Strategi Komunikasi DJPb Mengawal Kebijakan Efisiensi Anggaran 2025

oleh Muhammad Nur, Kepala Seksi Pembinaan Pelaksanaan Anggaran II B Kanwil DJPb Provinsi Riau

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) adalah instrumen yang digunakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan bernegara yang termaktub dalam Undang-undang Dasar 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, pemerintah perlu merancang program-program yang memiliki output yang terukur dan memiliki dampak terbaik bagi pencapaian tujuan-tujuan bernegara itu. Pada konteks ini, maka APBN harus dikelola secara prudent, transparan, dan akuntabel. Maka, efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan anggaran juga menjadi bagian penting untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia.

Pengelolaan anggaran yang efisien dan efektif diperlukan untuk memastikan program-program yang dirancang agar dapat berjalan sesuai tujuan, lebih tepat sasaran, dan tidak terjadi pemborosan. Contoh, Program Keluarga Harapan (PKH) harus dikelola sebaik mungkin oleh semua pihak yang diberi kewenangan oleh undang-undang agar para penerimanya adalah benar-benar kalangan masyarakat yang membutuhkannya. Ketika banyak penerima PKH ternyata bukan orang yang berhak, maka dapat dikatakan telah terjadi kebocoran anggaran (https://ombudsman.go.id/perwakilan/news/r/pwkinternal--bansos-tidak-tepat-sasaran-adalah-maladministrasi). 

Aspek kebocoran anggaran ini pada gilirannya juga akan berkelindan dengan dugaan fraud seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Maka, semua pihak mulai dari Kementerian Negara/Lembaga (K/L), Pemerintah Daerah, hingga aparatur desa perlu memiliki integritas yang tinggi serta tujuan dan cita-cita bernegara yang sama. Keselarasan tujuan dan cita-cita bernegara ini sangat penting, karena “nilai” berupa cita-cita bernegara di atas perlu menjadi pegangan utama bagi para penyelenggara pemerintahan di tingkat pusat hingga ke tingkat pemerintahan terkecil.

Di sisi lain, kebocoran anggaran telah menjadi sebuah isu besar di negeri ini. Sudah jamak diketahui bahkan terjadi berbagai manipulasi dalam upaya menguntungkan diri sendiri yang merupakan cara-cara culas “memanfaatkan" anggaran. Contoh yang paling sering ditemui adalah perjalanan dinas fiktif. Sudah banyak oknum yang berurusan dengan hukum karena kasus-kasus demikian. Ketika kasus-kasus serupa sudah makin banyak (belum termasuk kasus-kasus kebocoran anggaran lainnya yang juga tidak kalah parahnya), maka diperlukan kebijakan yang lebih tegas dan lebih serius untuk mencegahnya. Instansi pemerintah dituntut agar tetap dapat bekerja dan memberikan pelayanan publik secara optimal dan responsif terhadap berbagai isu dan kondisi (Nur, M. (2020). Konstruksi Reputasi dan Responsivitas Instansi Pemerintah Melalui Media Sosial pada Situasi Pandemi Covid-19 di Indonesia (Analisis Wacana pada Laman Facebook Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan RI). Indonesian Treasury Review: Jurnal Perbendaharaan, Keuangan Negara dan Kebijakan Publik5(3), 217 - 234.)

Pada 22 Januari 2025, Presiden menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Inpres ini mengatur dan memberikan instruksi yang tegas mengenai kebijakan efisiensi anggaran pemerintah (https://news.detik.com/berita/d-7746454/prabowo-terbitkan-inpres-efisiensi-2025-perjalanan-dinas-dipangkas-50). Kebijakan efisiensi yang menjadi arahan Presiden antara lain mengurangi belanja perjalanan dinas sebesar 50%, membatasi kegiatan seremonial maupun Focus Group Discussion (FGD), membatasi honorarium tim, memfokuskan anggaran belanja pada target kinerja pelayanan publik, selektif dalam pemberian hibah, serta penyesuaian Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang bersumber dari Transfer ke Daerah (TKD).

Berbagai kebijakan efisiensi anggaran ini tentu sebagai bagian dari upaya pemerintah menjaga sustainability APBN/APBD, meningkatkan kinerja pelayanan publik, dan menjadi strategi dalam mencapai tujuan bernegara. Selain itu, kondisi geopolitik dan ekonomi global yang seringkali tidak stabil juga membutuhkan pengelolaan anggaran yang tepat, sebagaimana halnya ketika terjadi pandemi Covid-19 lalu. Lalu, apa kaitan konteks Inpres ini dengan tugas dan fungsi Kementerian Keuangan khususnya Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb)? Tentu sangat erat.   

Sejak awal berdirinya, DJPb diberikan peran dan kewenangan selaku treasurer atau bendahara negara. Seorang bendahara tentunya harus kredibel, kompeten, pruden, profesional, transparan, dan akuntabel dalam mengelola uang yang dipegangnya. Demikian halnya dengan DJPb. Selaku treasurer, DJPb harus memastikan bahwa APBN telah dikelola dengan “baik dan benar" oleh para Pengguna Anggaran. Pengguna Anggaran yang adalah para Menteri dan jajarannya hingga satuan kerja di daerah perlu memiliki kesepahaman “nilai" bahwa anggaran yang dikelolanya perlu dipergunakan dengan sebaik-baiknya, demi mencapai tujuan bernegara sesuai dengan kewenangan di K/L masing-masing yang diatur oleh UU.

