Oleh: Dedi Supriadi, Kepala Seksi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran I D Kantor Wilayah DJPb Provinsi Maluku Utara
Sebagai organisasi yang eksis di era modern, Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) mempunyai komposisi pegawai yang beragam dari empat tipe generasi, yaitu Generasi Baby Boomers, Generasi X, Generasi Milenial, dan Generasi Z. Keberagaman tipe generasi tersebut memunculkan adanya dinamika lingkungan kerja yang lebih kompleks. Hal ini disebabkan setiap generasi mempunyai ekspektasi, tata nilai, dan pendekatan yang berbeda dalam bekerja. Dampak lanjutan dari dinamika lingkungan kerja tersebut adalah hadirnya tantangan terkait bagaimana menjaga produktivitas pegawai multigenerasi.
Dalam kajian yang dilakukan oleh Ismail, Iqbal, dan Nasr (2019), employee engagement dinyatakan mempunyai pengaruh yang positif terhadap kinerja pegawai melalui variabel kreativitas pegawai. Sementara itu, Krishnaveni dan Monica (2018) berpendapat bahwa kinerja pegawai akan melesat secara signifikan apabila organisasi menerapkan best practices pengelolaan SDM dan keberadaan tingkat employee engagement yang tinggi.
Selanjutnya, Chandani, Mehta, Mall, dan Khokhar (2016) menyebutkan bahwa kinerja pegawai yang optimal hanya dapat diwujudkan oleh pegawai yang merasa engaged terhadap organisasi. Menurut Gupta dan Sharma (2016), employee engagement adalah suatu keadaan psikologis, sifat, dan perilaku karyawan yang bersifat positif terhadap organisasi dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di dalamnya.
Mengingat pentingnya employee engagement bagi peningkatan kinerja pegawai, maka DJPb mempunyai pekerjaan rumah yang cukup kompleks untuk meningkatkan produktivitas pegawai melalui berbagai terobosan untuk menjaga tingkat employee engagement yang merata pada pegawai multigenerasi.
Apabila menilik karakteristik kerja setiap generasi, maka menjaga tingkat employee engagement pegawai multigenerasi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Generasi Baby Boomers cenderung memiliki tingkat loyalitas tinggi, pekerja keras dengan jam kerja yang panjang, menghormati hierarki organisasi tradisional, dan mempunyai tanggung jawab pribadi. Sedangkan Generasi X mempunyai karakteristik bekerja yang lebih mandiri dan fleksibel, mengutamakan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta mempunyai semangat entrepreneurship yang tinggi. Selanjutnya, Generasi Milenial lebih memilih untuk mencari fleksibilitas dan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan, pemanfaatan teknologi, penggalian makna dalam pekerjaan, dan perkembangan pribadi. Generasi Z mempunyai karakteristik yang mirip dengan Generasi Milenial, hanya saja Generasi Z lebih adaptif dan cepat belajar.
Langkah awal yang dapat ditempuh DJPb untuk menjaga dan meningkatkan employee engagement pegawai adalah dengan memetakan faktor-faktor apa saja yang dirasa mempunyai pengaruh besar terhadap employee engagement pegawai multigenerasi. Dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi employee engagement, menurut Gupta dan Sharma (2016), Aveline dan Kumar (2017), dan Jaharuddin dan Zainol (2019), work-life balance memegang peranan krusial dalam meningkatkan employee engagement. Peran tersebut bersifat positif dan mempunyai pengaruh langsung terhadap employee engagement. Work-life Balance diartikan sebagai kemampuan pegawai untuk memilah dan memilih menggunakan skala prioritas secara efektif terhadap aktivitas pekerjaan dengan aktivitas dalam rumah tangga.
Dari definisi tersebut, diketahui bahwa inti dari work-life balance adalah penerapan skala prioritas dalam memilih antara aktivitas bekerja dan aktivitas nonpekerjaan. Dalam konteks multigenerasi, setiap generasi mempunyai kebutuhan dan prioritas yang berbeda terhadap work-life balance. Ketika DJPb tidak dapat menyediakan atau memenuhi fleksibilitas yang dibutuhkan untuk menjaga work-life balance maka para pegawai multigenerasi akan cenderung disengaged, stres, dan berujung pada burn out. Kondisi itu akan berdampak pada kinerja pegawai dan organisasi secara keseluruhan. Melalui tulisan ini, penulis akan mengulas hasil analisis mengenai bagaimana work-life balance memengaruhi employee engagement dan kinerja pegawai pada DJPb dengan studi kasus pada Kantor Wilayah DJPb Provinsi Maluku Utara.
Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat engagement pegawai multigenerasi sangat bervariasi. Pegawai Generasi Z mempunyai tingkat engagement terendah dibandingkan pegawai generasi lainnya. Terdapat beberapa hal yang diduga menjadi penyebab tingkat engagement pegawai Generasi Z relatif lebih rendah daripada dua tipe generasi lainnya, yaitu status sebagai pegawai baru dengan masa kerja kurang dari tiga tahun, pegawai Generasi Z masih mengidentifikasi peran dan posisinya dalam bekerja, dan masih berproses untuk mencari pemaknaan atas semua pekerjaan yang dilakukan. Sedangkan pada generasi lainnya, tingkat engagement pegawai lebih baik karena sudah menemukan makna dan ritme dalam bekerja serta mempunyai pengalaman kerja yang lebih panjang di DJPb
Secara umum employee engagement berpengaruh positif signifikan terhadap produktivitas pegawai multigenerasi. Meskipun berpengaruh signifikan terhadap employee engagement, work-life balance justru tidak berpengaruh signifikan secara langsung terhadap produktivitas pegawai multigenerasi. Pengaruh work-life balance terhadap produktivitas pegawai multigenerasi akan semakin menguat dan signifikan ketika dimediasi oleh employee engagement. Sehingga dapat dikatakan bahwa employee engagement mempunyai peran yang krusial dalam memperkuat pengaruh work-life balance terhadap produktivitas pegawai multigenerasi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa engagement dan produktivitas pegawai multigenerasi akan meningkat ketika mereka sudah merasakan keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadinya.
Dalam meningkatkan work-life balance, setiap generasi mempunyai cara yang berbeda. Generasi X yang mempunyai tingkat work-life balance tertinggi lebih memilih mengalokasikan waktu yang cukup untuk menjalankan aktivitas pribadi seperti berolahraga, melakukan hobi, maupun menghabiskan waktu bersama keluarga inti. Generasi Y menghargai dan menjalankan kebijakan organisasi yang mengakomodir work-life balance seperti kebijakan sistem kerja fleksibel yang berlaku di Kementerian Keuangan. Adapun Generasi Z memilih mengalokasikan waktu yang cukup untuk berinteraksi dengan rekan dan keluarga baik secara langsung maupun melalui media sosial dan media elektronik. Namun demikian semua generasi memiliki persepsi yang sama bahwa work-life balance mereka akan cenderung terganggu ketika harus bekerja lembur untuk menyelesaikan pekerjaan yang selanjutnya berdampak ke tingkat engagement dan produktivitas.
Kebijakan manajemen SDM yang inklusif dan berfokus pada peningkatan work-life balance perlu diwujudkan melalui inisiasi Time Allocation Policy, Employee Assistance Program (Cross-Generational Coaching and Counseling dan Program Cuti Berbayar), dan On-Site Amenities.
Time allocation policy merupakan kebijakan yang memberikan kesempatan bagi pegawai mengalokasikan sebagian waktu kerjanya untuk menyelesaikan berbagai pekerjaan ataupun proyek pribadi yang bersifat positif dan mendukung bakat serta passion pegawai. Kebijakan ini sudah diterapkan oleh Google yang mengizinkan karyawan menggunakan 20% dari waktu kerja mereka untuk mengejar proyek-proyek atau inovasi yang bukan dari pekerjaan utama mereka.
Employee assistance program adalah kebijakan organisasi yang menyediakan program bantuan pegawai mencakup cross-generational coaching dan program lainnya yang membantu kesejahteraan karyawan dan keluarga pegawai. Cross-generational coaching memungkinkan para pegawai multigenerasi untuk saling melakukan coaching dan mentoring.
Sebagai contoh, pegawai Generasi Baby Boomers dan X memberikan coaching kepada generasi di bawahnya terkait komitmen, kedisiplinan, dan pencarian makna dalam bekerja. Sementara Generasi Milenial dan Z memberikan coaching mengenai optimalisasi teknologi informasi dalam bekerja dan bagaimana menjalankan pekerjaan secara fleksibel.
On-site amenities merupakan suatu kebijakan organisasi yang menyediakan berbagai fasilitas sarana dan prasarana yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi pegawai sehingga pegawai tidak perlu meninggalkan kantor pada saat pegawai tersebut ingin memenuhi kebutuhan pribadinya. Fasilitas tersebut dapat berupa fasilitas olahraga dan kebugaran, layanan binatu, ruang tidur siang, serta ruang kesehatan jasmani dan rohani.
Dari hasil analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa employee engagement yang dipengaruhi secara dominan oleh faktor work-life balance mempunyai peran sentral dalam mendorong produktivitas pegawai. Seorang pegawai yang mampu mengelola work-life balance dengan baik akan cenderung engaged terhadap organisasi dan mampu mencapai produktivitas puncak. Rekomendasi yang diberikan adalah kebijakan manajemen SDM yang berfokus pada employee engagement melalui optimalisasi penerapan work-life balance.
Disc: Tulisan ini adalah opini pribadi dan tidak mencerminkan pandangan organisasi