Oleh: Rizqi Febrian Pratama (Kanwil DJPb Provinsi Papua)
Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Tercapainya hak warga negara dalam mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan dapat menjadikan tercapainya kehidupan yang sejahtera lahir dan batin.
Stunting merupakan permasalahan penting dalam sektor kesehatan yang dapat berdampak negatif dalam jangka panjang. Salah satu permasalahan utama yang terjadi di wilayah Papua adalah tingginya tingkat prevalensi stunting.
Hasmi (2022) mengungkapkan bahwa “Stunting is a public health issue linked to an increased risk of sickness, mortality, and the suppression of both motor and brain growth. Stunting is caused by growth stalling and insufficient catch-up growth, indicating an inability to reach optimum growth”. Tingginya tingkat prevalensi stunting tidak dapat dianggap sebagai hal yang biasa. Dewey & Begum (2011) berpendapat bahwa “Stunting is a risk factor for diminished survival, childhood and adult health, learning capacity and productivity”. Stunting dapat menjadi masalah besar di kemudian hari jika tidak diantisipasi dengan cepat dan tepat.
Pada tahun 2022, tingkat prevalensi stunting di wilayah Papua sebesar 34,6 persen atau meningkat 5,1 persen secara yoy dengan Kabupaten Asmat sebagai daerah tingkat prevalensi stunting tertinggi di wilayah Papua dan Kabupaten Deiyai sebagai daerah tingkat prevalensi stunting terendah di wilayah Papua. Hal ini justru berbanding terbalik dengan tingkat prevalensi stunting secara nasional yang pada tahun 2022 sebesar 21,6 persen atau menurun sebesar 2,8 persen secara yoy. Tren prevalensi stunting di Indonesia terus mengalami penurunan dalam sepuluh tahun terakhir, tetapi hal tersebut berbanding terbalik dengan tren prevalensi stunting di wilayah Papua yang justru meningkat setelah mengalami penurunan dalam beberapa tahun. Selama ini, beberapa faktor kuat sebagai pemicu stunting antara lain terbatasnya fasilitas kesehatan (posyandu, rumah sakit bersalin), terbatasnya pendidikan ibu hamil dan menyusui, dan masih terbatasnya pangan sehat untuk ibu dan anak seperti susu, daging, buah, telur, dan Makanan Pendamping Air Susu Ibu (MPASI).
Provinsi Papua merupakan provinsi di Pulau Papua yang diberikan kewenangan otonomi khusus dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Provinsi Papua telah mengalami pemekaran wilayah melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Selatan, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Tengah, dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2022 tentang Pembentukan Provinsi Papua Pegunungan. Adanya pemekaran wilayah tersebut bertujuan untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat khususnya Orang Asli Papua (OAP). Provinsi hasil pemekaran wilayah termasuk kabupaten di lingkupnya tetap diberikan kewenangan menjalankan Otonomi Khusus sesuai peraturan perundang-undangan.
Dalam menjalankan otonomi khusus Papua sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dan Peraturan Pemerintah Nomor 107 Tahun 202l tentang Penerimaan, Pengelolaan, Pengawasan, dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan dalam rangka Pelaksanaan Otonomi Khusus Provinsi Papua, dibentuk Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua (RIPPP) yang dituangkan dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2023 Tentang Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua Tahun 2022-2047. Dalam RIPPP, dijabarkan tiga program utama percepatan pembangunan di wilayah Papua yaitu Papua Sehat, Papua Cerdas, dan Papua Produktif. Secara teknokratik, RIPPP dijabarkan dalam tahapan Rencana Aksi Percepatan Pembangunan Papua yang waktu pelaksanaannya menyesuaikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Dalam mencapai kehidupan yang sehat bagi seluruh masyarakat Papua, sebagaimana tertuang dalam RIPPP, tingkat prevalensi stunting di wilayah Papua ditargetkan pada tahun 2041 berada di bawah 10% yang dicapai secara bertahap. Target tersebut dicapai melalui berbagai strategi antara lain meningkatkan upaya pelayanan kesehatan masyarakat, meningkatkan akses dan kualitas pelayanan kesehatan, dan membudayakan perilaku hidup sehat dan tata kelola pelayanan kesehatan. Dalam mencapai target yang telah disusun, perlu sinergi yang kuat dari berbagai pihak, terutama terkait pendanaan. Pendanaan dalam pelaksanaan RIPPP tersebut bersumber dari Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) dan Dana Tambahan Infrastruktur (DTI) serta sumber pendanaan di luar penerimaan provinsi dan kabupaten/kota dalam rangka otonomi khusus Provinsi Papua seperti belanja Kementerian/Lembaga (K/L) dan Transfer ke Daerah (TKD).
