Jl. Raya Koto Baru KM 5 Solok

Catatan Ringan Implementasi Kartu Kredit Pemerintah

Sesuai dengan amanah PMK 196/PMK/2018, implementasi penggunaan Kartu Kredit Pemerintah (KKP) di seluruh satker pengelola dana APBN efektif dilaksanakan sejak kurang lebih satu tahun yang lalu, tepatnya pada 1 Juli 2019. Sejak Gerakan Nasional Non Tunai (GNNT) pada tahun 2014 dicanangkan, sekarang sangatlah lazim transaksi yang dilakukan masyarakat tidak menggunakan uang tunai. Berbagai kartu yang diterbitkan perbankan banyak digunakan masyarakat untuk berbelanja, membayar toll dan lain sebagainya. Bahkan saat ini yang sedang menjadi trend adalah penggunaan dompet digital (e-wallet) yang dikeluarkan oleh beberapa vendor, mulai dari operator seluler, bank, hingga perusahaan fintech lainnya. Makin masifnya transaksi non tunai ini tentunya karena masyarakat merasa memperoleh keuntungan dalam penggunaannya. Fenomena ini tentunya menunjukan bahwa sekarang adalah saat yang tepat bagi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan, untuk semakin memperluas transaksi non tunai dalam hal pembayaran Belanja Pemerintah Pusat, salah satunya adalah penggunaan KKP yang sekaligus diharapkan dapat mengurangi idle cash.

Saat ini sebenarnya sebagian besar Belanja Pemerintah Pusat  telah dilakukan dengan transaksi non tunai. Pembayaran yang dilakukan satker kepada supplier penyedia barang dan jasa sebagian besar dilakukan dengan menggunakan SPM-LS (Surat Perintah Membayar Langsung). Tagihan yang diajukan supplier ditindak lanjuti satker dengan mengajukan SPM-LS kepada KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara), dan kemudian KPPN menerbitkan SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana). Penerbitan SP2D oleh KPPN ini secara online memerintahkan bank operasional untuk mentransfer atau memindahbukukan sejumlah dana sebagaimana tercantum dalam SP2D kepada rekening supplier penyedia barang dan jasa terkait. Selain itu, belanja melalui mekanisme UP (Uang Persediaan) pun sebenarnya dapat dilakukan dilakukan secara non tunai melalui pendebitan rekening bendahara dengan internet banking atau kartu debit (sesuai PMK No.:230/PMK.05/2016   tanggal   30 Desember 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 162/PMK.05/2013 tentang Kedudukan dan Tanggung Jawab Bendahara pada Satuan Kerja Pengelola APBN)

Belanja Pemerintah melalui mekanisme UP saat ini masih banyak dilakukan secara tunai. UP ini merupakan uang muka kerja yang diberikan BUN (Bendahara Umum Negara), dalam hal ini adalah KPPN (Kantor Pelayanan Perbendaharaan), kepada bendahara pengeluaran satker. UP digunakan untuk membiayai kegiatan sehari-hari operasional kantor yang tidak dapat dilakukan dengan pembayaran langsung. Pada mekanisme UP ini, pengeluaran dana dari kas Negara belum dihitung sebagai belanja Negara sampai dengan dana UP tersebut dipertanggungjawabkan. UP bersifat revolving, setelah bendahara mempertanggungjawabkan melalui mekanisme GUP (Ganti Uang Persediaan), maka KPPN akan mengganti dana tersebut sebesar yang dipertanggungjawabkan sehingga besaran dana pada rekening bendahara kembali seperti semula. Jadi walaupun belanja Negara melalui UP ini dapat juga dilakukan secara non tunai, pada dasarnya sebagian besar dananya merupakan idle cash, yang mengendap di rekening bendahara satker atau di brankas satker.

Idle cash pada UP secara nasional dalam 1 tahun diperkirakan mencapai antara 7 triliun sampai dengan 8 triliun. Dana UP yang cukup besar ini tersebar pada rekening-rekening bendahara satker, dan karenanya belum dapat secara optimal dimanfaatkan oleh Pemerintah untuk mendapatkan nilai tambah (ad value) melalui penempatan pada produk keuangan jangka pendek yang aman dan lebih menguntungkan. Selain itu, sebagaimana kita semua maklumi bahwa penerimaan negara yang dianggarkan pada APBN diperoleh secara bertahap sehingga mungkin saja terjadi mismatch antara dana yang tersedia pada Kas Negara dengan kewajiban keuangan negara yang harus dikeluarkan,  terutama yang bersifat mendesak. Apabila hal ini terjadi pemerintah tentu harus berusaha memenuhinya, dan mungkin saja terpaksa harus diperoleh dengan cost of fund yang tinggi. Pemanfaatan idle cash dapat juga digunakan untuk mengurangi cost of fund, misalnya digunakan untuk buy back SUN (Surat Utang Negara) dengan mempertimbangkan perbandingan antara BI rate dengan imbal hasil dari SUN tersebut.

