O P I N I

Disclaimer: “Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan instansi/organisasi manapun.

Peran Regional Chief Economist dan Financial Advisor, Jangan Sebatas Pemenuhan Kewajiban Penyampaian Laporan

Arisandy Joan Hardiputra (Pelaksana pada Kanwil DJPb Provinsi Jawa Barat)

Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) memegang fungsi utama sebagai Treasurer yang bertugas mengelola Kas Negara, melaksanakan anggaran khususnya terkait belanja negara, dan menyusun laporan keuangan sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban pengelolaan keuangan negara. Sebagai Treasurer, instansi vertikal DJPb yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia memiliki basis data yang sangat besar dan beragam. Data ini seharusnya dapat dioptimalkan dan dimanfaatkan sebagai bahan dalam memantau kondisi perekonomian dan penyusunan kebijakan untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi maupun pembangunan di daerah. Hal ini memungkinkan insan DJPb untuk dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam penyusunan kebijakan pengelolaan keuangan negara yang efektif dan efisien, belanja yang lebih berkualitas (spending better), serta mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang merata di daerah, yang pada akhirnya sejalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional.

Namun demikian, melalui penerapan Integrated Financial Management Information System (IFMIS), di antaranya dalam bentuk Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), dan SAKTI, serta implementasi kebijakan minus growth pegawai, maka sebagian peran dan fungsi Treasurer pada DJPb yang sebelumnya bersifat klerikal kini telah terakomodasi secara sistematis dan terautomasi, sehingga diperlukan pengembangan peran dan fungsi instansi vertikal DJPb sebagai representasi Kementerian Keuangan di Daerah, yaitu sebagai Regional Chief Economist Economist (RCE) yang berfokus pada analisis ekonomi regional, serta sebagai Financial Advisor yang memberikan saran finansial kepada pemangku kepentingan.

Tiga pilar penguatan peran instansi vertikal DJPb yaitu sebagai Treasurer, RCE, dan Financial Advisor terus dikembangkan, salah satunya melalui penerapan standardisasi kegiatan manajemen Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) yang diatur dalam Nota Dinas Sekretaris Direktorat Jenderal Perbendaharaan Nomor ND-2595/PB.1/2022 hal Piloting Penguatan dan Pengembangan Peran KPPN Melalui Standardisasi Kegiatan Manajemen KPPN, di mana terdapat pengaturan rangkaian kegiatan yang harus dijalankan oleh KPPN, meliputi tiga klaster, yaitu Penguatan Manajemen Eksternal; Penguatan Kapasitas Perbendaharaan; dan Penguatan Manajemen Internal. Selain itu, urgensi terhadap tiga pilar ini menjadi makin signifikan setelah Direktur Jenderal Perbendaharaan menerbitkan Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-1/PB/2023 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-24/PB/2019 tentang Pedoman Pembinaan dan Supervisi Pelaksanaan Tugas Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara, serta Surat Keputusan Pembentukan Shadow Organization pada Kanwil DJPb dan KPPN.

Implementasi RCE

Disadur dari Majalah Treasury Indonesia Vol. 3/2021, Chief Economist didefinisikan sebagai posisi yang memiliki tanggung jawab utama untuk pengembangan, koordinasi, dengan ruang lingkup tanggung jawab yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan penyebaran informasi, serta koordinasi penelitian ekonomi. Dengan predikat regional, maka RCE merupakan peran Chief Economist yang secara spesifik dilaksanakan dalam lingkup regional tertentu.

Menurut Sri Mulyani Indrawati (2021), RCE harus menjelaskan fungsi dan kebijakan fiskal, melihat bagaimana dampak APBN di masing-masing daerah, juga memiliki sensitivitas serta kerangka berpikir bahwa uang negara harus mampu menghasilkan manfaat maksimal bagi rakyat dan bagi perekonomian untuk menciptakan kesejahteraan dan kesempatan kerja.

