KPPN Palopo, Jl. Opu Tosappaile Nomor 107 Kota Palopo, Telepon (0471) 21303

oleh: Gobel Fajrin Astra Yudha

Pada awal April ini, dunia dikejutkan dengan kebijakan Donald Trump, Presiden Amerika Serikat yang menerapkan bea impor tinggi untuk barang yang masuk ke Amerika Serikat dari banyak negara, yang diberi nama “Reciprocal Tariffs” atau diterjemahkan menjadi Tarif Timbal Balik. Trump beralasan bahwa selama ini Amerika Serikat telah ‘dirampok’ tidak hanya oleh negara-negara lawan, namun juga oleh negara-negara sahabat. Tujuan kebijakan ini adalah mengembalikan kekuatan ekonomi Amerika Serikat dan menyebut sebagai Deklarasi Kemerdekaan Ekonomi Amerika.

Kita tidak akan membahas lebih jauh kebijakan tarif oleh Amerika Serikat, namun berkaitan dengan kebijakan fiskal di negara kita. Sebagaimana kita ketahui bersama, Indonesia dan Amerika Serikat baru saja memiliki presiden yang baru, walaupun bisa disebut ‘baru tapi lama’ untuk Amerika Serikat. Bapak Prabowo dan Mas Gibran dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024 kemudian disusul Donald Trump dan JD Vance dilantik pada tanggal 20 Januari 2025 sebagai presiden dan wakil presiden negara masing-masing. Pergantian pemimpin negara dan pemerintahan seperti ini seperti biasa juga akan diikuti dengan perubahan kebijakan dalam pengelolaan pemerintahan.

Selang 2 hari setelah pelantikan Presiden Trump atau tepatnya tanggal 22 Januari 2025, Presiden Republik Indonesia, Bapak Prabowo menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025. Inilah kebijakan fiskal pertama yang dikeluarkan Bapak Prabowo setelah dilantik, dan dianggap menjadi pil pahit bagi pengelolaan fiskal dan beberapa bidang usaha juga merespon negatif. Walaupun tentu saja kebijakan dalam Inpres tersebut telah melalui pertimbangan yang matang oleh Bapak Prabowo beserta tim dalam Kabinet Merah Putih sebelum ditetapkan.

Inpres tersebut mengatur beberapa alokasi anggaran yang perlu dilakukan efisiensi dan yang tidak. Beberapa alokasi anggaran kementerian/lembaga yang diefisienkan meliputi belanja operasional perkantoran, belanja pemeliharaan, perjalanan dinas, bantuan pemerintah, pembangunan infrastruktur, serta pengadaan peralatan dan mesin. Sedangkan alokasi yang tidak terkena kebijakan efisiensi yaitu Belanja Pegawai dan Belanja Bantuan Sosial.

Kemudian pada APBD, Presiden memberi instruksi kepada gubernur/walikota/bupati agar membatasi kegiatan seremonial, studi banding, seminar, perjalanan dinas, jumlah tim yang mendapat honor, belanja pendukung dengan output yang kurang terukur, serta membatasi hibah kepada kementerian/lembaga. Selain itu juga menginstruksikan kepada Menteri Keuangan untuk mengurangi alokasi Transfer Keuangan Daerah (TKD) dengan total lebih dari 50 triliun rupiah yang terbagi dalam beberapa jenis.

Menilik pada kegiatan-kegiatan yang dilakukan efisiensi, maka tidak heran jika dunia usaha khususnya bisnis transportasi dan perhotelan merespons negatif Inpres nomor 1 ini, karena kegiatan-kegiatan seminar, studi banding, perjalanan dinas, dan seremonial oleh pemerintah menjadi salah satu sumber penghasilan mereka selama ini. Bahkan mereka sudah memperkirakan potensi kerugian yang dapat berdampak pada pengurangan tenaga kerja, yang pada akhirnya meningkatkan angka pengangguran.

Jadi, apakah yang dapat dilakukan menghadapi situasi ini? Untuk mencari solusi atas alokasi belanja pemerintah yang diefisienkan, barangkali kita perlu mengingat kembali materi pelajaran makroekonomi, khususnya terkait pendapatan suatu negara atau biasa disebut dengan Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Salah satu cara penghitungan PDB adalah dengan pendekatan pengeluaran yang memiliki rumus:

PDB = C + I + G + (X – M), di mana

C : konsumsi rumah tangga

I : Investasi

G : Belanja Pemerintah

X : Ekspor

M : Impor

Berdasarkan rumus di atas, terdapat 5 variabel yang mempengaruhi PDB, 4 variabel berpengaruh positif (menambah pendapatan) dan 1 variabel (yaitu impor) sebagai pengurang pendapatan.

