Fast Fashion: Tren Modis dengan Harga Ekologis

oleh Muhammad Fahmi Trisnadi, Pelaksana pada Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup

Setiap kali pergantian tahun, mal-mal selalu dipenuhi oleh semarak suasana yang berbeda. Lampu-lampu tambahan gemerlap menghiasi setiap sudut, menciptakan atmosfer meriah yang penuh harapan. Langkah kaki para pengunjung menggema di lantai marmer mengilap, sementara alunan musik pop “Memori Baik” dari Sheila on 7 ft. Aishameglio, membahana. Poster-poster besar dengan tulisan “Sale” dan “Diskon” menggoda siapa saja yang lewat. 

Tujuan saya ke mal sebenarnya sederhana, menemani anak bermain. Pandangan saya tertambat pada sebuah etalase dengan tulisan besar "Diskon 50%." Rasa penasaran membawa saya lebih dekat, tetapi harapan itu sedikit memudar saat melihat tanda bintang kecil di ujung tulisan. Rupanya, diskon tersebut hanya berlaku untuk pembelian item kedua. Promosi semacam ini seolah mengundang kita untuk membeli lebih banyak, tanpa mempertimbangkan kebutuhan sebenarnya. Pikiran saya pun melayang pada istilah fast fashion, industri yang tidak hanya menawarkan tren instan, tetapi juga mendorong pola konsumsi yang cepat dan tak terencana.

Sadar tak sadar, industri fast fashion telah merevolusi dunia mode, karena menawarkan pakaian murah, cepat berganti model, dan berlimpah. Model yang berganti-ganti mengikuti tren dunia, memberikan konsumen banyak pilihan dan dengan harga yang dibilang relatif murah. Namun, fast fashion memberikan kontribusi signifikan terhadap kerusakan lingkungan seperti polusi air, limbah tekstil, dan emisi karbon, yang berisiko memperburuk krisis iklim.

 

Dampak Lingkungan dari Industri Fast Fashion

Industri fast fashion berfokus pada produksi pakaian dengan jumlah besar, harga rendah, dan waktu produksi yang sangat cepat. Keberhasilan model bisnis ini didorong oleh permintaan konsumen untuk berpakaian up-to-date mengikuti tren mode dunia, tetapi dengan harga yang terjangkau. Sayangnya, biaya lingkungan dari produksi ini sangat tinggi. Bahkan, 10% dari emisi karbon global berasal dari industri tekstil, lebih besar dari gabungan emisi penerbangan internasional dan pelayaran laut (Niinimäki, 2020). Emisi ini terjadi sepanjang rantai pasokan, mulai dari produksi, transportasi, hingga konsumsi pakaian.

Tak hanya itu, industri fesyen menjadi salah satu penyebab deforestasi dengan ratusan juta pohon ditebang setiap tahun, mengancam ekosistem dan keanekaragaman hayati. Proyeksi menunjukkan limbah tekstil bisa mencapai 3,5 juta ton pada 2030, sebuah ancaman besar terhadap lingkungan jika tidak segera diatasi. Menurut laporan dari Ellen MacArthur Foundation (2017), sekitar 92 juta ton limbah tekstil dibuang setiap tahunnya di seluruh dunia, dan sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah atau dibakar. Terlebih, sebagian besar produk yang dihasilkan oleh fast fashion terbuat dari bahan sintetis seperti polyester, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk terurai di tempat pembuangan sampah. Hal ini makin memperburuk masalah pencemaran tanah dan udara.

Di Indonesia, dampak limbah tekstil juga sangat signifikan. Menurut data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2023, sampah tekstil menyumbang 2,87% dari total komposisi sampah nasional. Jika dihitung-hitung secara sederhana, estimasi sampah tekstil tahun 2023 mencapai 1,75 ton, dengan asumsi total timbulan sampah nasional rata-rata 70 ton per tahun. Kemirisan ini ditambah dengan kegiatan industri tekstil di Indonesia, yang dikenal sebagai salah satu industri paling boros dalam penggunaan air. Bayangkan, 93 miliar meter kubik air digunakan oleh sektor ini per tahun. Setara dengan 31 kali kapasitas Waduk Jatiluhur yang berkapasitas sekitar 3 miliar kubik air.

 

Fast Fashion dan Polusi Air

Dampak lain yang ditimbulkan industri fast fashion adalah polusi air. Proses pewarnaan pakaian yang menggunakan bahan kimia berbahaya seperti pewarna sintetis dan logam berat, sering kali mengalir ke sungai-sungai yang dekat dengan pabrik tekstil. Di Indonesia, daerah-daerah seperti Cikarang dan Karawang dikenal sebagai pusat-pusat industri tekstil yang menghasilkan limbah cair berbahaya yang dapat mencemari sungai-sungai di sekitar wilayah tersebut.

