Digitalisasi Pembelanjaan Pemerintah Dukung Upaya Cegah Korupsi

Oleh: Royikan, Kepala KPPN Ternate

Pengelolaan Keuangan Negara khususnya dalam mekanisme pembelanjaan dituntut untuk makin transparan, akuntabel, dan dapat dengan mudah dipertanggungjawabkan. Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Perbendaharaan telah merilis aplikasi dan bekerja sama dengan pihak ketiga agar pembelanjaan pemerintah dapat dilakukan secara digital seperti melalui penggunaan Kartu Kredit Pemerintah (KKP), platform marketplace Digipay, dan pembayaran secara nontunai atau yang lebih sering disebut dengan Cash Management System (CMS).

Kartu Kredit Pemerintah (KKP)

Dimulai pada tahun 2018, sejak diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 196/PMK.05/2018, Kementerian Keuangan dalam hal ini Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) telah memperkenalkan Kartu Kredit Pemerintah (KKP). KKP sama halnya dengan kartu kredit pada umumnya yang merupakan alat bayar sah yang dapat dipergunakan dalam pembayaran, termasuk belanja atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). KKP memberikan kemudahan dalam bertransaksi seperti tidak perlunya menyiapkan uang tunai, meningkatnya keamanan dalam bertransaksi, mengurangi potensi kecurangan atau kehilangan bukti bayar, memperluas jangkauan belanja instansi pemerintah, dan membuka kesempatan yang lebih luas bagi para pelaku ekonomi dan UMKM untuk mengembangkan usahanya.

Penggunaan Kartu Kredit Pemerintah sangat membantu Kementerian Keuangan dalam penyediaan uang tunai bagi bendahara satker untuk pembelanjaannya. Dengan KKP, bendahara dapat berbelanja terlebih dahulu kemudian mengajukan reimbursement kepada Kementerian Keuangan. KKP juga memberikan tingkat keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan penggunaan uang tunai. Setiap belanja, bendahara satker cukup menggesek kartu atau menginput PIN ke dalam media daring transaksinya. Namun demikian, tuntutan kehati-hatian dalam mengamankan kartu dan mengingat-ingat PIN wajib dijaga oleh para penggunanya. 

KKP juga mengurangi potensi kecurangan. Dengan KKP jejak digital atas transaksi bisa dilacak dengan mudah dan bukti pembayaran bisa dengan mudah didapatkan kembali cukup dengan mengunduhnya. Bagi instansi pemerintah, KKP juga akan memperluas jangkauan belanja instansinya. Jika sebelum menggunakan KKP hanya bisa berbelanja pada toko-toko lokal, dengan KKP maka instansi pemerintah bisa berbelanja bukan hanya secara nasional, melainkan hingga ke luar negeri. Bahkan, penggunaan KKP juga memberikan peluang yang lebih luas bagi para pelaku ekonomi dan UMKM untuk menjual produk-produknya, khususnya bagi instansi-instansi pemerintah.

Implementasi KKP saat ini masih cukup banyak mengalami kendala seperti terbatasnya toko/ merchant yang menyediakan alat gesek atau yang sering disebut dengan mesin Electronic Data Capture (EDC). Terbatasnya mesin EDC bisa dipahami karena penggunaan EDC dipungut biaya oleh pihak perbankan. Biaya penggunaan EDC bisa saja dibebankan ke dalam harga barang/jasa, tetapi ini berpotensi menurunkan daya saing toko dan bisa berakibat berkurangnya pelanggan. Kendala lainnya adalah kurangnya kesadaran instansi pemerintah dalam penggunaan KKP. Instansi pemerintah masih merasa lebih nyaman menggunakan uang tunai karena sudah terbiasa. Kendala ini menyebabkan transaksi penggunaan KKP jadi kurang berkembang.

Mulai tahun 2022, untuk menjawab atas kendala-kendala tersebut, Kementerian Keuangan dalam hal ini DJPb memperkenalkan KKP Domestik. KKP Domestik dapat digunakan untuk bertransaksi tidak hanya dengan menggunakan mesin EDC, tetapi juga dengan cara memindai Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS). KKP Domestik mampu menjawab permasalahan keterbatasan EDC. 

