Tepat satu tahun yang lalu tanggal 2 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus covid-19 pertama di Indonesia. Sejak saat itu jumlah kasus posistif covid-19 terus bertambah dan sampai dengan awal Maret 2021 ini telah tercatat lebih dari 1,3 juta kasus positif, 1,1 juta sembuh dan lebih dari 16 ribu orang meninggal dunia. Selanjutnya pada tanggal 13 April 2020, Presiden telah menetapkan pandemi covid-19 ini sebagai bencana nasional non alam. Pandemi covid-19 tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan saja, namun jauh merambah sektor sosial, ekonomi dan keuangan.
Di sektor ekonomi pada triwulan I 2020 perekonomian Indonesia hanya tumbuh 2,97 persen. Angka ini melambat dari triwulan I tahun 2019 yang mencapai 5,07 persen. Kemudian pada triwulan II perekonomian mengalami kontraksi sebesar minus 5,32 persen. Meskipun triwulan III kontraksi lebih kecil yaitu minus 3,49 persen (data BPS RI) serta triwulan IV ekonomi masih negatif meskipun skalanya lebih kecil (-2,01 persen). Secara teori Indonesia dikatakan mengalami resesi ekonomi.
Bencana sektor kesehatan ini telah memaksa manusia untuk membatasi aktivitas, mulai dari proses belajar dari rumah, bekerja dari rumah, serta penurunan berbagai aktivitas ekonomi lainnya. Akibatnya banyak sektor yang mengalami kemandekan bahkan kemunduran. Data BPS menyebut Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Agustus 2020 sebesar 7,07 persen, meningkat 1,84 persen poin dibandingkan dengan Agustus 2019. Selanjtnya persentase penduduk miskin pada September 2020 sebesar 10,19 persen, meningkat 0,97 persen terhadap September 2019. Indikator tersebut tentu tidak kita inginkan dan harus mendapat penanganan secara tepat.
Kerja keras APBN dalam Penanganan Covid-19 dan PEN
Dalam situasi seperti ini pemerintah harus melakukan intervensi. Pemerintah memberikan komitmen untuk mengatasi covid-19 serta dampaknya melalui kebijakan fiskal yang terarah dan terukur. Kunci pemulihan ekonomi berada pada bagaimana penanganan pandemi secara tepat. Dan langkah-langkah dimaksud harus mendapatkan dukungan pendanaan yang memadai.
Realisasi Belanja pada APBN Tahun Anggaran (TA) 2020 sebesar Rp2.589,9 triliun dan alokasi TA 2021 sebesar Rp2.750 triliun secara keseluruhan dapat dikatakan sebagai solusi andalan untuk mengatasi dampak pandemi. Namun demikian, secara khusus pemerintah memberikan penekanan pada beberapa bidang prioritas yang langsung berkaitan dengan dampak pandemi.
Kebijakan belanja negara dilakukan percepatan dan prioritas utama pada sektor kesehatan, jaring pengaman sosial dan dukungan bagi dunia usaha. Kebijakan ini dikenal sebagai program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Untuk mendukung PEN tersebut pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID- 19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan sebagai landasan hukum guna mengambil langkah cepat atau extraordinary dalam mengantisipasi dampak covid-19. Perpu ini sendiri telah disetujui DPR dan menjadi Undang Undang Nomor 2 Tahun 2020.
Realisasi Program PEN TA 2020 berdasarkan data sementara Ditjen Perbendaharaan Kemenkeu per tanggal 22 Februari 2021 adalah sebesar rp579,8 triliun dengan rincian untuk cluster Kesehatan Rp63,51 triliun, cluster perlindungan sosial Rp220,4 triliun, dukungan UMKM dan korporasi Rp173,2 triliun, Insentif usaha Rp56,1 triliun dan program prioritas sebesar Rp66,6 triliun.
Pada TA 2021 Program PEN alokasi sementara sebesar Rp699,4 triliun dengan rincian cluster Kesehatan sebesar Rp176,3 triliun, perlindungan sosial Rp157,4 triliun dukungan UMKM dan korporasi Rp186,8 triliun, Insentif usaha Rp53,9 triliun dan program prioritas Rp125,1 triliun. Belanja bidang Kesehatan utamanya digunakan untuk pengadaan vaksin sebesar Rp72,71 trilun, belanja penanganan covid Rp12,33 triliun, insentif nakes Rp8,66 triliun, serta earmark untuk Transfer ke daerah dan dana Desa (TKDD) sebesar Rp4,4 triliun. Dari data di atas dapat dilihat bahwa perhatian pemerintah terhadap penanganan covid-19 dan dampaknya mencakup seluruh aspek atau ruang lingkup sektor yang terdampak.
APBN bekerja keras untuk mengatasi pandemi covid-19 beserta dampak yang ditimbulkan. Untuk memenuhi kebutuhan penanganan covid-19 dan pemulihan ekonomi, pemerintah pada TA 2020 mencatatkan defisit APBN sebesar Rp1.059,2 trilun. Tentu jumlah yang tidak sedikit, perlu kerja keras untuk mendapatkan dana pembiayaan tersebut termasuk bagaimana nantinya dapat mengembalikannya. Faktor lain yang perlu diperhitungkan juga adalah risiko mendapatkan penilaian negatif dari masyarakat atas peningkatan utang negara. Tentu sebuah kebijakan yang tak populis, namun harus diambil. Kebijakan serupa masih dilakukan pada TA 2021 dimana defisit ditargetkan menurun menjadi 5,7 persen atau sebesar Rp1.006,4 triliun. Meskipun defisit masih lebar, namun semua dilakukan secara terukur dan terkendali.
Selain dengan memperlebar defisit, pemerintah juga melakukan pengalihan anggaran atas belanja yang dapat ditunda untuk membantu bidang Kesehatan. Penghematan dan efisiensi di semua sektor juga terus digenjot agar mampu memenuhi kebutuhan pendanaan prioritas penanganan covid dan PEN tersebut. Tugas para penyelenggara negara/daerah adalah benar-benar memaksimalkan anggaran yang dikelolanya dengan baik, tepat sasaran dan akuntabel sehingga efektif dalam menangani pandemi.
Dukungan APBN di daerah
Sementara itu di wilayah Kolaka Raya dukungan APBN TA 2020 sebesar Rp1,1 triliun dengan realisasi Rp1,06 trilun atau 96,16 persen. Realisasi tersebut jika dirinci berasal dari belanja instansi pusat sebesar Rp482 miliar dan TKDD Rp581,4 miliar. Sementara pada TA 2021 alokasi APBN sebesar Rp1,11 triliun dengan rincian melalui instansi vertikal Rp451 miliar dan TKDD sebesar Rp660,6 miliar. Dukungan ini di luar dana transfer yang tidak melalui KPPN Kolaka. Bersama dengan keuangan daerah (APBD), keseluruhan pendanaan pemerintah telah menjadi sumbangsih untuk penanganan pandemi dan pemulihan ekonomi di daerah. Sayangnya data realisasi PEN per cluster sebagaimana data nasional di atas belum dapat diperoleh per kabupaten. Hal ini mengingat data PEN tersebar di berbagai Kementerian/Lembaga. Ke depan diharapkan agar pemerintah dapat menyajikan data terintegrasi sehingga data PEN dapat dilihat dengan mudah di setiap daerah dan memudahkan pengambil keputusan di daerah untuk mengambil kebijakan yang tepat sesuai dengan data yang tepat pula.
Penulis : Arief Rokhman, Kepala KPPN Kolaka
Disclaimer : Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi