Denpasar, 20 Agustus 2020 –
Kanwil DJPb Provinsi Bali telah merilis hasil Kajian Fiskal Regional (KFR) untuk periode Triwulan II Tahun 2020. Kajian ini merupakan salah satu kontribusi Kanwil DJPb Provinsi Bali untuk pembangunan di Provinsi Bali dan diterbitkan secara triwulanan dengan edisi tahunan sebagai edisi khusus. Dalam KFR Triwulan II ini, fokus yang dikaji masih tertuju pada dampak Covid-19 terhadap perekonomian Provinsi Bali. Secara singkat, hal-hal yang dikaji dalam KFR ini diantaranya mencakup: kondisi ekonomi makro, analisis perkembangan pelaksanaan APBN dan APBD, serta kajian tema khusus yang berkaitan dengan isu fiskal terkini.
Perekonomian Provinsi Bali sendiri yang telah mengalami tekanan akibat pandemi Covid-19 dengan perlambatan ekonomi -1,44% di triwulan pertama 2020, harus menerima pukulan berat dengan kontraksi yang makin dalam, hingga -10,98% pada triwulan kedua ini. Meskipun Pemerintah telah mengimplementasikan kebijakan baru, yaitu Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), namun sejauh ini belum bisa memberikan efek berarti. Kepala Kanwil DJPb Provinsi Bali, Tri Budhianto, mengatakan bahwa “penurunan daya beli masyarakat dan adanya kemungkinan masyarakat menahan pengeluaran, membuat multiplier effect dari gelontoran Dana PEN kurang terasa”. Selain itu, sudah ribuan masyarakat kehilangan pekerjaan akibat banyaknya perusahaan atau hotel dan restoran yang melakukan rasionalisasi dengan cara ‘merumahkan’ karyawan atau bahkan PHK. Dengan kondisi tersebut, maka sangat mungkin ekonomi Bali akan tetap seperti ini pada triwulan III atau bahkan lebih parah.
Dari sisi Belanja APBN dan APBD, hingga akhir triwulan II tahun ini berjalan relatif cukup baik atau “on track”. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan Pemerintah yang terus mendorong kinerja belanja APBN dan APBD sebagai salah satu motor penggerak ekonomi yang masih bisa diandalkan. Belanja Pemerintah Pusat di Provinsi Bali hingga Triwulan II telah mencapai 39,8% atau sedikit di bawah target sebesar 40%. Sedangkan untuk realisasi dana transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) telah mencapai 59,5%. Jenis belanja yang masih perlu terus didorong adalah Belanja Barang dan Belanja Modal, yang diharapkan bisa memberikan dampak lebih besar bagi perekonomian. Dari sisi APBD, sebagaimana disampaikan Sekda Provinsi Bali, kebanyakan Pemda mengalami tekanan dan mempersempit ruang fiskalnya. Hal ini sangat mungkin karena Bali memang sangat bergantung pada pariwisata, sehingga ketika pariwisata mengalami ‘paceklik’ seperti ini, maka keuangan daerah pun terganggu. Pendapatan Daerah mengalami penurunan sebesar 20% jika dibandingkan dengan pendapatan pada periode Semester I Tahun 2019. Pendapatan Asli Daerah (PAD) mengalami tekanan cukup dalam, hingga 25,3% lebih rendah daripada Semester I 2019. Beruntung, realisasi belanja berjalan cukup baik, hingga 7,44 triliun rupiah atau naik sebesar 1,55%.
Meskipun sudah berkali-kali ditempa, Bali terbukti mampu bangkit dengan ‘manis’. Dalam kasus letusan Gunung Agung 2017, BPS Provinsi Bali (2018) mencatat titik balik kunjungan wisatawan terjadi pada bulan Januari 2018 atau tiga bulan saja. Dalam kasus Bom Bali, Wijaya (2015) bahkan menyebut bahwa ekonomi Bali tumbuh ‘fantastis’ pasca Bom Bali I dan II. Pengalaman tersebut menggambarkan ketangguhan Bali untuk mampu bangkit setiap kali mendapat pukulan. Namun sebelum berbicara bagaimana Bali akan bangkit lagi kali ini, menarik untuk dikaji terlebih dahulu seberapa parah dampak pandemi Covid-19 terhadap ekonomi Bali.
