Isteriku bekerja pada suatu Kementerian dan ditempatkan di Lubuk Sikaping. Sedangkan Aku bekerja di Direktorat Jenderal Anggaran (saat ini Direktorat Jenderal Perbendaharaan) penempatan Kota Padang. Jarak membuat kehidupan pernikahan kami tidak normal. Berkumpul hanya diakhir pekan, kadang di Lubuk Sikaping dan sering juga di tempat kerjaku. Lambat laun, kondisi tersebut memaksa kami untuk membuat kesepakatan. Setelah, rencana memutasikan istri gagal dan skenario melicinkannya dibatalkan, rembuk panjang kami membicarakan solusi terbaik bagi kehidupan rumah tangga kedepan. Apakah perlu mempertahankan kondisi LDM ini. Atau solusi terpahit yakni salah satu dari kami harus mengalah, resign.
Belum lagi tuntas permohonan pindah tugasnya membersamai ku di Padang, Aku justru dimutasikan ke KPPN Sijunjung. Melihat situasi tersebut, setelah berpikir panjang dengan berbagai pertimbangan. Kembali kekaguman ku padanya membuncah.
”Adek ikut Abang saja,” lirihnya
”Maksudnya? Adek rela menanggalkan status PNS yang semua orang menginginkannya?,” kejar ku
”Bismillah Bang. Ini adalah keputusan terbaik untuk rumah tangga kita,” ucapnya bijak.
Tantangan berikutnya, menghadapi keluarga isteri yang tentu akan memiliki perspektif lain. Namun, setelah di jelaskan secara baik, keluarga akhirnya dapat menerima keputusan tersebut. ”Alhamdulillah berkah yang besar dari Allah,” syukur ku.
Hari-hari selanjutnya dipenuhi dengan petualangan dari kota ke kota. Mutasi ketiga ku saat itu menjadi Koordinator Pelaksana (Korpel) pada Seksi Perbendaharaan (sekarang Seksi Pencairan Dana). Pada saat itu Seksi Pencairan Dana di KPPN merupakan tempat dambaan banyak pegawai karena terkenal dengan istilah tempat basah. Dalam menjalankan tugas aku mendapatkan amplop dari petugas satker yang datang mengajukan SPM, namun amplop tersebut tidak dibawa pulang dan disimpan pada laci meja kerja.
Setelah selama lebih kurang empat bulan menjalankan tugas, amplop-amplop itu semakin menggunung. Lalu ku beranikan berdisuksi dengan istriku. Ku jelaskan bahwa kondisi saat itu, menerima amplop dalam bekerja merupakan hal biasa. Tapi tidak pernah selembarpun ku bawa pulang. Semua tersimpan di laci kantor. ”Bagaimana menurut adik?,” sergah ku. ”Uang penghasilan yang resmi Bang, itulah yang halal,” tegasnya.
Sejak saat itu, ku memberanikan diri untuk tidak lagi menerima amplop dalam bekerja. Amplop-amplop yang sudah diterima disumbangkan ke Panti Asuhan. Semakin kagum dan bangga dengan istriku. Seorang perempuan yang menjaga suaminya untuk tetap lurus menapaki jalan karir.
Banyak cobaan yang diperoleh setelah menjalankan integritas diri untuk tidak menerima amplop dalam bekerja. Mulai dimutasi pada seksi Bank/Pos, suatu tempat yang saat itu dinilai paling kering. Namun berkat dukungan istriku tercinta, situasi itu ku jalani dengan sabar. Hingga tidak berapa lama, aku mendapat kabar baik bahwa aku mendapat promosi untuk menjadi Kepala Subbagian Umum (Kepala Seksi) di KPPN Tarakan. ”Mungkin ini berkah menjaga integritas itu,” ucapku.
Ujian dan cobaan terus berlanjut dengan dimutasikannya aku ke daerah remot area di Jayapura. Namun suka dan duka kami alami bersama, sampai kemudian dipromosikan menjadi Kepala Kantor pada KPPN Muara Bungo di Provinsi Jambi.
Pada saat bertugas di KPPN Muara Bungo semangat reformasi birokrasi di Direktorat Jenderal Perbendaharaan sudah mulai ditegakkan. Namun godaan tetap ada. Pada suatu ketika di akhir bulan Ramadhan salah satu bank mitra kerja di Muara Bungo memberikan parcel lebaran ke kantor. Parcel tersebut tidak hanya untuk Kepala Kantor, tetapi juga untuk pejabat dan staf pada Seksi Bank. Bank mitra kerja tersebut sudah biasa memberikan parcel untuk nasabah dan mitra kerjanya.
Dengan cara yang baik dan dalam rangka menjaga integritas dalam bekerja parcel tersebut ditolak. Namun pihak bank tidak menyerah dan memilih cara lain. Dikirimlah petugas mengantar parcel untuk diserahkan kepada isteri tanpa sepengetahuan suami. Luar biasanya, karena isteri juga paham bahwa menerima parcel terkait jabatan suaminya tidak boleh, istripun menolaknya dengan santun. Bagiku hal tersebut luar biasa. Karena isteri ikut mendukung suaminya untuk menjaga integritasnya selama bekerja.
Masih banyak kisah lainnya terkait perjuangan dalam menjaga integritas untuk tidak menerima pemberian apapun terkait kewajiban dalam pelaksanaan tugas. Ada cerita sedih yang penuh tantangan, namun juga banyak menemui cerita yang membahagiakan.
Aku bersukur memiliki orang tua yang mendidikku untuk hidup sederhana dan menyekolahkan aku selain disekolah umum juga di sekolah agama (TPA) dekat rumah, yang menjadi bekal untuk menjaga integritas ketika sudah dewasa dan sudah bekerja. Dan aku juga sangat bersukur memiliki isteri yang setia mendampingi diriku dalam bekerja dan mendukungku untuk menjaga integritas dalam bekerja, baik ketika sebelum masa reformasi birokrasi maupun setelah masa reformasi.
Menjaga Integritas merupakan prinsip utama dalam menjalankan program reformasi birokrasi pemerintahan menuju pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Melihat perjuangan dan pengorbanan isteriku dalam mendukung suaminya untuk bekerja dengan baik dan selalu menjaga integritas dalam bekerja maka aku menyatakan bahwa “ISTERIKU PAHLAWAN REFORMASI BIROKRASI” karena secara tidak langsung ikut mendukung pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan yang bersih dan berwibawa melalui program reformasi birokrasi.
Semoga aku dan isteriku selalu diberikan kekuatan untuk konsisten (istiqomah) dalam menjaga integritas terhadap segala pemberian dalam bentuk apapun terkait kewajiban dalam menjalankan tugas sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN). Dan semoga hal tersebut dapat berlanjut pada anak-anak kami dimasa yang akan datang ketika sudah dewasa dan sudah bekerja baik di pemerintahan maupun di swasta.
Halim, Kepala Bagian Umum Kanwil DJPb Provinsi Aceh
NB : Diikutsertakan pada lomba kisah inspiratif Ditjen Perbendaharaan Tahun 2018