Oleh: Hendry Wibowo, Kepala Seksi Bank KPPN Poso
Pada tanggal 5 November 2007 atau 11 tahun lalu Presiden Republik Indonesia, meluncurkan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dengan fasilitas penjaminan kredit dari Pemerintah. KUR merupakan salah satu program pemerintah dalam meningkatkan akses pembiayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) kepada lembaga keuangan dengan pola penjaminan.
KUR adalah kredit/pembiayaan modal kerja dan/atau investasi kepada debitur individu/perseorangan, badan usaha dan/atau kelompok usaha yang produktif dan layak namun belum memiliki agunan tambahan atau agunan tambahan belum cukup. UMKM dan Koperasi yang diharapkan dapat mengakses KUR adalah yang bergerak di sektor usaha produktif antara lain: pertanian, perikanan dan kelautan, perindustrian, kehutanan, dan jasa keuangan simpan pinjam. Pelaksanaan KUR bertujuan untuk: 1) meningkatkan dan memperluas akses pembiayaan kepada usaha produktif; 2) meningkatkan kapasitas daya saing usaha mikro, kecil, dan menengah; dan 3) mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.
Penerima KUR terdiri dari: 1) usaha mikro, kecil, dan menengah; 2) calon tenaga kerja Indonesia yang akan bekerja di luar negeri; 3) calon pekerja magang di luar negeri; 4) anggota keluarga dari karyawan/karyawati yang berpenghasilan tetap atau bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI); 5) TKI yang purna bekerja di luar negeri; 6) pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja; 7) usaha mikro, kecil, dan menengah di wilayah perbatasan dengan negara lain; dan/atau 8) kelompok usaha seperti Kelompok Usaha Bersama (KUBE), Gabungan Kelompok Tani dan Nelayan (Gapoktan), dan kelompok usaha lainnya.
Penyaluran KUR dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Yang dimaksud secara langsung adalah UMKM dan Koperasi dapat langsung mengakses KUR di Kantor Cabang atau Kantor Cabang Pembantu Bank Pelaksana, sedangkan secara tidak langsung adalah usaha mikro dapat mengakses KUR melalui Lembaga Keuangan Mikro dan Koperasi Simpan Pinjam/Usaha Simpan Pinjam (KSP/USP), atau melalui kegiatan linkage program lainnya yang bekerja sama dengan Bank Pelaksana. Hal ini dimaksudkan untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada usaha mikro.
Dalam perkembangannya, berdasarkan data yang diperoleh dari Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, KUR skema subsidi Imbal Jasa Penjaminan (IJP) sejak November 2007 sampai dengan 31 Desember 2014 telah disalurkan sebesar Rp178,85 triliun. Sedangkan kebijakan KUR baru yaitu dengan skema subsidi bunga yang diluncurkan sejak 14 Agustus 2015 sampai dengan 31 Desember 2017 telah tersalurkan sebesar Rp213,88 triliun. Untuk tahun 2017 saja, jumlah kredit yang disalurkan adalah sebesar Rp 96,7 triliun kepada 4 juta debitur, dengan tingkat Non Performing Loan (NPL) sangat kecil, yaitu 0,3%.
Penajaman dilakukan pada arah kebijakan di bidang UMKM dan koperasi periode 2015-2019 yaitu dengan meningkatkan daya saing UMKM dan koperasi, sehingga mampu tumbuh menjadi usaha yang berkelanjutan dengan skala yang lebih besar dalam rangka mendukung kemandirian perekonomian nasional. Strategi pembangunan di bidang UMKM dan koperasi juga dilaksanakan dengan cara: 1) Peningkatan kualitas sumber daya manusia, 2) Peningkatan akses pembiayaan dan perluasan skema pembiayaan, 3) Peningkatan nilai tambah produk dan jangkauan pemasaran, 4) Penguatan kelembagaan usaha, 5) Peningkatan kemudahan, kepastian dan perlindungan usaha.
Memperhatikan arah kebijakan peningkatan daya saing UMKM tersebut, Presiden RI pada tahun 2015 menetapkan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Komite Kebijakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah sebagaimana diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2015. Komite Kebijakan Pembiayaan Bagi UMKM diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan beranggotakan para menteri/kepala lembaga terkait dengan tugas untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan pembiayaan bagi UMKM termasuk penetapan prioritas bidang usaha, melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan kebijakan pembiayaan bagi UMKM, dan mengambil langkah-langkah penyelesaian hambatan dan permasalahan dalam pelaksanaan kebijakan pembiayaan bagi UMKM.
Pada akhir tahun 2017, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian menetapkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 11 Tahun 2017 tentang Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Rakyat yang mulai berlaku efektif sejak 1 Januari 2018, kemudian pada tahun 2018 dilakukan perubahan melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 8 Tahun 2018. Dalam peraturan tersebut, terdapat 12 ketentuan baru yaitu terkait penurunan suku bunga, kelompok usaha sebagai penerima KUR, skema KUR Khusus, pengaturan minimum porsi penyaluran KUR ke sektor produksi, skema KUR multisektor, mekanisme pembayaran yarnen dan grace period, perubahan istilah KUR Ritel menjadi KUR Kecil, jumlah plafon KUR Mikro untuk sektor produksi, penyaluran KUR bersamaan dengan kredit lain yang dibolehkan, struktur biaya KUR Penempatan TKI, KUR untuk masyarakat perbatasan, dan KUR untuk optimalisasi KUBE.