Kanwil DJPb memegang peranan yang sangat penting dalam program penguatan RCE, yaitu sebagai Ketua Tim Implementasi Penguatan RCE Tingkat Daerah yang mengoordinasikan kelompok kerja yang menjadi bagian dari Tim Sekretariat Bersama Wilayah sebagaimana dimaksud dalam KMK Nomor 394/KMK.01/2022 tentang Perwakilan Kementerian Keuangan, untuk melakukan pengumpulan data pengelolaan keuangan pusat dan daerah yang dihimpun melalui seluruh unit vertikal Kementerian Keuangan maupun instansi lain di daerah, data Online Monitoring Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (OM-SPAN), dan melalui database untuk data-data yang tersedia di Sistem Layanan Data Kementerian Keuangan (SLDK).

Walaupun demikian, belum ada payung hukum definitif yang mengatur dan memberikan panduan jelas bagi Kanwil DJPb dan KPPN dalam menjalankan fungsi RCE dan Financial Advisor. Selain itu, belum ada indikator keberhasilan dari Kantor Pusat DJPb maupun pemerintah daerah terhadap laporan hasil analisis yang disusun dan disampaikan oleh Kanwil DJPb, baik Kajian Fiskal Regional (KFR), Asset-Liability Committee (ALCo), dan laporan lainnya, terkait apakah analisis dan rekomendasi dalam laporan-laporan tersebut telah menjadi dasar bagi para pengambil kebijakan terkait kondisi ekonomi regional. Berdasarkan indikator kinerja individu yang ada pada kantor vertikal DJPb, objek penilaian saat ini hanya menilai apakah laporan telah disampaikan tepat waktu dan apakah telah sesuai dengan standar dan format yang telah ditentukan oleh Kantor Pusat DJPb.

Kompetensi dan kapabilitas sumber daya manusia pada Kanwil DJPb dan KPPN juga terbatas dalam hal data analytics, jurnalistik, statistika, dan makroekonomi, mengingat selama ini DJPb lebih terfokus pada tugas utamanya sebagai Treasurer yang hanya berfokus menghasilkan angka sebagai output dari tugas utamanya, dan kini dituntut menggali “cerita” di balik angka tersebut. Dengan demikian, maka tugas ini ibarat menjadikan akuntan sebagai jurnalis sekaligus ekonomis—benar-benar peran yang berbeda.

Meskipun selama ini banyak unsur substansi pada KFR maupun ALCo yang berupa angka, tetapi hasil tersebut lebih banyak didapatkan dari instansi lain, seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Badan Pusat Statistik (BPS). Instansi vertikal DJPb hanya dapat mengakses sumber data berupa angka/nilai yang sudah terbentuk dari aplikasi, sehingga angka-angka tersebut tidak memiliki makna bagi sumber daya manusia di instansi vertikal DJPb selain sebagai pelengkap dan pemenuhan syarat laporan.

Secara pemenuhan kewajiban penyusunan dan penyampaian laporan, memang hal tersebut sudah terakomodasi. Namun, secara substansi peran sebagai RCE, tentunya hal ini masih “jauh panggang dari api” mengingat latar belakang kompetensi dan skill set yang dimiliki oleh pegawai DJPb masih belum relevan dengan tugas-tugas RCE. Sebagaimana pesan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, “Ketika Kanwil DJPb menempatkan diri sebagai RCE, nama ini bukan sekadar nama melainkan implikasinya. Jadi harus mengerti betul tentang perekonomian daerah.”

Ketidakharmonisan antara kebijakan dan implementasi RCE di lapangan dapat ditentukan dari nilai hasil pembinaan dan supervisi pelaksanaan tugas KPPN yang setiap semester dilakukan oleh Kanwil DJPb. Untuk kegiatan yang termasuk dalam RCE sebagai representasi Kementerian Keuangan di daerah, termasuk dalam aktivitas penguatan dan pengembangan peran KPPN Klaster Penguatan Kapasitas Perbendaharaan dan Klaster Penguatan Manajemen Eksternal, seluruh KPPN di wilayah kerja Kanwil DJPb Provinsi Jawa Barat telah melaksanakan kegiatan press release APBN, refreshment cash management, dan refreshment pengelolaan keuangan daerah. Namun sekali lagi, akibat kebijakan minus growth SDM, load pekerjaan rutin yang tinggi, dan duplikasi tugas, administrasi atas pemenuhan dokumentasi kegiatan ini tidak terlaksana dengan maksimal dan mengakibatkan rendahnya nilai kinerja KPPN. Kegiatan yang dilakukan pun banyak bersifat “refreshment” atau bukanlah sesuatu yang baru.

