Era Baru Efisiensi Anggaran Birokrasi

Oleh: Abd Gafur, Kepala Seksi PPA II B Kanwil DJPb Provinsi Maluku Utara

Pada Sidang Kabinet Paripurna perdana lalu, Presiden Prabowo Subianto menekankan pentingnya efisiensi dalam mengelola anggaran. Instruksinya tegas, agar seluruh resources difokuskan pada pembangunan kesejahteraan rakyat. Presiden meminta para menteri untuk mengurangi kegiatan-kegiatan yang bersifat seremonial, seminar, dan perjalanan dinas. Kegiatan yang bersifat formalitas dan tidak memiliki direct impact diminta untuk ditiadakan.

Isu tentang “pemborosan” anggaran sebenarnya bukan hal baru. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo pernah menyoroti alokasi anggaran penurunan stunting di suatu daerah yang dianggap tidak tepat sasaran. Bagaimana tidak, dari anggaran Rp10 miliar yang teralokasi, separuh lebih hanya untuk keperluan rapat, perjalanan dinas, dan honorarium. Alhasil, anggaran yang semestinya berdampak langsung ke masyarakat, seperti digunakan untuk pembelian telur, susu, dan kebutuhan lainnya, justru tersisa sangat sedikit saja. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi anggaran birokrasi masih menjadi persoalan serius yang harus segera diatasi. 

Besarnya anggaran seremonial berasal dari kompleksnya unsur biaya yang harus dialokasikan pada sebuah kegiatan. Untuk penyelenggaraan kegiatan di hotel misalnya, akan ada biaya akomodasi dan konsumsi, biaya perjalanan dinas, pembelian alat tulis rapat, dan biaya honorarium. Artinya, makin banyak kegiatan, maka makin banyak pula anggaran yang harus dikeluarkan. Sayangnya praktik ini kerap menumbuhkan paradigma di kalangan birokrat, yaitu setiap pekerjaan tambahan di luar kantor dimaknai dengan sebagai insentif tambahan. 

Hal ini masih ditambah dengan pola pikir untuk berlomba-lomba menghabiskan anggaran demi memenuhi target penyerapan tanpa mempertimbangkan seberapa besar dampak nyata anggaran tersebut. Ini menjelaskan mengapa banyak dijumpai penyelenggaraan kegiatan birokrat di hotel-hotel, terutama menjelang akhir tahun anggaran. 

Pada akhirnya anggaran yang dikeluarkan tak menyentuh langsung pada pokok permasalahan. Target outcome pun sulit dicapai. Di lain sisi, pemerintahan baru saat ini memiliki prioritas pembangunan yang tentu saja membutuhkan dana yang besar, sementara anggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sangat terbatas. Lalu, bagaimana solusinya?

Membangun Budaya Efisiensi Birokrasi

Kampanye tentang efektivitas dan efisiensi anggaran sebenarnya telah gencar dilakukan sejak beberapa tahun yang lalu. Masih jelas di ingatan kita peristiwa beberapa tahun yang lalu, saat pemerintah harus berjibaku mengencangkan ikat pinggang dan menghemat anggaran demi penyelamatan ekonomi akibat hantaman pandemi Covid-19. Pada APBN 2020 misalnya, pemerintah memangkas anggaran belanja barang Rp33,7 triliun termasuk di dalamnya Rp26,8 triliun belanja perjalanan dinas dan Rp6,9 triliun belanja honorarium. Nyatanya dengan pemangkasan itu, aktivitas birokrasi tetap dapat berjalan seperti biasa. Dengan dukungan teknologi informasi, berbagai macam kendala yang dihadapi dapat diselesaikan dengan baik tanpa harus mengorbankan kinerja.

Namun, sayangnya pascapandemi, budaya efisiensi tersebut perlahan-lahan kembali ke pola prapandemi. Hotel-hotel kembali dipenuhi kegiatan-kegiatan birokrat. Kita tidak memungkiri pentingnya rapat dalam rangka koordinasi serta dampak ekonomi dari penyelenggaraan kegiatan di hotel. Akan tetapi, di tengah kondisi keuangan negara saat ini, rasanya diperlukan langkah-langkah efisiensi tanpa harus berkompromi terhadap kualitas output dan outcome yang harus dicapai. Yang penting adalah bagaimana mencapai tujuan dengan penggunaan sumber daya terbaik.

Banyak upaya efisiensi yang dapat dilakukan, antara lain: pertama, memilah-milah kegiatan dan belanja yang dapat dilakukan efisiensi secara tepat dengan mencoret kegiatan yang tidak memberikan nilai tambah signifikan terhadap pencapaian target. Kedua, membatasi frekuensi dan jumlah peserta perjalanan dinas dan kegiatan-kegiatan di luar kantor. Ketiga, mengefektifkan kembali penggunaan teknologi informasi untuk keperluan rapat dan koordinasi seperti saat pandemi. Keempat, memperkuat sistem pengawasan yang lebih efektif dari unit kepatuhan internal. 

Selanjutnya, anggaran dari hasil efisiensi dapat direalokasi ke belanja yang lebih produktif. Misalnya saja belanja perbaikan infrastruktur ruang pertemuan kantor. Anggaran hasil efisiensi tersebut rasanya sangat cukup untuk merevitalisasi ruang pertemuan yang jauh lebih representatif dan memadai seperti halnya fasilitas di hotel. Ruang pertemuan tersebut dapat difungsikan apabila diperlukan kegiatan-kegiatan secara luring. Namun apabila ruang pertemuan kantor dianggap masih kurang memadai, maka sistem pinjam pakai pada unit instansi lain dapat menjadi alternatif. 

Dengan memaksimalkan penggunaan fasilitas sendiri, maka manfaat yang dapat diperoleh antara lain: pertama, penghematan anggaran rapat, perjalanan dinas, dan honorarium yang signifikan. Kedua, ruangan yang representatif dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa sewa kepada pihak ketiga. Ketiga, perluasan manfaat dengan memberdayakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) lokal melalui pengadaan konsumsi dan kebutuhan alat tulis rapat. 

Menumbuhkan budaya birokrasi yang efisien berawal dari adanya kesadaran terhadap nilai etika dan kepantasan dalam menggunakan anggaran. Paradigma dan kebiasaan birokrasi haruslah berubah, bukan hanya dalam melihat besarnya anggaran, tetapi juga bagaimana setiap rupiah yang dihabiskan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat. Belanja yang dianggap kecil, jika terkonsolidasi secara nasional, akan memberi dampak signifikan terhadap keuangan negara. 

Sebagai ilustrasi, jika 10 persen saja dari Rp405 triliun pagu belanja barang pada APBN 2024 bisa dihemat, maka akan tersedia anggaran Rp40,5 triliun yang dapat digunakan untuk kepentingan rakyat yang lebih prioritas. Terlihat sepele, tetapi ternyata memberi arti yang luar biasa bagi rakyat Indonesia. Terlebih jika langkah efisiensi tersebut juga diterapkan hingga ke level pemerintah daerah.

Transisi pemerintahan saat ini menjadi momentum tepat untuk memulai dan menjadikan hal ini sebagai budaya kerja yang baru. Terakhir, mari camkan kembali pesan Menteri Keuangan yang selalu diulang-ulang pada berbagai kesempatan, bahwa setiap rupiah yang kita belanjakan secara tidak efisien akan menghilangkan kesempatan untuk membangun republik ini.

Disc: Tulisan ini adalah opini pribadi dan tidak mencerminkan pandangan organisasi 

 

 

 

Copyright ©2024 ASEAN Treasury Forum - All Rights Reserved By DJPb.



Search