Namun demikian, masih ada kendala lain yaitu keengganan instansi pemerintah dalam menggunakan KKP. Kendala ini menjadi tantangan tersendiri bagi Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). KPPN sebagai salah satu instansi vertikal Kementerian Keuangan yang mendapatkan penugasan untuk menyukseskan implementasi KKP harus lebih masif dalam memberikan sosialisasi, edukasi, dan persuasi ke satker-satker pemerintah. Persuasi positif yang dapat disampaikan kepada para pengguna KKP khususnya bendahara pemerintah adalah nilai dan waktu revolving KKP tidak dibatasi, tidak dikenakan bunga dan denda, serta tidak berkewajiban memungut pajak tertentu.

Revolving UP-KKP, atau lebih sering disebut sebagai proses pertanggungjawaban, tidak dibatasi dari segi nilai dan waktu seperti uang persediaan reguler-tunai. Revolving UP tunai bisa dilakukan setelah minimal membelanjakan 50% UP-nya dan paling lambat 1 bulan sejak terbitnya Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) dari KPPN. Revolving UP-KKP bisa dilakukan berapa pun nilainya dan tidak terikat batas waktu. Bahkan sesuai dengan surat perjanjian kerja sama induk antara kantor pusat DJPb dan kantor pusat masing-masing bank penerbit KKP, keterlambatan revolving UP-KKP tidak dikenai denda dan/atau bunga. Selanjutnya sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 231/PMK.03/2019 sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 59/PMK.03/2022, bendahara instansi pemerintah tidak diwajibkan memungut PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 atas belanja pemerintah yang menggunakan KKP.

Keberhasilan implementasi KKP sangat tergantung pada para bendahara pemerintah dalam mengeksekusi belanjanya. Kemudahan dan keringanan sudah banyak diberikan oleh pemerintah, KPPN pun telah banyak memberikan edukasi dan pendampingan. Harapannya, setelah para bendahara pemerintah menggunakan KKP-nya, belanja negara menjadi semakin mudah, transparan, akuntabel, mudah dipertanggungjawabkan, serta meringankan beban pemerintah dalam penyediaan dana tunai.

Platform Marketplace Digipay

Kanal berikutnya dalam mekanisme pembelanjaan pemerintah adalah penggunaan Platform Marketplace Digipay. Digipay adalah marketplace versi pemerintah yang merupakan sistem yang menyediakan layanan daftar Penyedia Barang/Jasa, pemesanan barang/jasa, pembayaran, dan pelaporan secara elektronik dalam satu sistem yang terintegrasi. Digipay diperkenalkan oleh pemerintah pada tahun 2019 yaitu sejak diterbitkannya Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-20/PB/2019. 

Digipay dirancang sebagai platform marketplace pengadaan barang dan jasa pemerintah secara elektronik atas beban uang persediaan yang dikelola oleh bendahara satker. Digipay dibangun dengan mengakomodasi berbagai ketentuan dalam mekanisme pengadaan barang/jasa pemerintah seperti mekanisme wajibnya barang/jasa diterima terlebih dahulu sebelum dilakukan pembayaran, mekanisme saling uji antar para pengguna, dan kewajiban pemungutan pajak oleh bendahara pemerintah.

Digipay adalah jawaban atas eksklusivitas mekanisme pengadaan barang/jasa secara elektronik yang mengizinkan pembayaran dilakukan terlebih dahulu sebelum barang/jasa diterima. Sampai dengan saat ini, mekanisme ini memang masih diperkenankan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 145/PMK.05/2017. Mekanisme ini menjadi eksklusif karena tidak sesuai dengan asas umum dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. Ke depan, dengan semakin settled-nya Digipay, pengadaan barang/jasa pemerintah termasuk secara elektronik dapat mengedepankan inklusivitas yaitu barang/jasa diterima terlebih dahulu, kemudian dilakukan pembayaran.

  Mekanisme saling uji antarpengelola keuangan juga telah diakomodasi dalam Digipay. Pada satuan kerja harus ada user admin, pemesan, pejabat pembuat komitmen, pejabat pengadaan, penerima barang/jasa, dan bendahara pengeluaran. Sedangkan pada sisi vendor harus ada admin, staf, dan kurir. Semua user ini memang harus ada sebagai bagian dari upaya menjaga transparansi dan akuntabilitas dalam mekanisme pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Digipay juga telah mengakomodasi proses perhitungan dan pembayaran pajak secara otomatis. Sistem Digipay akan menghitung berapa tagihan yang harus dibayarkan kepada vendor dan berapa kewajiban perpajakan yang harus disetor kepada negara seperti PPN, PPnBM, dan/atau PPh. 

