau tengah perjalanan pulang ada yang memerlukan tumpangan, dia berbagi manfaat  itu membahagiakan. Dia bisa dapat amal ibadah, juga bisa bawa pulang cerita ke rumah sederhananya. Untuk kemudian dibagi dengan keluarganya di rumah.

Duduk di balai-balai bambu ini bersama Pak Sabar dan Pak Hamzah cukup melegakan. Di sini, saya betul-betul merasa bebas mengamati, bercanda, mengkritik, mereka betul-betul orang hebat yang tidak perlu gelar. Setidaknya, mereka bisa melihat dan mengenali diri mereka sendiri. Di rumah sederhana milik Pak Sabar ini, kita bisa saling mengingatkan tentang harapan, rencana, tentang arti bahagia. Kembali mengingatkan diri tentang asal dan muasal kita

Kata Pak Sabar, di lorong SPBU , ada sebuah warnet yang memajang gambar dirinya dalam ukuran besar, candanya selalu ada cerita dalam setiap tempat, salah satunya di sini, di satu sudut kota ini. Pak Sabar  dan beberapa warga sekitar yang tinggal di lorong SPBU, baik tukang becak, ojek, maupun warung-warung kecil yang sudah tidak terhitung jumlahnya tengah was-was menunggu karena issu akan ada penggusuran. “entah digusur atau tidak.

 toh  hidup kita ini proses  menunggu waktu”, menunggu waktu sholat dan menunggu waktu kapan kita disholatkan, katanya,  mencoba menenangkan diri.

.

 

Wallahu A’lam Bissawwab

 

 

Palopo, Medio Nopember 2020

 

Penulis                      : Marzaman

TTL                           : Palopo, 31 Desember 1962

Jabatan                      : Kepala Seksi Verifikasi dan Akuntansi KPPN Palopo

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Djuanda I Lt. 9
Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1 Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

IKUTI KAMI

Search