Kantor Pusat DJPb perlu menyediakan dukungan big-data (data warehouse) terintegrasi melalui sistem yang dapat diakses setiap saat oleh para pegawai Kanwil DJPb dan KPPN agar dapat memantau dinamika dan memahami pergerakan data yang merupakan cerminan pola atau fenomena perekonomian tertentu yang terjadi di masyarakat regional. Akan lebih baik jika data yang disediakan bersifat real-time. Data ini dapat dimanfaatkan sebagai early warning system atas dinamika kondisi perekonomian di daerah.

Di sisi lain, belum adanya petunjuk teknis dan media peningkatan kompetensi/skill set yang terstruktur menjadi penghambat penajaman fungsi RCE bagi pegawai instansi vertikal. Terkait pemahaman dan pembelajaran, saat ini pegawai hanya melakukannya melalui sarana media pembelajaran daring seperti Kemenkeu Learning Center (KLC), webinar, dan sarana daring lain yang bersifat mandiri. Padahal diperlukan upaya peningkatan kompetensi yang sistematis termasuk pemetaan kompetensi/skill set dan passion agar pegawai dapat menjalankan tugas dan perannya dengan optimal. Pelatihan sistematis berarti adanya action learning sebagai tugas mandatory dan mendapatkan penilaian langsung dari instruktur.

Program secondment dari Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) juga perlu disempurnakan. Secondee perlu magang/praktik kerja lebih lama di Kanwil DJPb. Bukan hanya bertugas menyediakan data sumber, tetapi juga mendampingi penuh dalam penyusunan KFR dan/atau ALCo. Lebih baik lagi jika terdapat program secondment lintas instansi (misal dengan Bank Indonesia, BPS, pemerintah daerah, dan sebagainya).

Selanjutnya, Kanwil DJPb perlu menyusun matriks tindak lanjut terkait laporan Forum Koordinasi Pengelolaan Keuangan Negara (FKPKN) agar dapat memantau perkembangan atas rekomendasi yang disampaikan. Misalnya, terkait adanya pertanyaan dan/atau usulan pemerintah daerah mengenai mekanisme penerbitan obligasi dan/atau sukuk daerah (municipal bond) dalam rangka pembiayaan kegiatan dan proyek pembangunan di daerah. Dalam hal ini, Kementerian Keuangan dapat menjadi benchmark karena memiliki pengalaman dalam menerbitkan obligasi negara. Kegiatan semacam ini juga dapat dibingkai dalam kerangka Kemenkeu Satu dengan menghadirkan juga Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) sebagai secondee pada Kanwil DJPb atau DJPK yang memahami ketentuan dan mekanisme penerbitan municipal bond. Seperti diketahui, Provinsi Jawa Barat saat ini menjadi pilot project untuk penerbitan municipal bond di Indonesia.

Perlu diterbitkan payung hukum yang jelas antara Kementerian Keuangan dengan pemerintah daerah, instansi/lembaga lain yang terlibat dalam program RCE, dan perguruan tinggi di daerah agar sumber daya manusia Kementerian Keuangan dapat dilibatkan dalam setiap pembahasan mengenai perekonomian regional maupun APBD. Harapannya, dapat diperoleh gambaran komprehensif mengenai dinamika perekonomian daerah, termasuk asal muasal angka, formulasi, dan tabulasi data.

Selanjutnya, dasar hukum definitif yang lebih tinggi terkait Shadow Organization di instansi vertikal DJPb perlu segera diterbitkan agar pegawai dapat melaksanakan tugas dengan lebih fokus dan tidak disibukkan dengan pekerjaan lain di luar tugas pokoknya.

Implementasi Financial Advisor

Menurut Sarimin dan Ditta (2022), Financial Advisor adalah peran seorang profesional yang memberikan saran (advise) kepada klien dan memberikan solusi untuk perencanaan dan masalah keuangan (financial). Pemberian saran itu dapat berupa konsultasi one on one maupun secara massal dalam bentuk seminar. Terdapat tiga hal peran advisory yang bisa dijalankan oleh Kanwil DJPb, yaitu dari sisi pelaporan, pelaksanaan anggaran, dan dalam menjalankan program pemerintah di daerah.