 Pada implementasi penggunaan KKP sekarang ini, UP satker yang ada sekarang akan terbagi menjadi 2 yaitu UP Tunai sebesar 60% dan UP KKP sebesar 40%. UP KKP ini merupakan besaran limit Kartu Kredit yang dapat digunakan untuk belanja operasional kantor sehari-hari maupun untuk perjalanan dinas satker. Setelah digunakan, limit UP KKP akan kembali seperti semula dengan melakukan pertanggungjawaban melalui GUP KKP.  Besaran proporsi UP KKP inilah yang dapat menggambarkan terjadinya pengurangan idle cash dalam transaksi pembayaran belanja Negara melalui mekanisme UP. Belanja yang dilakukan dengan menggunakan KKP, sebagaimana kartu kredit pada umumnya, dananya ditalangi terlebih dahulu oleh bank pernerbit KKP. Saat ini penerbit KKP adalah bank anggota Himbara (Himpunan Bank Milik Negara). Berbeda dengan UP Tunai, pengeluaran dana dari Kas Negara terkait belanja negara yang dilakukan melalui  mekanisme UP KKP, hanya akan terjadi apabila UP KKP telah dipertanggungjawabkan. Efisiensi terjadi karena dana dari kas negara dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan

Penggunaan KKP oleh satker akan membuat transaksi yang dilakukan lebih fleksibel dan mudah karena jangkauan pemakaian kartu kredit yang luas dan dapat digunakan di seluruh merchant melalui mesin EDC (Electronic Data Capture). Pelaksana kegiatan tidak perlu harus menunggu uang sudah tersedia pada rekening bendahara pengeluaran untuk melaksanakan kegiatannya. Apabila sewaktu-waktu dibutuhkan, besaran limit KKP juga dapat ditingkatkan untuk sementara. Mekanismenya dilakukan oleh administrator KKP satker  dengan meminta bank penerbit untuk meningkatkan pagu KKP sementara.

Penggunaan KKP ini juga sangat aman, bahkan dapat meminimalisir potensi terjadinya fraud karena semua transaksi dapat di-trace, ditelusuri, di-tracking secara mudah dan terdokumentasi. Mitigasi untuk meminimalkan risiko dari sisi penyalahgunaannya telah dilakukan, diantaranya adalah adanya pembatasan limit kartu kredit. Saat ini limit kartu kredit untuk operasional sebesar Rp 50 juta dan untuk perjalanan dinas Rp 20 juta. Walaupun limit tersebut dapat ditingkatan untuk sementara waktu, tapi yang diberi hak untuk mengajukan permohonan ke bank penerbit kartu kredit adalah administrator KKP satker yang bertanggungjawab untuk memantau transaksi pemegang KKP (dengan sistem yang disediakan bank penerbit). Apabila ditemukan ketidakwajaran, administrator KKP satker dapat meminta bank untuk memblokir kartu kredit. Demikian juga dalam hal penetapan pegawai sebagai  pemegang KKP, pimpinan satker/KPA (Kuasa Pengguna Anggaran) tentunya harus sangat selektif. Hal lainnya, sebagaimana kartu kredit pada umumnya, data2 tertentu terkait KKP harus dijaga kerahasiaannya oleh pemegang KKP agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak diinginkan.

Dalam penggunaan KKP oleh satker ini dibebaskan dari berbagai biaya kecuali biaya materai. Biaya-biaya lain yang biasanya dikenakan oleh bank penerbit, seperti biaya keanggotaan (membership fee), biaya pembayaran tagihan melalui Teller, ATM, dan e-banking, biaya permintaan kenaikan batasan belanja (limit), biaya penggantian kartu kredit karena hilang/dicuri atau rusak, biaya penggantian PIN, biaya copy Billing Statement, biaya pencetakan tambahan lembar tagihan, biaya keterlambatan pembayaran, biaya bunga atas tunggakan/tagihan yang terlambat dibayarkan, dan biaya penggunaan fasilitas airport lounge, tidak dikenakan kepada pemegang KKP. Walaupun bank penerbit tidak memperoleh pendapatan dari biaya2 tersebut diatas, tapi karena besarnya potensi belanja pemerintah melalui KKP diharapkan dapat meningkatkan cash flow mereka. Data yang diperoleh dari lalu-lintas transaksi penggunaan KKP juga dapat menjadi informasi yang sangat berharga guna meningkatkan market share bank.

Semoga implementasi penggunaan KKP dalam belanja Negara dapat berjalan sukses dan sesuai yang diharapkan. Setiap hal yang baru membutuhkan penyesuaian, dan untuk menjadi lebih baik membutuhkan proses.

#KPPNSolokRANCAK
#DJPbKawalAPBN
#MengawalAPBNIndonesiaMaju

Oleh : Budi Utomo *

*) Kepala KPPN Solok

Catatan :
Artikel di atas merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili pandangan instansi dimana Penulis bekerja.

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

© Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan Provinsi Sumatera Barat
Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara Solok

Jl. Raya Koto Baru No.km.5, Koto Baru, Kec. Kubung, Kab. Solok, Sumatera Barat 27362
Tel: 0755-21632 Fax: 0755-20501

 

IKUTI KAMI

 

MOTO LAYANAN
 

 


       

 

Search