Dalam perjalanan sejarahnya selama 21 tahun ini, DJPb dapat dikatakan telah dapat menjalankan peran treasurer dengan sangat baik. Satuan kerja K/L di daerah dapat menyelesaikan program-programnya dengan baik, mencapai target-target kinerja, dan menghasilkan output-output yang terukur melalui beberapa indikator pengukuran (misalnya Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran atau IKPA). Namun demikian, untuk menyukseskan dan mengawal Inpres ini diperlukan strategi komunikasi yang juga “pas" agar tidak terjadi gejolak di level satuan kerja di daerah.

Mungkin ada bagian-bagian dari Inpres ini yang tidak disukai, tetapi kita perlu melihat sisi lain bahwa kebocoran anggaran, praktik-praktik manipulasi anggaran, dan praktik-praktik korupsi telah menjadi penyakit akut yang memerlukan strategi pengobatan yang tepat. Efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran mungkin hanya satu bagian kecil saja dari konteks “pengobatan" ini.

Dengan kewenangan DJPb selaku treasurer, financial advisor, dan regional chief economist, maka DJPb juga perlu mengawal kebijakan dalam Inpres ini dengan merancang strategi komunikasi yang tepat. Ketiga peran DJPb tersebut sejatinya memberikan peran besar bagi DJPb dalam upaya memberikan informasi dan pemahaman yang baik kepada masyarakat mengenai kebijakan publik dari pemerintah.

Strategi komunikasi menjadi area penting untuk pencapaian keberhasilan target organisasi, termasuk kebijakan dari manajemen puncak agar pihak-pihak berkepentingan baik internal maupun eksternal memiliki informasi yang benar, pemahaman yang baik, dan tidak terjadi mispersepsi, miskomunikasi, dan misinformasi. Maka pada konteks strategi komunikasi untuk mengawal kebijakan efisiensi anggaran ini, DJPb dapat merancang setidaknya tiga hal. 

Pertama, perlunya opinion leaders atau influencers yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas untuk ikut memengaruhi persepsi masyarakat. Pada konteks ini, para pegawai DJPb yang tersebar di seluruh penjuru nusantara dapat memainkan perannya sebagai opinion leaders. Konsep opinion leaders (Katz & Lazarsfeld, 1957) merujuk pada tokoh-tokoh kunci di masyarakat yang dapat memberikan pengaruh pada suatu isu, sikap, atau preferensi tertentu. 

Pada praktiknya, opinion leaders di sini tidak harus seorang tokoh terkenal seperti artis, menteri, atau tokoh penting lainnya. Seringkali orang-orang terdekat kita dapat memiliki peran sebagai opinion leaders (Nur, M. (2023). Eksperimen Isu APBN di Media Sosial: Peran Penting Pegawai sebagai Opinion Leaders. Indonesian Treasury Review: Jurnal Perbendaharaan, Keuangan Negara Dan Kebijakan Publik8(2), 149-169.). Artinya, para pegawai DJPb dan para pegawai Kementerian Keuangan dapat memberikan penjelasan, informasi, dan pemahaman kepada orang-orang terdekatnya mengenai pentingnya efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan anggaran pemerintah, terutama dampak-dampak negatif jika terjadi inefisiensi dan kebocoran anggaran pemerintah. 

Penggunaan para pegawai sebagai opinion leaders memiliki beberapa keuntungan, seperti kredibilitas sumber informasi yang lebih tepercaya karena ia menguasai substansi masalah/isu, informasi yang disampaikan juga lebih valid karena disampaikan oleh subjek yang memang berkecimpung pada urusan/masalah/isu tersebut, dan tidak diperlukan biaya tambahan sebagaimana jika harus menggunakan artis atau tokoh terkenal sebagai influencers. Selain itu, kepercayaan kepada sumber informasi menjadi lebih kuat karena ia adalah orang terdekat dari orang-orang di sekitar para pegawai itu sendiri.

Kedua, media komunikasi yang akan dipilih. Era digital dan internet saat ini menawarkan begitu banyak medium komunikasi yang efektif untuk menyebarkan suatu wacana kepada publik. Media sosial contohnya, adalah salah satu medium komunikasi termediasi yang dapat dimanfaatkan pada konteks diseminasi kebijakan publik kepada masyarakat awam (Nur, 2020). 

Ketiga, pesan kunci yang disampaikan kepada masyarakat, berupa informasi-informasi yang positif misalnya bahwa efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran adalah bagian penting dari mengelola negara yang besar ini. Lalu dampak-dampak buruk dari kebocoran anggaran, kasus-kasus korupsi, dan dampak negatif lainnya yang merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat juga perlu disampaikan secara simultan dan kontinu. 

Berikutnya, pada level lanjutan kombinasi dari ketiga strategi komunikasi ini juga dapat diimplementasikan di semua jajaran K/L dan Pemerintah Daerah. Para Menteri dan Pimpinan Daerah selalu pimpinan tertinggi di organisasinya juga perlu menegaskan kepada jajarannya mengenai aspek-aspek penting dari kebijakan efisiensi anggaran pada Instruksi Presiden ini. Kombinasi dari ketiga hal ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat bahwa kebijakan efisiensi anggaran memang penting untuk diterapkan.

 



Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi.

Copyright ©2024 ASEAN Treasury Forum - All Rights Reserved By DJPb.



Search