Jl. Prof. M. Yamin No. 77 Kab. Sijunjung

Larangan Gratifikasi : Akar dari Korupsi
oleh : Endrawati
Pelaksana Seksi Vera-KI KPPN SIJUNJUNG

Gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas meliputi uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya, baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik baik secara langsung ataupun tidak langsung kepada Pegawai atau Penyelenggara Negara dan pihak eksternal maupun internal Kementerian Keuangan baik orang perseorangan, kelompok, maupun badan hukum.

Jika berbicara mengenai korupsi, patut disadari bahwa penanganannya bukan hanya merupakan tanggung jawab Komisi Pemberantasan Korupsi dan penegak hukum saja, tetapi juga memerlukan peran serta masyarakat. Peran serta masyarakat yang baik sangat penting mengingat bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi tidak memiliki perwakilan di daerah, maka cukup sulit untuk Komisi Pemberantasan Korupsi dalam mengawasi tindak pidana korupsi di seluruh Indonesia. Dengan adanya partisipasi masyarakat di daerah, maka akan membantu Komisi Pemberantasan Korupsi dalam menjalankan tugasnya untuk memberantas tindak pidana korupsi.

Gratifikasi sebenarnya telah menjadi budaya turun temurun bangsa kita. Pemberian gratifikasi pada umumnya tidak ditujukan untuk mempengaruhi keputusan pejabat secara langsung, namun cenderung sebagai “tanam budi” atau upaya menarik perhatian pejabat. Tanam budi ini kemudian menciptakan benturan kepentingan antara pejabat yang diberi gratifikasi dan pelaku pemberi gratifikasi. Benturan kepentingan yang terjadi menyebabkan perumusan kebijakan menjadi tidak objektif, berpihak, dan sering kali diskriminatif. Hal lain yang dapat terjadi adalah pengangkatan pegawai berdasarkan balas jasa, pemilihan partner atau rekanan kerja berdasarkan keputusan yang tidak professional, dan lain sebagainya.

Pemberi gratifikasi berharap dengan memberikan gratifikasi tersebut dapat memperlancar urusannnya. Sebagai contoh pengiriman parcel dari rekanan kepada pejabat pengadaan barang dan jasa atau pejabat yang mempunyai kekuasaan. Rekanan berharap dengan pengiriman parcel tersebut, maka akan dijadikan pemenang tender. Gratifikasi seperti ini bisa disebut juga sebagai suap.

 Penyebab Korupsi

  • Korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak dibarengi dengan akuntabilitas.  
  • Keserakahan (Greed), kesempatan (Opportunity),  kebutuhan (Needs), dan pengungkapan(Expose)
  • Korupsi terjadi jika manfaat korupsi yang didapat/dirasakan lebih besar dari biaya/risikonya 
  • Tiga faktor yang berpengaruh terhadap fraud (kecurangan) adalah kesempatan, motivasi, dan
  • Korupsi terjadi jika terdapat kesempatan/peluang (kelemahan sistem, pengawasan kurang, dan sebagainya) dan niat/keinginan (didorong karena kebutuhan & keserakahan).  
  • Korupsi merupakan suatu perilaku manusia yang diakibatkan oleh tekanan sosial sehingga menyebabkan pelanggaran norma-norma.  

 

 Strategi Pemberantasan Korupsi

  • Represif, Melalui strategi represif, KPK menyeret koruptor ke meja hijau, membacakan tuntutan, serta menghadirkan saksi-saksi dan alat bukti yang menguatkan.
  • Perbaikan Sistem, tak dimungkiri, banyak sistem di Indonesia yang justru membuka celah terjadinya tindak pidana korupsi. Misalnya, prosedur pelayanan publik menjadi rumit, sehingga memicu terjadinya penyuapan, dan sebagainya. Lainnya tentu masih banyak. Tidak saja yang berkaitan dengan pelayanan publik, tetapi juga perizinan, pengadaan barang dan jasa, dan sebagainya.
  • Edukasi dan Kampanye merupakan Salah satu hal penting dalam pemberantasan korupsi, adalah kesamaan pemahaman mengenai tindak pidana korupsi itu sendiri. Dengan adanya persepsi yang sama, pemberantasan korupsi bisa dilakukan secara tepat dan terarah, KPK berharap, pada saatnya nanti di negeri ini akan dikelola oleh generasi antikorupsi. Agar berjalan lebih efektif, ketiganya harus dilakukan bersamaan.

 

Peraturan terkait Gratifikasi

  • Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi "Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya".
  • Pasal 12C ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi "Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK".
  • Pasal 12C ayat (2) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, berbunyi " Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima".
  • Pasal 16, 17, 18 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  • PMK Nomor 7/PMK.09/2017tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan.

 

Sanksi Gratifikasi

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menyebut penerima gratifikasi dapat dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

Penerapan di Lingkungan Kementerian Keuangan

Dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme serta mengupayakan pengendalian gratifikasi sebagai perwujudan dari integritas pegawai dalam menjalankan tugas dan fungsi secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab, Kementerian Keuangan telah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 7/PMK.09/2017 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan.

Dalam PMK tersebut juga dijelaskan mengenai kewajiban Aparatur Sipil negara (ASN) Kementerian Keuangan untuk menolak Gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas, melaporkan penolakan Gratifikasi kepada Unit Pengendali Gratifikasi (UPG), dan melaporkan penerimaan Gratifikasi yang tidak dapat ditolak melalui UPG atau secara langsung kepada KPK. Adapun jenis gratifikasi yang tidak dapat ditolak yaitu yang memenuhi kondisi antara lain tidak diterima secara langsung, pemberi tidak diketahui, penerima ragu dengan kategori gratifikasi, dan terdapat kondisi tertentu yang tidak mungkin ditolak karena dapat mengakibatkan rusaknya hubungan baik institusi, membahayakan diri sendiri / karier penerima / ada ancaman lain.

 

Referensi:
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 7/PMK.09/2017 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Keuangan.
https://kpk.go.id
- Buku Pedoman Pengendalian Gratifikasi KPK

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

IKUTI KAMI

 

        

 

PENGADUAN

 

Search