Sebagai gambaran, sebelum terjadinya pandemi Covid-19 ini, Bali memiliki profil ekonomi yang menjanjikan, di atas rata-rata nasional. Berdasarkan Kajian Fiskal Regional (KFR) Kanwil Ditjen Perbendaharaan Provinsi Bali Tahun 2019, Provinsi Bali mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 5,63% pada tahun 2019, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5,02%. Dari aspek kesejahteraan, Provinsi Bali juga cukup baik. Indikator Pengembangan Manusia (IPM) sebesar 75,38 lebih tinggi dibandingkan IPM nasional sebesar 71,92. Kemudian, dari indikator tingkat pengangguran dan tingkat kemiskinan, keduanya berada di bawah angka nasional. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Provinsi Bali sebesar 1,52% lebih rendah dibandingkan TPT nasional sebesar 5,28%, sedangkan tingkat kemiskinan sebesar 3,61% di Bali juga lebih rendah jika dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional yang mencapai 9,22%.
Untuk melihat apakah dampak ekonomi akibat Covid-19 benar-benar terasa berat, perlu kita lihat sedalam apa dampak yang ditimbulkan masing-masing kejadian di atas. Guncangan dahsyat pertama yang mungkin kita ingat adalah krisis ekonomi 1998 atau yang sering disebut krisis moneter. Krisis ini memang tidak hanya melanda Bali saja, tapi nasional bahkan dunia, khususnya Asia Tenggara. Menurut Nugroho (2020), perekonomian Bali saat itu terkontraksi hingga -4,04% dengan inflasi mencapai 75%. Krisis ekonomi 1998 juga telah menyebabkan tingkat pengangguran di Bali meningkat hingga 4,61%.
Kejadian luar biasa berikutnya adalah tragedi Bom Bali I di Kuta, Bali, pada 12 Oktober 2002. Kondisi ekonomi Bali sebelum kejadian saat itu sedang dalam kondisi yang sangat baik. Pariwisata Bali menjadi primadona dunia dan mampu menghasilkan devisa yang besar. Namun, kejadian tersebut telah merubah kondisi ekonomi Bali dengan tingkat kepercayaan dunia kepada Indonesia, khususnya Bali, menjadi hancur. Banyak sekali masyarakat kehilangan pekerjaannya. Akibatnya, TPT Provinsi Bali meningkat hingga 7,58% pada tahun 2003 dan mendorong angka kemiskinan sampai 7,84% di tahun 2003. Meskipun demikian, karena sejak awal 2002 hingga sebelum kejadian tersebut perekonomian Bali berjalan ‘mantap’, maka kinerja ekonomi di akhir tahun 2002 masih tercatat baik. Perlu dicatat bahwa tragedi Bom Bali I terjadi menjelang akhir tahun 2002, maka dampaknya justru terasa mulai akhir tahun 2002 dan berlanjut ke tahun 2003. Puncak penurunan jumlah wisatawan mancanegara (wisman) terjadi pada bulan Januari 2003 dengan penurunan hingga 59,64% jika dibandingkan dengan bulan September 2002 (sebelum tragedi). Tingkat Penghunian Kamar (TPK) Hotel Berbintang secara total turun sebesar 13,6 poin. Meskipun demikian, pariwisata Bali masih dapat dipulihkan dengan relatif cepat, dengan optimalisasi destinasi wisata Bali yang sangat banyak dan tersebar di seluruh wilayah Bali, tidak hanya di sekitar kawasan Kuta. Meski sempat dihantam kembali dengan tragedi Bom Bali II (2005), namun Bali terbukti masih mampu bangkit kembali dengan cukup baik.
Kejadian lainnya yang patut menjadi catatan sebagai ujian perekonomian Bali adalah meletusnya Gunung Agung pada 17 November 2017. Di satu sisi, kejadian ini memiliki kemiripan dengan Bom Bali I yang terjadi menjelang akhir tahun, namun di sisi lain, penyebab dan dampak yang ditimbulkan berbeda. Meletusnya Gunung Agung terjadi di daerah Karangasem yang lokasinya jauh dari mayoritas lokasi-lokasi wisata unggulan Bali lainnya. Selain itu, kejadian ini adalah kejadian alam, sehingga tidak terlalu merusak reputasi Bali. Namun, tetap hal ini berdampak pada perekonomian Bali, di mana terjadi penurunan jumlah wisman hingga 32,1%.
Dari kondisi-kondisi tersebut, kita dapat melihat dan membandingkan kondisi ekonomi Bali setidaknya hingga akhir Triwulan II tahun 2020. Walaupun pandemi Covid-19 baru dirasakan mulai pertengahan Februari 2020, tetapi telah mengakibatkan perekonomian Bali pada Triwulan I 2020 terkontraksi sebesar -1,14%. Bahkan, perlambatan ekonomi tersebut menjadi lebih dalam pada Triwulan II yang berada pada titik -10,98% (y-o-y) atau bila diakumulasikan adalah sebesar -6,13% (c-to-c). Kondisi tersebut telah menurunkan PDRB Provinsi Bali hingga 12,6% (y-o-y). PDRB (ADHB) Bali pada Semester I 2020 sebesar Rp54,43 Triliun lebih kecil jika dibandingkan PDRB pada Semester I 2019 yang mencapai Rp62,31 Triliun. Hingga akhir Triwulan I 2020 telah terjadi peningkatan inflasi dan menurut Lantu (2020) telah terdapat sekitar 1,2 juta pekerja di bidang pariwisata yang terdampak. Chusna (2020) mengutip pernyataan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali mencatat 73.397 pekerja dirumahkan, dan 2.635 orang di-PHK. Sementara menurut Bayu (2020), 74,8% masyarakat di delapan provinsi, termasuk Bali, mengalami keterpurukan dalam ekonominya.
Di sisi lain, dari kunjungan wisman dan TPK, telah terjadi penurunan yang sangat drastis hingga 99,99% dan tercatat hanya sebanyak 32 kunjungan pada bulan Juni 2020, dengan TPK yang turun dari 62,6% hingga hanya 2,1%. Hal ini sudah dapat diperkirakan sebelumnya, karena per April 2020 Pemerintah Provinsi Bali menerapkan kebijakan penutupan akses masuk ke Bali melalui Pelabuhan Udara dan Laut, serta menutup seluruh tempat wisata.
Perbandingan antar kejadian-kejadian luar biasa tersebut di atas dapat dilihat dalam ringkasan sebagaimana tercantum pada Tabel 5.1. Perlu dicatat, bahwa pandemi Covid-19 ini berlangsung sejak awal tahun 2020 dan masih berlangsung, serta belum diketahui kapan akan berakhir. Dengan melihat grafik kasus positif Covid-19 yang masih terus meningkat, dampak yang ditimbulkan diperkirakan juga masih akan terus berlangsung. Beberapa indikator seperti inflasi, TPT, tingkat kemiskinan, dan indikator kesejahteraan lainnya masih belum dapat dilihat secara real-time.
Dengan kondisi tersebut serta melihat ekonomi Bali yang sangat bergantung pada sektor pariwisata, maka keterpurukan ekonomi masyarakat bisa makin parah. Hal ini terjadi karena kegiatan-kegiatan ekonomi masyarakat sebagian besar bermuara pada sektor pariwisata, sehingga ketika sektor pariwisata ‘tumbang’, maka sektor lain yang terafiliasi juga akan hancur. Jika hal ini terus berlangsung dalam waktu yang relatif lama, mungkin hingga 2021 atau bahkan 2022, maka dapat dibayangkan betapa dalamnya kontraksi ekonomi Bali.