Sedangkan menurut Amdi (2023), pelaksanaan tugas financial advisory oleh Kanwil DJPb antara lain dapat diimplementasikan dalam bentuk analisis terhadap kondisi keuangan pemerintah daerah.

Fungsi Financial Advisor sebenarnya telah diimplementasikan pada Kanwil DJPb dan KPPN sejak tahun 2017 saat pertama kali menerima mandat untuk penyaluran Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik, dan Dana Desa. Namun, peran ini cenderung lebih sesuai dilakukan oleh KPPN yang memiliki akses komunikasi dan interaksi langsung kepada pemerintah daerah. Pemerintah daerah pengampu DAK Fisik maupun Dana Desa kerap menyambangi KPPN untuk berkoordinasi dan berkonsultasi terkait teknis dan mekanisme atau kendala dalam proses penyaluran DAK Fisik maupun Dana Desa.

Namun, dalam perkembangannya, dengan dinamika yang terjadi dan inovasi tiada henti yang terus dilakukan oleh insan DJPb dalam menyempurnakan mekanisme pengelolaan keuangan negara khususnya dari sisi pengelolaan kas, peran financial advisory ini tidak terbatas pada pemecahan masalah terkait penyaluran Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) kepada pemerintah daerah. Advise juga diberikan dari sisi digitalisasi pengelolaan keuangan negara, khususnya pembayaran belanja negara, baik melalui Kartu Kredit Pemerintah (KKP) maupun penggunaan Virtual Account (VA), termasuk juga memberikan saran agar belanja daerah menjadi lebih efektif dan efisien. Dari sisi pendapatan, KPPN juga memberikan masukan tentang bagaimana meningkatkan potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Saat ini, berdasarkan KEP-3/PB/2023, pada KPPN telah dibentuk Financial Advisor Division yang terdiri atas dua Tim Kerja, yaitu Central Government Advisory Team, dan Local Government Advisory Team yang bertugas sebagai customer service, melakukan penyuluhan/pembinaan dan asistensi kepada pemangku kepentingan, melaksanakan pembinaan, monitoring, dan analisis terkait pelaksanaan anggaran dan pelaporan keuangan pusat dan daerah, serta investasi pemerintah.

Namun demikian, peran advise yang dijalankan masih terbatas pada hal-hal yang menjadi kewenangan KPPN sebagai penyalur TKDD. Selebihnya, peran advisory lebih lanjut terkait kebijakan seharusnya masih menjadi ranah DJPK maupun pemerintah daerah. KPPN hanya menjadi fasilitator sebagai penyambung suara antara pemerintah daerah dan DJPK mengingat keterbatasan kompetensi/skill set dan histori latar belakang pegawai DJPb sebagai Treasurer.

Terbatasnya peran KPPN sebagai Financial Advisor bagi pemerintah daerah saat ini dapat dilihat pada materi pada kertas kerja pembinaan dan supervisi pelaksanaan tugas KPPN yang diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor PER-1/PB/2023. Pada komponen Financial Advisor, penilaian hanya didasarkan pada apakah kegiatan telah dilaksanakan oleh KPPN dan berapa kali frekuensi kegiatan tersebut dilaksanakan.

Pada akhirnya, dalam rangka mendukung data-driven organization serta institutional building, maka diperlukan bauran kebijakan dan mekanisme pembelajaran dan pelatihan yang terstruktur, sistematis, dan terintegrasi, serta willingness dari seluruh SDM DJPb untuk senantiasa meningkatkan kompetensi/skill set-nya agar fungsi instansi vertikal DJPb sebagai Regional Chief Economist dan Financial Advisor dapat dijalankan dengan optimal.

 

Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi Penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi.

 

 

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

 

 

IKUTI KAMI

 

PENGADUAN

 

 

Search

Kantor Wilayah Provinsi, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) 

(Daftar Kantor Vertikal DJPb Selengkapnya ..)