Jl. Prof. M. Yamin No. 77 Kab. Sijunjung

IMPLEMENTASI DESENTRALISASI FISKAL

BERDASARKAN UU NO. 1 TAHUN 2022

 

Oleh :  DESLINA

Kasi PDMS KPPN Sijunjung

         

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah telah mengalami perubahan dengan ditetapkannya  Undang Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD). Undang Undang No 1 tahun 2022 tentang HKD ini merupakan revisi dari Undang Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah dan Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Dengan adanya  UU No 1 Tahun 2022 tentang HKPD maka impelementasi desentralisasi fiskal di Indonesia juga mengalami perubahan. Desentralisasi fiskal dalam UU No, 1 Tahun 2022 tentang HKPD diarahkan kepada pencapaani program prioritas pembamgunan, pemerataan dan kesejahteraan masyarakat di seluruh daerah.

Secara substansi UU HKPD  terdiri dari 4 pilar yakni tentang Pajak dan retribusi daerah, Ketimpangan vertikal dan  horizontal, peningkatkan kualitas belanja daerah dan harmonisasi belanja Pusat dan daerah. Keempat pilar tersebut menjadi fokus utama dan menjadi kesatuan sistem dalam kebijakan  pengelolaan desentralisasi fiskal di Indonesia. Dengan impelentasi UU No 1 Tahun 2022 ini diharapkan akan dapat memperkuat pelaksanaan desentralisasi fiskal melalui perbaikan kualitas output dan outcome pelayanan publik dan pemerataan kesejahteraan masyarakat di seluruh Indonesia. Apalagi dikaitkan dengan pencapaian target RPJM Nasional 2020 - 2024 maka implentasi UU HKPD menjadi kunci pencapaian target RPJM.

Diantara keempat pilar substansi yang terdapat dalam UU HKPD maka tiga diantaranya merupakan pilar yang sangat krusian dalam mewujudkan desentralisasi fiskal yang efektif, efisen dan produktif. Ketiga pilat tersebut yaitu peningkatakn Pedapatan Asli Daerah, peningkatan Kualitas belanja daerah dan sinergi serta harmonisasi belanja Pusat dan daerah. Oleh karena itu ketiga pilar tersebut harus menjadi fokus dan titik awal dalam impelmentasi UU HKPD.

Peningkatan Pendapatan Asli  Daerah

Peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) merupakan salah satu pilar utama dalam UU No 1 Tahun 2022 tentang HKPD. Pendapatan asli daerah terdiri dari Pajak derah dan retribusi daerah. Selama ini, pengelolaan PAD belum optimal. Hak ini bisa dilihat masih rendahnya proporsi PAD dalam pendapatan Daerah. Pendapatan Daerah sebahagian besar masih didominasi oleh Transfer ke Daerah  (TKD). TKD merupakan bagian Komponen APBN yang merupakan satu kesatuan pendanaan yang dialokasikan ke daerah dari penerimaan negara dengan tujuan mengurangi ketimpangan fiskal pusat dan daerah serta ketimpangan fiskal dan pelayanan publik antar daerah. Instrumen TKD terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH, Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Otonomi Khusus dan Daerah Istimewa, Dana Desa dan Insentif Fiskal.

Dalam struktur penerimaan daerah porsi PAD relatih masih rendah dibandingkan dengan TKD. Porsi PAD baru mancapai 20% - 30% dari pendapatan daerah. Sedangkan TKD  mempunyai porsi  rata-rata  70% sebagai sumber pendapatan dalam APBD. Alokasi TKD sebagai pendapatan daerah  mengalami peningkatan setiap tahun. Sedangkan PAD mengalami pertumbuhan yang sangat lambat. Makin besarnya porsi TKD dalam APBD mengindikasikan makin besarnya ketergantungan daerah terhadap TKD. Dengan proporsi yang besar dalam APBD maka TKD mempunyai peran yang penting dan startegis dibandingkan PAD dalam kebangkitan ekonomi dan kesejahteraan masyarajat di daerah.

Untuk meminimalisir ketergantungan pendapatan daerah dari TKD maka  pemerintah dengan berpegang pada azas desentralisasi fiskal terus mendorong daerah untuk dapat menggali potensi dalam pengelolaan PAD. Dengan pengelolaan PAD yang makin optimal tentu akan dapat meningkatkan pendapatan daerah yang dengan sendiri akan dapat meningkatkan kemampuan darah dalam rangka lebih memajukan dan meluaskan upaya belanja daerah untuk melaksanakan pembangunan dan program strategis di daerah.

Dalam rangka lebih menggali potensi daerah serta mengurangi ketergantungan daerah terhadap TKD, maka dalam UU HKPD pemerintah melakukan penguatan kewenangan pemajakan daerah agar dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerahnya. Melalui UU HKPD dilakukan pengaturan dan restrukturisasi Pajak daerah dan retribusi daerah serta intergrasi pajak daerah. Diharapakan dengan upaya ini dapat mengoptimlah pemungtan pajak dan retribusi daerah.