Tabel 5.1. Ringkasan Perbandingan Dampak Pandemi Covid-19 terhadap Perekonomian di Provinsi Bali dengan Beberapa Kejadian Luar Biasa Lainnya (Krisis Moneter, Bom Bali I, dan Letusan Gunung Agung) |
|||||
No. |
INDIKATOR |
Krisis Moneter (1998) |
Bom Bali I (2002) |
Gunung Agung (2017) |
Pandemi Covid-19 (2020) |
1 |
Waktu Kejadian |
Mei 1998 |
Oktober 2002 |
November 2017 |
Awal 2020 (masih berjalan) |
2 |
Pertumbuhan Ekonomi (y-o-y) |
-4,04% |
3,04% tahun 2002 dan 3,57% tahun 2003 |
5,57% tahun 2017 dan 6,35% tahun 2018 |
5,63% tahun 2019 dan -10,98% tahun Semester I 2020 (-6,13% c-to-c) |
3 |
PDRB |
Meningkat. Rp13,53 T di tahun 1998 (meningkat 36,8% dari tahun 1997) dan meningkat lagi 7,4% di tahun 1999 (menjadi Rp14,53 T). |
Meningkat. Rp23,9 T di tahun 2002 (meningkat 18,2% dr 2001) dan meningkat lagi 9,6% di tahun 2003 (menjadi Rp26,2 T). |
Meningkat. Rp215,36 T di tahun 2017 (meningkat 10,2% dr 2016) dan meningkat lagi 8,9% di tahun 2018 (menjadi Rp234,43 T). |
Mengalami penurunan. Rp62,31 T di Semester I 2019 turun sebesar 12,6% menjadi Rp54,43 T di semester I tahun 2020. |
4 |
Tingkat Inflasi |
75,11% (1998); 4,39% (1999) |
12,49% (2002); 4,56% (2003) |
3,32% (2017); 3,13% (2018) |
2,38% (TW IV 2019); 3,04% (Tw I 2020) |
5 |
Wisman Terendah |
66,326 wisman di bulan Mei 1998, turun 28,63% dari bulan April 1998 (sebelum kejadian). Recovery mulai bulan Juni 1998. |
60.836 wisman di bulan Januari 2003, turun 59,64% dari bulan September 2002 (sebelum kejadian). Recovery mulai Februari 2003. |
315.909 wisman di bulan Desember 2017, turun 32,1% dari bulan September 2017 (sebelum kejadian). Recovery mulai Januari 2018. |
Hanya 32 wisman di bulan Juni 2020, turun 99,99% dari bulan Desember 2019 (sebelum Covid-19). Belum diketahui kapan Recovery. |
6 |
Tingkat Penghunian Kamar (TPK) Hotel Berbintang |
Turun 6,5 poin. |
Turun 5,41 poin di 2002, dan turun lagi 8,2 poin di 2003 (Total 13,6 poin dari tahun 2001-2003) |
Turun 1,49 poin. |
Turun 60,5 poin. |
7 |
Tingkat Pengang-guran Terbuka (TPT) (%) |
2,71 (1997); 4,61 (1998); 3,56 (1999) |
2,82 (2001); 3,51 (2002); 7,58 (2003) |
1,89 (2016); 1,48 (2017); 1,37 (2018) |
1,52 (2019); 1,21 (Februari 2020*) *rilis berikutnya Agustus 2020. |
8 |
Tingkat Kemiskinan (%) |
9,57 (1997); 9,25 (1998); 8,71 (1999) |
8,15 (2001); 7,18 (2002); 7,84 (2003) |
4,15 (2016); 4,14 (2017); 3,91 (2018) |
3,61 (2019); 3,78 (Maret 2020) |
Sumber: BPS Provinsi Bali, Bank Indonesia Provinsi Bali, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (diolah). |
Dengan demikian, dampak pandemi Covid-19 terhadap perekonomian Bali sejauh ini memang lebih parah jika dibandingkan dengan dampak Bom Bali, khususnya Bom Bali I. Hal ini didasarkan pada indikator-indikator yang tersaji di atas. Hal yang menjadi tantangan paling besar untuk menentukan seberapa parah dampak Covid-19 ini adalah faktor ketidakpastian kapan berakhirnya. Sedangkan bila dibandingkan dengan krisis ekonomi 1998 maka perlu diteliti lebih lanjut, karena kondisi yang dihadapi dalam kedua kejadian tersebut benar-benar berbeda. Meskipun demikian, kita patut bersyukur dengan kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan kebijakan yang tepat, beberapa indikator ekonomi dapat dipantau dan relatif mampu dikendalikan pergerakannya.