 

Tantangan Pengelolaan Limbah Tekstil di Indonesia

Masalah pengelolaan limbah tekstil di Indonesia menjadi makin rumit dengan tingginya konsumsi pakaian dari industri fast fashion. Salah satu tantangan terbesar adalah rendahnya tingkat daur ulang limbah tekstil. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada tahun 2023 Indonesia menghasilkan sekitar 13,38 juta ton sampah plastik atau 19,12% dari total timbunan sampah nasional. Sebagian besar sampah ini berasal dari kemasan produk fast fashion yang digunakan untuk mengirim pakaian ke konsumen. Tantangan pengelolaan limbah tekstil ini makin berat, karena sektor tekstil di Indonesia memproduksi 60% pakaian yang terbuat dari bahan sintetis, yang membuatnya lebih sulit untuk didaur ulang. 

Perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor tekstil harus menyadari peran mereka dalam perubahan iklim dan penciptaaan sistem produksi yang lebih berkelanjutan. Mereka perlu bekerja sama dengan lembaga-lembaga yang dapat memfasilitasi daur ulang dan pengolahan limbah. Salah satu solusi potensial adalah penggunaan teknologi yang dapat mengubah limbah tekstil menjadi bahan yang berguna, misalnya dengan mendaur ulang serat kain menjadi bahan baku untuk produk baru. Hal ini akan membutuhkan investasi besar dan keterlibatan berbagai pihak, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.

 

Transformasi Keberlanjutan Industri Fesyen

Perubahan iklim yang makin parah dan kerusakan lingkungan yang terjadi karena aktivitas manusia menuntut sektor industri untuk lebih memperhatikan keberlanjutan. Keberlanjutan dalam fesyen mencakup upaya untuk mengurangi dampak buruk terhadap lingkungan melalui pengelolaan sumber daya alam secara efisien, pengurangan limbah, serta pemanfaatan energi terbarukan dalam proses produksi.

Konsumen juga memainkan peran besar dalam mendorong perubahan ini. Masyarakat yang makin sadar akan dampak negatif fast fashion mulai mencari alternatif lebih berkelanjutan, seperti produk yang ramah lingkungan, juga bahan alami atau daur ulang yang digunakan dalam pembuatan produk. Fenomena ini dapat mengubah cara perusahaan beroperasi dan mendorong untuk beralih ke praktik yang lebih berkelanjutan, karena konsumen tidak hanya membeli berdasarkan harga dan tren, tetapi juga kesadaran terhadap dampak sosial dan lingkungan dari produk yang mereka beli.

Perubahan pola konsumsi ini akan memaksa perusahaan-perusahaan besar untuk melakukan inovasi dalam desain produk dan sistem produksi mereka. Beberapa perusahaan besar juga telah mulai menunjukkan komitmen untuk mengurangi jejak karbon dengan menggunakan bahan daur ulang dan mengimplementasikan energi terbarukan dalam proses produksi. Perusahaan-perusahaan lain di sektor fast fashion juga perlu mengikuti langkah ini jika ingin tetap relevan dan bertahan dalam pasar yang makin mengutamakan keberlanjutan.

 

Peran Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup

Di tengah masalah-masalah lingkungan yang ditimbulkan oleh industri fast fashion, lembaga seperti Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH) di Indonesia dapat berperan penting dalam menciptakan perubahan yang lebih berkelanjutan. BPDLH yang didirikan tahun 2021 dengan tujuan untuk mengelola dan mengalokasikan dana untuk proyek-proyek yang mendukung keberlanjutan lingkungan, termasuk di sektor tekstil, memiliki dana yang signifikan dengan alokasi mencapai USD1.664 miliar (sekitar Rp24,96 triliun). Dana yang berasal dari berbagai sumber domestik dan internasional ini dapat digunakan untuk mendukung riset dan pengembangan teknologi yang memungkinkan daur ulang tekstil dan pengurangan limbah dari industri fast fashion. Selain itu, BPDLH dapat memberikan insentif kepada perusahaan-perusahaan yang beralih ke praktik ramah lingkungan, seperti menggunakan bahan-bahan alami dan dapat didaur ulang dalam proses produksi mereka.

BPDLH juga dapat memainkan peran penting dalam mendanai proyek-proyek ekonomi sirkular, yang berfokus pada prinsip "reduce, reuse, recycle". Sektor tekstil di Indonesia bisa bertransformasi dengan mengurangi produksi barang baru, memperpanjang masa pakai produk yang ada, dan mendaur ulang pakaian yang tidak terpakai menjadi barang baru yang berguna.

Sebagai contohnya adalah program pengumpulan limbah tekstil melalui Dropbox, yang berhasil mengidentifikasi pakaian layak pakai untuk didonasikan. Di Indonesia, desa seperti Karangrejo, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah, telah memanfaatkan limbah tekstil untuk membuat produk rumah tangga, menunjukkan potensi solusi kreatif dan berkelanjutan. Selain itu, praktik tradisional seperti penenunan dengan nilai sosial-ekonomi juga menjadi salah satu cara memperpanjang siklus hidup bahan tekstil. Konsep Tri Hita Karana dari Bali, yang mengutamakan harmoni dengan alam, menjadi inspirasi penting dalam menciptakan ekonomi sirkular.