Selain itu dalam UU HKPD juga di atur tentang skema opsen berupa tambahan pungutan pajak berdasarkan presentase tertentu sebagai pengganti skema bagi hasil. Opsen pajak di terapkan pada pajak Minderal bulan Logam dan Batuan (MBLB) yang dipungut oleh pemerintah Propinsi serta Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendatraan Bermotor (BBNKB) yang dipungut oleh pemerintah Kab/Kota. Sementara itu, terhadap retribusi daerah dilakukan rasionalisasi dalam rangka efsiensi pelayanan publik dan mendukung iklim investasi serta kemudahan berusaha dengan  menjaga iklim berusaha dan tetap menjaga PAD.

Dalam rangka penguatan sistem perpajakan daerah maka dalam UU HKPD juga diatur tentang membangun kerja sama yang kuat antara daerah dan kementerian Keuangan agar daerah benar benar mampu meningkatkan sistem perpajakannya. Masih banyak daerah yang memiliki potensi besar di sektor pajak akan tetapi belum mampu untuk mengelola secara optimal. Agar potensi pajak daerah dapat dikelola secara optimal maka diperlukan pendampingan dan edukasi kepada daerah untuk meningkatkan sistem perpajakan sebagai implementasi UU HKPD.

Dengan di tetapkan UU HKPD maka pemda diharuskan untuk memyusun dan menerbitkan Peraturan Daerah baru tentang Pajak dan Retriusi daerah. Sebagaimana di amanatkan UU HKPD paling lambat sampai dengan tanggal 4 Januari 2024 Perda tentang Pajak dan Retrihusi Daerah baru telah di tetapkan. Hal ini menjadi agenda mendesak bagi daerah untuk menetapkan Perda tentang Pajak dan Retribusi daerah.

Peningkatan Kualitas Belanja Daerah

Selain Pajak daerah, salah satu pilar penting dan strategis dalam UU HKPD adalah peningkatan kualitas belanja daerah. Hal in cukup logis karena jika dilihat dari struktur belanja APBN dimana hampir sepertiga belanja dalam APBN di alokasikan dalam  Transfer ke Daerah (TKD). Pada APBN 2023 alokasi TKD  mencapai Rp. 814, 72 triliun dari total belanja negara sebesar Rp. 3.061 triliun. Alokasi TKD dialokasikann melalui Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, Dana Otonomi Khusus / Keistimewaan dan Dana Desa. Melalui UU HKPD penggunaan TKD  di tujukan untuk meningktkan efektifitas, efisiensi dan produktifitas sehinggan akan memberikan dampak positif bagi pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah.

Dalam dokumen Kerangka Ekonomi Makro Pokok pokok Kebijaksanaan Fiskal (KEM_PPKF) tahun 2024 menyebutkan  bahwa resiko fiskal daerah masih menjadi salah satu tantangan dalam pencapaian target pembangunnan. Dalam kaitan ini diasumsikan bahwa dalam belanja Daerah masih terdapat potensi resiko Potensi resiko tersebut adalah penggunaan belanja ABPD yang belum efisien, efektif  dan akuntabel dalam memenuhi kebutuhan  masyarakat di daerah. Dari data empiris diketahui sebahagian besar belanja daerah dalam APBD (60%) dialokasikan untuk belanja birokrasi yakni belanja pegawai dan belanja barang Jasa. Sedangkan belanja modal untuk infrastruktur dan pelayanan publik baru sekitar 20%. Hal ini menyebabkan belanja APBD belum mempunyai pengaruh signifikan dalam memberikan efek berganda bagi pertumbuhan ekonomi.

Peran TKD sangat krusial bagi kebangkitan perkonimian daerah. Selama dua dekade terakhir anggara TKD terus menlami peningkatan yang cukup signifikan. Pada tahun 2022 angggaran TKD mencapai Rp. 769,6 Triliun dan pada tahun 2023 ini alokasi anggaran TKD mencapai Rp. 814,7 Triliun. Namun di sisi lain, peningkatan TKD tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Diduga salah satu penyebeb belum terwujudnya kesejahteraan msyarakat di daerah adalah belanja daerah yang belum berkualitas.  Seharusnya penggunaan dana TKD dapat dioptimalkan untuk pembangunan melalui alokasi Belanja Modal. Belanja Modal merupakan instrumen belanja yang signifikan mendukung pemulihan ekonomi dan transformasi ekonomi  serta  mempunyai dampak berganda terhadap perekomian. Misalnya Alokasi belanja modal untuk program Padat karya akan akan dapat mendorong penciptaan lapangan kerja baru sehingga berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi riil. Sedangkan dalan jangka menengah dan panjang alokasi belanja modal yang tepat akan dapat mendorong pemerataan dan mengurangi ketimpangan antar daerah.

