Selepas take off dari bandara Supadio, pesawat yang saya tumpangi mulai membelah langit menuju koordinat bandara Adisucipto Yogyakarta. Pelan tapi pasti kecepatan mulai bertambah, semakin cepat dan semakin cepat. Hingga tak sadar telah hampir satu setengah jam mengangkasa. Saatnya pesawat landing, kru pesawat memberi peringatan untuk bersiap mengenakan sabuk pengaman. Pesawat berputar-putar di atas langit bandara Yogya mencari tempat yang tepat untuk landing. Pada akhirnya acara landingpun berlangsung dengan sukses.
Penat dan lapar telah memanggil-manggil, meminta untuk segera rehat barang sejenak. Yang saya tuju akhirnya sebuah warung gudeg yang tidak jauh dari bandara. Saya pilih duduk di pojokan, sehingga bisa melihat dengan leluasa suasana di sekitar warung. Sejenak kemudian salah seorang pelayan menghampiri saya.
“Pesen apa Pak?”
“Gudeg lauknya ayam dan teh manis yang puanas ya.”
Tak menunggu lama, pesanan gudeg dan teh manis panas sudah terhidang di depan saya. Tampilan nasi dengan gudeg serta sambal goreng krecek sungguh menggugah selera. Lombok utuhan yang terselip diantara sambal goreng krecek berhasil bikin ngeces. Sebelum menyendok nasi, saya menyeruput teh panas sebagai pembuka untuk menghangatkan perut dan badan. Rasanya langsung byaaaaaaar. Lanjut menandaskan gudeg yang memang Yogya banget.
Belum selesai saya menghabiskan nasi gudeg, datang satu keluarga, ayah ibu beserta anak-anaknya. Kehadiran mereka cukup menyita perhatian saya, terutama karena salah satu anak mereka ternyata mengidap down syndrome. Saya melihat ada sesuatu yang berbeda dari mereka. Keluarga ini tampak bahagia, mereka bercanda dan tertawa lepas. Anak-anak mereka juga tampak riang dan gembira. Seolah keberadaan buah hati dan saudara pengidap down syndrome tidak mengurangi kebahagiaan dan keceriaan mereka. Sang ibu dan ayah justru nampak sayang dan perhatian. Sedang saudara yang lain mengajak bercakap dan bercanda dengan bahasa yang dimengerti olehnya. Tidak nampak rasa malu atau abai. Adem melihatnya. Salut.
Melihat pemandangan ini, saya jadi teringat oleh ucapan seorang ibu yang memiliki anak serupa down syndrome. Ibu tegar nan hebat ini dalam satu kesempatan pernah menyampaikan bahwa beliau akan memelihara anaknya semaksimal yang beliau bisa. Karena beliau beranggapan bahwa barangkali kondisi anaknya itu adalah ladang amal yang diciptakan oleh Allah untuknya. Artinya beliau akan terus yakin, percaya, dan tidak berputus asa karena kekurangan fisik atau mental anaknya bukanlah akhir dari dunia sang buah hati, dengan kasih sayang dan dukungan penuh dari orangtua, beliau yakin buah hatinya bisa menjadi orang sukses dalam kehidupan. Nyes rasanya.
Kisah-kisah inspiratif tersebut di atas rasanya tepat bila diadaptasikan di lingkungan kerja. Mengapa demikian? Ketika kita bekerja, artinya di tempat itulah kita mencari nafkah untuk keluarga. Di tempat itulah kita mencari ridho dan berkah. Tentunya dalam perjalanannya akan banyak tantangan, memerlukan banyak perjuangan, mengikhlaskan beragam pengorbanan. Bila dipandang berat maka pekerjaan akan berat, namun bila kita mengatakan SAYA BISA. Apa yang tidak mungkin. Bahkan pepatah mengatakan : “100 times I CAN is more important than IQ”. Jelasnya bahwa bila dalam benak kita tertanam stigma mampu, maka itu lebih penting dari sekedar kepintaran. Jadi tidak perlu mengeluh dan selalu berfikiran positif. Mari kita buktikan bahwa kita adalah seorang climber, bukan camper atau quitter. Dan tetap semangat untuk menjadikan pekerjaan kita sebagai ladang amal, bukan malah ladang dosa, sehingga ridho dan berkah bisa terus bertumbuh seiring dengan karya kita.