Setelah diluncurkan selama 11 tahun, pada tahun 2018 lalu pemerintah menetapkan plafon maksimal KUR sebesar Rp 120 triliun yang merupakan peningkatan plafon yang signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sehingga diharapkan dapat memberikan kemudahan pemberian kredit kepada UMKM khususnya di sektor pertanian, kelautan dan perikanan, industri pengolahan, kontruksi dan sektor jasa produksi, serta penempatan TKI di luar negeri.
Pelaksanaan program KUR melibatkan beberapa pihak yang memiliki perannya masing-masing, seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kementerian Keuangan, Pemerintah Daerah, Perbankan, dan Lembaga Penjamin, namun pada praktiknya di daerah kurang berjalan dengan baik, hal ini dikarenakan masih adanya ego sektoral masing-masing pihak. Yang dimaksud ego sektoral disini adalah sikap yang ditunjukkan oleh suatu organisasi yang kurang bersinergi untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang ada.
Sebagai contoh Pemda memiliki peran yang penting dalam pelaksanaan KUR di daerah sesuai Surat Edaran Mendagri Nomor 581/6871/SJ Tahun 2015 tentang Kredit Usaha Rakyat antara lain: a) melakukan upload data calon penerima KUR potensial untuk dapat dibiayai KUR ke dalam Sistem Informasi Kredit Program (SIKP); b) mengidentifikasi data calon penerima KUR yang diupload oleh penyalur KUR dan perusahaan penjamin ke dalam SIKP; c) mengalokasikan anggaran dalam APBD untuk keperluan pengembangan dan pendampingan usaha penerima KUR; d) membentuk dan mengoptimalkan Tim Monitoring dan Evaluasi KUR yang beranggotakan instansi dan SKPD terkait, Bank, dan Perusahaan Penjamin, serta menetapkan Sekretariat Bersama Tim Monev; e) membangun kerjasama dengan kementerian/Lembaga terkait, dalam upaya melakukan sosialisasi kepada seluruh stakeholder; f) menyelenggarakan Rapat Koordinasi yang dilakukan secara periodik dengan maksud untuk melakukan evaluasi terhadap capaian, serta kendala yang dihadapi pada pelaksanaan KUR di Daerah; dan g) menyampaikan laporan pelaksanaan KUR pada setiap 6 (enam) bulan, kepada Komite Kebijakan Pembiayaan bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Dengan peran penting tersebut serta dukungan sumber daya yang dimiliki seharusnya Pemda dapat menjadi motor penggerak dalam pengembangan dan pendampingan UMKM untuk selanjutnya mengusulkannya sebagai calon debitur penerima KUR melalui perekaman data pada SIKP ataupun menyampaikan daftar UMKM secara manual kepada pihak perbankan selaku penyalur KUR. Data debitur yang direkam atau disampaikan oleh Pemda selanjutnya dimanfaatkan oleh pihak perbankan untuk melakukan survei dan analisa kelayakan UMKM dalam memperoleh dana KUR. Dalam melakukan analisa kredit pihak perbankan tentunya berpedoman pada regulasi dan standar operasional prosedur (SOP) yang berlaku, sehingga sangat memungkinkan beberapa UMKM tersebut tidak layak memperoleh KUR. Apabila terdapat UMKM yang tidak layak memperoleh KUR, maka Pemda harus dapat menerima hal tersebut sebagai keputusan pihak penyalur dan memahami bahwa kedua pihak telah menjalankan perannya masing-masing. Selanjutnya Kementerian Keuangan melalui instansi vertikal di daerah perlu mengambil peran yang strategis dalam memberikan pemahaman, memfasilitasi pertemuan masing-masing pihak, dan melakukan monitoring dan evaluasi bersama atas program KUR tersebut. Apabila mekanisme ini berjalan di daerah tentunya dapat membantu meningkatkan penyaluran KUR, namun hal ini tidak berjalan dengan semestinya karena pada praktiknya sebagai salah satu contoh pihak perbankan seolah berjalan sendiri untuk mencari calon debitur yang layak memperoleh KUR.
Faktor lain yang menyebabkan ego sektoral adalah ketiadaan atau minimnya anggaran yang dimiliki Pemda dalam pelaksanaan KUR, sehingga Pemda mengalami keterbatasan ketika diminta bantuan untuk ikut bersama mendukung pelaksanaan KUR melalui sosialisasi, workshop, pendataan, monitoring dan evaluasi. Padahal sebagai bagian dari suatu program pemerintah, antara satu pihak dengan pihak yang lain merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan terdapat saling keterkaitan kewenangan dalam menjalankan dan menjalankan berbagai peran dalam pelaksanaan KUR. Oleh karena itu, perlu langkah-langkah yang tepat agar ego sektoral ini dapat dikurangi bahkan dihilangkan, sehingga antar pihak dapat bersatu dan bersinergi menjalankan berbagai tugasnya dan memaksimalkan perannya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mari Tingkatkan Sinergi Untuk Kemakmuran Negeri!