Pada awalnya, Digipay dibangun bersama-sama dengan tiga bank pemerintah yaitu BRI, Mandiri, dan BNI. Digipay yang dibangun berbasis bank ini memiliki kelemahan mendasar yaitu satker dan vendor hanya bisa bertransaksi menggunakan rekening di bank yang sama. Akibatnya, pertumbuhan transaksinya mengalami stagnasi karena terkotak-kotak pada bank yang sama. Menjawab kelemahan mendasar ini, pada bulan Maret 2023, berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-7/PB/2022, pemerintah memperkenalkan Digipay versi terbaru dengan mengintegrasikan Digipay dalam satu platform atau disebut dengan Digipay-Satu. Integrasi ini berdampak pada peningkatan transaksi, tetapi masih belum sesuai dengan target yang diharapkan.

Kendala lain yang cukup berdampak atas lambatnya pertumbuhan transaksi dalam Digipay adalah timbulnya celah keamanan penggunaan KKP dalam lalu lintas pembayarannya. Beberapa pengguna KKP melaporkan bahwa mereka mendapatkan billing/tagihan yang bukan merupakan transaksinya. Pemerintah akhirnya menghentikan sementara penggunaan KKP pada Digipay sembari melakukan mitigasi dan investigasi sekaligus memperbaiki keamanan sistem. Saat ini, pemerintah telah menguji coba kembali penggunaan KKP, tetapi masih dalam lingkup terbatas pada satker-satker lingkup DJPb.

Kendala lainnya yang memengaruhi lambatnya pertumbuhan transaksi Digipay adalah banyaknya user yang harus disiapkan oleh satker dan vendor. Satker harus menyiapkan setidaknya 6 user dan vendor harus menyediakan 3 user. Satker/vendor yang memiliki jumlah sumber daya manusia (SDM) besar tentu tidak mengalami kendala, tetapi bagi satker/vendor kecil akan menjadi kendala tersendiri. Digipay-Satu telah menjawab kelemahan ini yaitu dengan mengurangi user cukup sebagaimana yang diwajibkan dalam peraturan pengadaan barang dan jasa pemerintah yaitu PPK, PPBJ, dan bendahara, sedangkan di sisi vendor cukup ada satu user yaitu staf yang bisa merangkap user admin dan kurir.

Jumlah minimal 3 user di satker ini tidak terlepas dari pemenuhan mekanisme saling uji antarpara pengelola keuangan. User admin, pemesan, dan penerima barang/jasa bisa dirangkap oleh user lainnya. Pejabat komitmen melakukan pengujian atas keabsahan rencana dan pembelanjaannya, pejabat pengadaan melakukan proses pengadaan termasuk negosiasinya, dan bendahara pengeluaran menguji kebenaran pembebanan mata anggaran sampai membayarnya. Mekanisme minimal ini tetap harus ada dan sudah diakomodasi dalam Digipay-Satu sebagai bagian dari upaya menjaga transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

Penggunaan Digipay dalam perjalanannya memang banyak mengalami kendala, tetapi atas kendala tersebut telah dilakukan mitigasi dan diberikan solusi oleh pemerintah. Tugas selanjutnya ada pada pengguna Digipay untuk serius mendukung program digitalisasi pemerintah. Tumbuh kembang transaksi Digipay sangat tergantung dari eksekusi para pengguna di level satker. Jika transaksi menggunakan Digipay terus tumbuh, hal ini diyakini akan memberikan dampak kemudahan dalam bertransaksi sekaligus mendorong transparansi, akuntabilitas, dan kemudahan dalam pelaporan. Tentunya hal ini akan memberikan dampak nyata bagi para vendor, khususnya para pelaku ekonomi dan UMKM di Indonesia. 

Cash Management System (CMS)

Kanal ketiga dalam digitalisasi pembelanjaan pemerintah adalah cash management system (CMS) atau yang lebih dikenal dengan pembayaran nontunai. Pemerintah telah menggandeng beberapa bank dalam pelaksanaan CMS, baik bank pemerintah ataupun swasta. Tujuan utama dari CMS ini adalah membudayakan bendahara pemerintah untuk bertransaksi secara nontunai. Manfaatnya, bendahara tidak perlu harus antre menarik uang tunai di bank, tetapi bisa langsung bertransaksi dari meja kerja masing-masing.

CMS diperkenalkan oleh Pemerintah sejak tahun 2019 sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 183/PMK.05/2019 tentang Pengelolaan Rekening Pengeluaran Milik Kementerian Negara/Lembaga. Peraturan ini mengatur bahwa seluruh rekening pengeluaran yang dikelola oleh bendahara pengeluaran wajib berbentuk virtual account. Perubahan ini sebagai dasar perubahan status rekening dari konvensional menjadi digital. Artinya, setiap transaksi tidak lagi harus menggunakan cek giro, tetapi bisa dilakukan secara nontunai. Pembayaran secara nontunai bisa dilakukan untuk pembayaran pajak, tagihan langganan daya dan jasa, pembayaran honorarium, perjalanan dinas, serta pembayaran tagihan kepada vendor/toko sepanjang memiliki rekening.

Transaksi menggunakan CMS akan meringankan beban bendahara dalam bertransaksi. Dalam membayar tagihan atas beban negara, bendahara tidak harus datang ke bank untuk mengantre dan mengambil uang, tetapi cukup dari meja kerja masing-masing. Bendahara akan terhindar dari kerepotan antre di bank, kesalahan hitung uang di teller, kedapatan uang rusak, kesulitan uang kecil, dan bahaya kejahatan ketika membawa uang tunai.

Salah satu kendala dalam pelaksanaan CMS ini adalah keengganan para bendahara karena dipandang prosesnya cukup rumit, yaitu harus melibatkan kepala satker dalam setiap transaksinya. Mekanisme ini tidak bisa dihindari karena transaksi pengeluaran uang negara dari rekening bendahara harus seizin kepala satker. Mekanisme ini merupakan mekanisme saling uji agar bendahara tidak secara sepihak mengeluarkan uang negara tanpa persetujuan atasannya. Kendala lainnya adalah adanya biaya layanan perbankan atas transaksi antar bank. Jika banknya sama tentu tanpa ada biaya, sedangkan jika beda bank biayanya bisa dibebankan kepada penerima manfaat. Jika memang tidak bisa maka boleh dibebankan sebagai biaya layanan perbankan pada mata anggaran keperluan sehari-hari perkantoran.

Suksesnya penggunaan kanal CMS sangat tergantung dari tingkat kesadaran dan minat bendahara pemerintah. Pendaftaran user ke bank perlu perjuangan, karena proses registrasi yang cukup panjang dari sejak pengisian formulir hingga aktivasi user bisa memakan waktu 2 hingga 3 bulan. Jika terjadi pergantian bendahara atau pejabat, proses pendaftarannya pun harus diulang dan perlu proses panjang lagi. Penggunaan CMS ini tidak bisa dihindarkan. Di samping menjadi kewajiban bagi para pemegang rekening pemerintah, juga penggunanya akan mendapatkan manfaat besar seperti tidak perlu menyimpan uang tunai dalam jumlah besar, berkurang kekhawatiran atas tindak kejahatan, tidak perlu antre di bank, tidak akan kesulitan mendapatkan uang kecil, dan memudahkan dalam menyimpan data transaksi dan pelaporannya. 

Pencegahan Fraud dan Korupsi

Pemerintah telah mengupayakan berbagai kanal digitalisasi pembelanjaan pemerintah mulai dari KKP, platform marketplace Digipay-Satu, dan CMS. Kementerian Keuangan dalam hal ini KPPN telah menjalankan tugasnya dalam menyukseskan implementasi ketiga kanal tersebut dengan memberikan edukasi, sosialisasi, dan pendampingan kepada satker pemerintah. Suksesnya penggunaan tiga kanal tersebut memerlukan dukungan penuh dari para pelaku seperti bendahara pengeluaran, pejabat pembuat komitmen, pejabat pengadaan, pengelola keuangan lainnya, vendor, pelaku bisnis, dan para pelaku UMKM. Dari sisi teknis, suksesnya penggunaan digitalisasi pembelanjaan pemerintah akan makin mempermudah instansi pemerintah dalam perencanaan, penggunaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan. Dari sisi kebijakan, pemanfaatan teknologi terkini dalam pengelolaan keuangan negara juga dapat mendukung pemerintah dalam upaya-upaya mencegah tindakan fraud dan koruptif dari para pengelola keuangan negara.

 

Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi.

Copyright ©2024 ASEAN Treasury Forum - All Rights Reserved By DJPb.



Search