 

Dampak Sosial dari Fast Fashion

Selain dampak lingkungan, fast fashion juga memberikan dampak sosial yang signifikan, terutama bagi pekerja di industri tekstil. Banyak pekerja di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, yang bekerja dalam kondisi yang tidak layak dan dibayar dengan upah yang sangat rendah. Mereka seringkali bekerja di pabrik-pabrik yang tidak memenuhi standar keselamatan kerja, serta terpapar bahan kimia berbahaya tanpa perlindungan yang memadai. Praktik ini menciptakan ketimpangan sosial yang besar. Keuntungan besar yang diperoleh perusahaan fast fashion tidak dirasakan oleh mereka yang berada di garis depan produksi.

Penguatan peran Corporate Social Responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan fast fashion di Indonesia perlu didorong. Program CSR yang lebih bertanggung jawab dapat membantu meningkatkan kondisi kerja, memberikan pelatihan, serta memberikan upah yang lebih adil bagi para pekerja. Pemerintah juga perlu melakukan pengawasan yang ketat terhadap kondisi kerja di sektor tekstil, untuk memastikan bahwa perusahaan memenuhi standar yang ditetapkan.

 

Peluang untuk Industri Fesyen Berkelanjutan di Indonesia

Meskipun tantangan yang dihadapi industri fast fashion di Indonesia cukup besar, ada banyak peluang untuk menciptakan perubahan positif. Salah satu peluang terbesar adalah meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai pentingnya keberlanjutan. Konsumen Indonesia, khususnya generasi muda makin peduli terhadap dampak lingkungan dari produk yang mereka beli sehingga pasar untuk produk fesyen berkelanjutan semakin menjanjikan. Hal ini membuka peluang bagi bisnis yang memproduksi pakaian yang ramah lingkungan dan tahan lama untuk berkembang. Terlebih Indonesia, dengan kekayaan kain tradisional seperti tenun, batik, dan songket, memiliki keunggulan kompetitif yang tidak dimiliki negara lain. Pemanfaatan kain-kain ini dalam industri fesyen berkelanjutan dapat memberikan nilai tambah sekaligus melestarikan warisan budaya.

Peluang lain terletak pada penerapan model bisnis ekonomi sirkular, produk-produk fesyen dirancang agar dapat digunakan kembali, diperbaiki, atau didaur ulang. Industri fesyen dapat memanfaatkan teknologi inovatif untuk mengolah limbah tekstil menjadi bahan baru, seperti yang telah dilakukan beberapa perusahaan global. Melalui dukungan teknologi ini, Indonesia tidak hanya mengurangi limbah tekstil tetapi juga membuka lapangan kerja baru di sektor pengolahan limbah dan daur ulang.

 

Jangan Terjebak Konsumsi Instan

Industri fast fashion, dengan segala keuntungannya yang cepat dan murah, telah meninggalkan jejak lingkungan yang serius. Namun, melalui pendekatan yang lebih berkelanjutan, melalui inovasi bahan baku, ekonomi sirkular, dan peran lembaga-lembaga seperti BPDLH, Indonesia memiliki potensi untuk mengubah industri ini menjadi lebih ramah lingkungan. Peran pemerintah, perusahaan, dan konsumen juga sangat penting untuk memastikan bahwa keberlanjutan menjadi inti dari industri fesyen di masa depan.

Fast fashion, dengan segala tawaran murahnya, memang memanjakan kita untuk membeli pakaian baru dengan harga yang menggoda, tetapi sering kali kita lupa untuk mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Sebagaimana kutipan Andrea Hirata dalam "Laskar Pelangi”: "Pakaian itu hanya penutup tubuh, namun tidak bisa menutupi hati yang rapuh." Kutipan ini mengingatkan kita bahwa meskipun pakaian memiliki peran penting dalam penampilan luar, tetapi esensi sejati diri kita jauh lebih dalam dan tidak dapat disembunyikan oleh benda-benda material. 

Jangan sampai kita mudah terjebak dalam siklus konsumsi instan yang bisa merugikan lingkungan hidup maupun lingkungan sosial. Tahun baru bisa menjadi momentum untuk mulai lebih bijaksana dalam memilih, tidak sekadar mencari pakaian baru yang memuaskan nafsu belanja. Sejatinya makna dari tren modis dengan harga ekologis adalah memadukan gaya hidup modis dengan kesadaran akan dampak lingkungan, sehingga setiap pilihan pakaian yang kita kenakan menjadi bagian dari solusi untuk bumi yang lebih baik.



Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi.

Copyright ©2024 ASEAN Treasury Forum - All Rights Reserved By DJPb.



Search