Berdasarkan Inpres Nomor 1, maka variabel G melemah, dan berdasarkan kebijakan Presiden Trump sebagaimana pembahasan di awal, maka variabel X diperkirakan juga akan melemah. Berarti tersisa 3 variabel, yaitu C, I, dan M. Variabel C bisa saja ikut melemah, sebagaimana perkiraan pengusaha perhotelan dan transportasi. Jika sampai terjadi PHK, maka dari mana rumah tangga dapat melakukan konsumsi? Kemudian variabel I bisa saja terseret melemah karena mana mungkin pengusaha melakukan investasi jika melihat daya beli masyarakat melemah, ditambah lagi infrastruktur dan belanja peralatan dan mesin termasuk alokasi yang dilakukan efisiensi oleh pemerintah. Dan terakhir variabel M, maka cukup ‘kebangetan’ dan anomali jika sampai meningkat, padahal variabel penambah pendapatan (yang bisa digunakan untuk melakukan impor), sedang mengalami pelemahan. Namun jikapun terjadi, maka yakinlah bahwa Bangsa Indonesia sebenarnya adalah bangsa yang kaya raya, namun hanya pada sebagian kecilnya.

Sampai di sini ternyata kita belum menemukan solusi, malah menemukan tambahan permasalahan. Sebagai upaya mencari solusi dan melakukan rebound atas kondisi yang ada, mari kita kembali menelisik Impres Nomor 1. Ternyata terdapat alokasi belanja yang tidak terkena efisiensi, yaitu Belanja Pegawai dan Belanja Bantuan Sosial. Belanja Pegawai merupakan belanja pemerintah untuk membayar gaji dan tunjangan kepada Aparat Sipil Negara (ASN), Anggota TNI dan Polri. Sedangkan Belanja Bantuan Sosial merupakan pembayaran pemerintah kepada masyarakat untuk meningkatkan kemampuan ekonomi dan kesejahteraannya.

Jadi dapat kita artikan bahwa alokasi yang tidak diefisienkan adalah alokasi belanja pemerintah kepada (sebagian) rumah tangga, yaitu rumah tangga ASN, Anggota TNI & Polri, dan penerima bantuan sosial. Ternyata Bapak Prabowo dan Kabinet Merah Putih tidak hanya mengurangi  variabel G, namun tetap berusaha menjaga agar pembentuk variabel C tetap kuat, sebagai upaya menjaga agar PDB tetap tinggi. Selanjutnya yang perlu dilakukan oleh rumah tangga penerima Belanja Pegawai dan Belanja Bantuan Sosial adalah:

  1. Membelanjakan penghasilan/pendapatan yang diperolehnya untuk konsumsi, sehingga Belanja Pegawai dan Bantuan Sosial berubah wujud menjadi variabel C;
  2. Meminimalkan membelanjakan penghasilan/pendapatan pada barang impor untuk mengurangi variabel M, kecuali terpaksa. Misalnya belanja bahan bakar, yang sampai saat ini kebutuhan bahan bakar nasional sebagian masih harus ditutup dengan impor;
  3. Meningkatkan kegiatan yang bersifat sosial (bersedekh), walaupun belum menjadi variabel C namun kegiatan sosial akan meningkatkan pemerataan pendapatan yang selanjutnya digunakan untuk belanja (oleh penerima sedekah) sehingga menjadi variabel C;
  4. Akan lebih baik lagi jika rumah tangga berkenan untuk ‘merogoh’ sebagian tabungannya, baik untuk belanja (bukan barang impor), atau bahkan melakukan sedekah, sehingga variabel C tidak hanya bergantung pada besaran Belanja Pegawai dan Bantuan Sosial dari pemerintah.

Ketika pengusaha melihat bahwa rumah tangga melakukan 4 hal di atas, maka bukan tidak tidak mungkin akan mendorong mereka melakukan investasi (variabel I) karena dari investasi yang mereka lakukan akan menghasilkan barang untuk dibeli oleh rumah tangga (variabel C). Kemudian dengan tingginya pendapatan pengusaha, maka pemerintah akan mendapat pemasukan pajak yang tinggi yang kemudian dibelanjakan (variabel G) kepada sektor produktif dan juga perlindungan sosial. Sehingga pada akhirnya mengubah dari lingkaran setan (sebagaimana digambarkan pada pertengahan artikel) menjadi lingkaran kebaikan, ketika variabel C, I, dan G saling mendukung peningkatan pendapatan. Memang ini semua hanya berpijak pada teori, namun bukankah teori dicetuskan untuk dipraktekkan?

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Djuanda I Lt. 9
Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1 Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

IKUTI KAMI

Search