Selain itu pertumbuhan TKD setiap tahun juga tidak diikuti dengan serapan belanja yang optimal. Penyerapan belanja daerah biasanya baru meningkat pada triwulan 3 dan triwulan 4. Keterlambatan realisasi penyerapan belanja daerah  ini mengindikasikan masih banyak belanja daerah yang belum digunakan oleh daerah. Padahal belanja daerah tersebut berperan menjadi motor penggerak perekonomian seluruh indonesia

Dengan ditetapkannya UU No 1 tahun 2022 tentang HKPD antara lain diatur  tentang penyusunan anggaran belanja daerah dengan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu dan pengganggaran berbasis kinerja. Pengaturan belanja daerah ditujukan  untuk mengurangi ketimpangan serta mendorong perbaikan kualitas belanja daerah yang efektif dan efisien. Implementasi UU HKPD diharapkan akan menjadi solusi utama bagi daerah untk mengeksekusi belanja APBD secara responsif, optimal dan berdampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah

Untuk meningkatkan kualitas belanja daerah lebih produktif dalam UU HKPD diatur pengendalian belanja pegawai, penguatan belanja infrasruktur dan pelayanan publik serta Sisa Lebih Pembiayan (SILPA) berbasiskan kinerja.  Belanja pegawai yang dialokasikan dalam TKD dibatasi maksimal 30% dari belanja APBD. Belanja infrastrukur dan pelayanan publik wajib dialokasikan minimal 40% dari belanja  APBD.  Sedangan SILPA dapat diinvestasikan/digunakan untuk membentuk Dana Abadi Daerah. Untuk mengakselerasi pembangunan daerah pemda dapat memanfaatkan pembiyaan utang daerah yang terdiri dari pinjaman daerah, obligasi daerah, sukuk daerah dengan menerapkan prinsip kehati hatian dan kesinambungan fiskal daerah.

Pada intinya dalam UU HKPD pemerintah berkomitmen untuk melakukan rekomposisi dan penajaman belanja modal dengan memperhatikan keselarasan antar program dan prinsup belanja berkualitas , Dengan demikian diharapkan belanja daerah bisa lebih mengungkit pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Pada akhirnya dengan UU HKPD akan dapat menjadi solusi bagi peningkatan kualitas belanja daerah.

Sinergi Belanja Pusat dan Daerah

Salah startegi dalam mewujudakan peningkatan kualitas belanja daerah adalah dengan menciptakan sinergi antara pusat dan daerah. Belanja pusat dan dan daerah tidak bisa bejalan sendiri sendiri akan tetapi harus dilakukan kerjasama untuk meningkatkan harmonisasi dan sinergi kebijakan belanja Pusat dan daerah. Hal ini bertujuan untuk menghindari duplikasi dan overlapping dalam pengguanaan belanja sehingga belanja dapat diniklmati rakyat baik yang berasal dari pemerintah pusat maupun belanja yang berasala dari daerah.

Dalam UU HKPD juga di atur tentang sinergi kebijakan fiskal nasional melalui penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan daerah, penetapan batas maksimal defisit APBD dan pembiayaan utang daerah, pengendalian dalam kondisi darurat serta sinergi bagan akun standar. Selain itu kebijakan pembangunan daerah dan kebijakan APBD disinergikan dengan Renjana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Kerja Pemerintah, Kerangka ekonomi Makro dan Pokok pokok kebijakan fiskal, arahan prsiden dan peraturan yang terkait dengan kebijaka fiskal Nasional.Dengan impelemantasi UU HKPD diharapkan kesejahteraan masyarakat yang lebih merata dan inklusif dapat terwujud.

Sinergi dan harmonisasi antara belanja Pusat daerah di awali dengan Perencanaan. Dalam perencanaan maka akan di tentukan lokus antara belanja kementerian/Lembaga dan daerah  sehingga tidak terjadi tumpang tindih belanja pada satu lokus yang ada. Selain itu dalam meningkatkan kualitas pengelolaan TKD akan di terapkan earmarking pada sektor prioritas. Hal ini ditujukan untuk lebih meningkatkan kualitas belanja baik pusat maupun daerah. Disamping itu harmonisasi kebijakan kebijakan TKD di tujukan untuk meningkatkan efektifitas dan optimalisasi penggunaan TKD untuk mendukung pencapaian program prioritas nasional seperti mengatasi stunting, kemiskinan, inflasi dan investasi.

Dalam rangka mewujudkan sinergi belanja pusat daerah  maka saat ini petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis yang sebelumnya di tetapkan oleh kementerian terkait sekarang di integrasikan dalam Peraturan Presiden dan tersinkronisasikan sebelum tahun anggaran di mulai. Oleh karena itu tidak ada lagi alasan keterlambatan pencairan belanja yang di sebabkan belum turunya Petunuk Pelaksanaan dan Petunjuk Teknis. Oleh karna itu kebijakan desentralisasi fiskal dalam UU HKPD membawa optimisme dalam penerapan kebijakan TKD yang mensejajarkan belanja daerah yang sepertiga dari APBN agar bisa seiring sejalan, harmonis dan sinergis.

 

 

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

IKUTI KAMI

 

        

 

PENGADUAN

 

Search