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran untuk penurunan prevalensi stunting, baik melalui mekanisme belanja K/L, maupun TKD. Anggaran tersebut meningkat dari Rp25,4 triliun pada tahun 2019 menjadi Rp32,95 triliun pada tahun 2022. Selanjutnya pada tahun 2023, Pemerintah mengalokasikan Rp57,6 triliun yang diharapkan dapat mengakselerasi pencapaian target pada tahun 2024. Di wilayah Kanwil DJPb Provinsi Papua, belanja APBN fungsi kesehatan mengalami tren peningkatan alokasi dalam 3 tahun terakhir. Sampai dengan September 2023, belanja APBN fungsi kesehatan (di luar program dukungan manajemen) wilayah Kanwil DJPb Provinsi Papua telah terealisasi sebesar Rp61,98 miliar atau 53,89% dari pagu sebesar Rp115,019 miliar.
Tingginya tingkat prevalensi stunting erat kaitannya dengan kemiskinan dan cenderung kerap terjadi di wilayah perdesaan. TKD melalui Dana Desa menjadi instrumen fiskal yang dapat menjangkau hingga wilayah perdesaan sehingga dapat menjadi instrumen untuk percepatan penurunan prevalensi stunting. Dana Desa yang disalurkan langsung dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Desa menjadi instrumen penanganan stunting mulai dari lingkup terkecil. Beberapa kegiatan terkait penanganan stunting di wilayah Desa telah dilaksanakan melalui Program Pelaksanaan Pembangunan Desa yang sumber anggarannya berasal dari Dana Desa. Selain itu, pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) juga difokuskan dalam penanganan stunting. Sampai dengan September 2023, penanganan stunting melalui Dana Desa lingkup Kanwil DJPb Provinsi Papua telah terserap sebesar Rp645,29 juta atau 2,95% dari penyaluran sebesar Rp21,875 miliar sedangkan BLT Desa sudah tersalurkan sebesar Rp543,77 miliar atau 51,16% dari pagu sebesar Rp1.062,77 miliar.
Dalam lingkup daerah, Pemerintah Daerah provinsi/kabupaten/kota juga mendapatkan dukungan anggaran dalam penanganan stunting melalui TKD antara lain Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik bidang Kesehatan dan KB, Bantuan Operasional Kesehatan, Bantuan Operasional Puskesmas, Bantuan Operasional Keluarga Berencana, Bantuan Operasional Penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini, Dana Alokasi Umum Bidang Pendidikan dan Bidang Kesehatan, Insentif Fiskal, serta Dana Otonomi Khusus Yang Ditentukan Penggunaannya. Melalui berbagai jenis TKD di atas, Pemerintah Daerah dapat melakukan belanja daerah yang dapat berdampak secara langsung (pemberian makanan tambahan, sosialisasi pencegahan stunting, pembangunan posyandu terpadu) maupun tidak langsung (pembangunan infrastruktur pendukung seperti jalan, sanitasi, dan irigasi) terhadap penurunan tingkat prevalansi stunting.
Permasalahan stunting telah mendapat perhatian khusus oleh Pemerintah. Perlu percepatan penanganan dalam merespons permasalahan tingginya tingkat prevalansi stunting di wilayah Papua. RIPPP menjadi grand design dalam akselerasi pembangunan di wilayah Papua yang salah satu fokus utamanya adalah penanganan masalah kesehatan, termasuk penurunan tingkat prevalansi stunting. Tercapainya “Papua Sehat” sebagai salah satu sasaran utama dalam RIPPP membutuhkan sinergi yang kuat dan solid antar-stakeholders, terutama K/L dan Pemerintah Daerah. Dukungan fiskal yang telah dialokasikan untuk K/L maupun Pemerintah Daerah diharapkan dapat menekan tingkat prevalansi stunting di wilayah Papua sebagaimana telah ditargetkan dalam RIPPP demi tercapainya kehidupan yang sehat bagi seluruh masyarakat Papua, khususnya bagi OAP.
Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi