ODADING Seri Keuangan Digital Part II: Mengenal Lebih Dekat Central Bank Digital Currency (CBDC)
Jakarta, 14 Februari 2022
Merupakan kelanjutan dari pembahasan Odading sebelumnya. Jika Part I berbicara tentang seluk beluk cryptocurrency, non-fungible tokens (NFT) dan metaverse maka pada Part II ini para pembaca akan diajak mengenal lebih dekat terkait CBDC alias Central Bank Digital Currency.
Odading yang diselenggarakan secara daring melalui Zoom Meeting pada hari Kamis tanggal 27 Januari 2022 mulai pukul 13.30 s.d. 16.30 WIB ini dibuka oleh Bapak Noor Faisal Achmad, Direktur Pengelolaan Kas Negara, dan menghadirkan dua orang narasumber yaitu Bapak Dedy Hermawan dan M. Faisal Zulmi.
Central Bank Digital Currency (CDBC) adalah uang digital yang diterbitkan dan peredarannya dikontrol oleh bank sentral, dan digunakan sebagai alat pembayaran yang sah untuk menggantikan uang kartal. CBDC akan bertindak sebagai representasi digital dari mata uang suatu negara. CBDC sudah memenuhi 3 (tiga) fungsi dasar uang, yaitu sebagai alat penyimpan nilai (store of value), alat pertukaran/pembayaran (medium of exchange) dan alat pengukur nilai barang dan jasa (unit of account).
Apa bedanya CDBC ini dengan cryptocurrency? CDBC menggunakan private blockchain, identitas pengguna CDBC terikat dengan akun bank miliknya, berfungsi sebagai alat pembayaran seperti biasa dan Bank Sentral dapat mengatur jumlah pasokan dan jaringannya. Sedangkan pada cryptocurrency, menggunakan public blockchain, dapat menggunakan identitas anonim, bertujuan spekulasi dan sistem pembayaran tergantung regulasi di tiap negara serta otoritas yang mengaturnya adalah pasar jaringan kripto tersebut.
Penerapan CDBC berdampak pada sistem pembayaran yang lebih cepat, efektif dan efisien. Bank sentral dapat memantau supply uang secara efektif, memudahkan penelusuran transaksi dan memangkas biaya perbankan. Karena keunggulan yang ditawarkan, banyak negara yang tertarik mengembangkan CDBC dan meningkat dua kali lipat selama pandemi. Saat ini terdapat 9 (sembilan) negara yang telah menerapkan CDBC secara penuh yaitu Nigeria, Bahama dan 7 negara di Kepulauan Karibia.Adapun di negara-negara seperti Rusia, Amerika Serikat, Singapura dan China yang masih dalam tahap kajian/piloting memiliki tujuan dan model CDBC yang berbeda-beda.
Apa kabar perkembangan CBDC di Indonesia? Bank Indonesia melihat dari sisi moneter tidak akan ada perbedaan dengan kondisi sistem pembayaran saat ini. Jika CBDC telah diterapkan di seluruh Bank sentral di dunia, akan semakin memudahkan transformasi digital dari sisi masyarakat, sedangkan dari sisi Bank Sentral pengelolaannya akan lebih mudah karena secara terdesentralisasi. Namun hingga saat ini Bank Indonesia masih terus mengkaji dan melakukan asesmen terhadap potensi penerapan CBDC di Indonesia.
Bagaimana dampak penerapan CBDC pada sistem pembayaran Pemerintah? Tentunya akan berdampak pada core system (SPAN, SAKTI dan MPN) yang dimiliki DJPb saat ini dan perlu mempertimbangkan pola distribusi dana, apakah tetap menggunakan lembaga perantara seperti bank atau didistribusikan secara langsung. Selain itu juga berdampak pada evaluasi kembali terkait biaya, MoU dengan perbankan dan pembuatan rekening dedicated untuk setelmen.
Jika CBDC diterapkan di Indonesia, dipastikan akan menjadi kompetitor e-wallet lainnya seperti OVO, DANA dan Gopay. Penerapan CBDC di Indonesia pun lebih cocok menggunakan mekanisme hybrid dan melakukan pembatasan jumlah nominal e-wallet sehingga tetap menajaga eksistensi bank konvensional. Jika dibandingkan dengan e-money saat ini, CBDC lebih aman mengingat berbasis blockchain dan dapat dilacak karena melekat pada akun perorangan. Namun perlu diperhatikan juga terkait penyesuaian yang perlu dilakukan di masyarakat, proses konversi mata uang digital negara lain dan pihak yang berwenang melakukan penerbitan e-wallet.
Salah satu implementasi CBDC adalah e-CNY (Digital Yuan) yang dikeluarkan oleh PBOC (Bank Sentral China) dan dioperasikan oleh operator yang berwenang dan mengadopsi model manajemen terpusat dan sistem operasional dua tingkat. e-CNY merupakan substitusi utama dari kas dalam peredaran (M0) dan akan berdampingan dengan fisik RMB dan mengutamakan untuk melayani permintaan pembayaran ritel domestik.
Karakteristik yang dimiliki e-CNY antara lain kredit legal tanpa batas, penggabungan akun yang dinamis, anonimitas yang dapat dikontrol dan tanpa bunga serta biaya pertukaran. Peredaran e-CNY sendiri dilakukan menggunakan proses dua tahap yang mentransfer e-CNY dari PBOC ke bank komersial. Kemudian bank akan mendistribusikan mata uang langsung ke konsumen. Proses transaksi oleh user pun dapat dilakukan secara online dan offline. Selanjutnya, e-CNY juga membuat batasan-batasan transaksi kedalam 4 (empat) jenis e-wallet sebagai berikut:
- Jenis dompet pertama adalah maksimum RMB50.000 per pembayaran, batas harian RMB100,000, dan batas tahunan RMB500,000.
- Jenis dompet kedua adalah maksimum RMB5.000 per pembayaran, batas harian RMB10.000, dan batas tahunan RMB300.000.
- Jenis dompet ketiga adalah maksimum RMB2.000 per pembayaran, batas harian RMB2.000, dan batas tahunan RMB50.000.
- Jenis dompet keempat adalah maksimum RMB500 per pembayaran, batas harian RMB1.000, dan batas tahunan RMB10.000.
Pada tanggal 23 Oktober 2020, PBOC mengeluarkan rancangan undang-undang yang secara hukum akan mengakui mata uang digital bank sentral China (CBDC) dan menandai dimulainya konsultasi publik tentang undang-undang yang diusulkan dan desain sistem e-CNY yang dapat mengurangi dampak negatifnya terutama pada implikasi kebijakan moneter, stabilisasi keuangan.
Selengkapnya, para pembaca dapat mempelajari terkait CBDC dan contoh penerapannya di Negara China berupa e-CNY (Digital Yuan) melalui tautan berikut ini: Central Bank Digital Currency.
(NFW/KAW)