Jl. Mayjen Sutoyo No. 34, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara

 

Oleh: Arina Noor Rahma

Mulai tahun 2024, Pemerintah mulai melaksanakan kebijakan pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang dinilai akan efektif dalam menurunkan konsumsi masyarakat terhadap gula, serta menekan biaya penanganan penyakit akibat konsumsi gula berlebih. Penerapan kebijakan ini sebelumnya mengalami penundaan dikarenakan pertimbangan banyak faktor seperti pemulihan ekonomi nasional, kondisi kesehatan masyarakat, dan situasi ekonomi global.

Sesuai dengan Undang-Undang nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai, cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-Undang Cukai. Pada hal ini, beberapa karakteristik barang yang dapat dikenakan cukai adalah barang yang:

  1. konsumsinya perlu dikendalikan,
  2. peredarannya perlu diawasi,
  3. pemakaiannya dapat menimbulkan efek negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup,
  4. pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.

Menimbang dari aturan di atas, serta melalui pembahasan secara komprehensif selama beberapa tahun, Pemerintah memutuskan bahwa minuman berpemanis memiliki karakteristik sebagai barang cukai. Konsumsi minuman berpemanis secara berlebih dinilai memiliki banyak dampak negatif bagi kesehatan masyarakat. Tidak hanya itu, hal ini juga memiliki efek domino terhadap kondisi keuangan negara.

Kemudian, mengapa pengenaan cukai pada minuman berpemanis harus segera dilakukan?

Menurut data penelitian Taipei Medical University dan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, konsumsi gula masyarakat dalam jangka waktu 10 tahun (1992-2020) meningkat sebesar 40%, lebih tinggi 31% dari peningkatan konsumsi gula global yang hanya 9%. Selain itu, terdapat peningkatan konsumsi masyarakat terhadap minuman berpemanis. Dilihat dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dapat disimpulkan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun (1996-2014), konsumsi masyarakat pada minuman berpemanis meningkat secara signifikan. Data menyebutkan konsumsi minuman berpemanis pada 1996 yaitu 24 juta liter, sedangkan pada tahun 2014 meningkat menjadi 405 juta liter. Hal ini menjadi perhatian pemerintah, karena peningkatan konsumsi minuman berpemanis berjalan positif dengan peningkatan penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, obesitas, dan penyakit kardiovaskular.

Dilansir dari International Diabetes Federation (IDF), pada tahun 2021 Indonesia menempati posisi ke-5 negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak di Dunia. IDF mencatat terdapat 19,5 juta penduduk Indonesia pada rentang usia 20-79 tahun yang menderita diabetes. Angka ini diproyeksikan akan terus meningkat hingga tahun 2045 yang bisa mencapai 28,5 juta penderita. Diabetes juga ditetapkan menjadi salah satu penyakit paling mematikan di Indonesia pada tahun 2019. Data dari World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa diabetes melitus merupakan penyakit paling mematikan ke-3 di Indonesia setelah stroke dan jantung iskemik. Pada setiap 100 ribu populasi, terdapat 40.78 kasus kematian akibat penyakit diabetes.

Obesitas juga menjadi penyakit yang dapat disebabkan karena konsumsi minuman berpemanis secara berlebihan. Saat ini, obesitas menjadi salah satu krisis kesehatan yang sedang berkembang di Indonesia. Menurut WHO, Indonesia merupakan negara dengan tingkat obesitas tertinggi di Asia Tenggara. Data Kementerian Kesehatan mengatakan bahwa tingkat obesitas di Indonesia naik secara signifikan. Pada tahun 2019, angka obesitas di Indonesia sebesar 14% dari populasi. Lalu pada tahun 2023, tercatat 25% dari penduduk Indonesia tergolong kelebihan berat badan. Meskipun obesitas bukan merupakan penyakit yang mematikan, namun obesitas dapat meningkatkan risiko lebih tinggi untuk terjangkit penyakit lain seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular.

Penyakit kardiovaskular merupakan penyakit yang menyerang organ jantung dan pembuluh darah. Gejala umum dari penyakit ini adalah adanya serangan jantung dan stroke. Terdapat lima besar faktor yang dihimpun oleh Kementerian Kesehatan mengenai penyebab utama penyakit kardiovaskular yaitu tekanan darah tinggi, gula darah tinggi, rokok, dan obesitas. Hingga tahun 2019, WHO mencatat bahwa penyakit kardiovaskular merupakan penyakit paling mematikan di Indonesia. Stroke menempati urutan pertama penyakit dengan tingkat kematian tertinggi di Indonesia, diikuti dengan penyakit jantung iskemik di urutan kedua. Pada setiap 100.000 populasi masyarakat, terdapat 131.8 kasus kematian akibat stroke, dan 95.68 kematian akibat jantung iskemik.

Tingginya kasus penyakit kardiovaskular beriringan positif dengan kenaikan beban pengeluaran negara untuk menangani penyakit tersebut. Pada tahun 2022, BPJS Kesehatan membukukan penyakit jantung menjadi penyakit dengan biaya penanganan tertinggi yaitu Rp 12.14 Triliun dengan 15.5 juta kasus, diikuti dengan penyakit stroke di urutan ketiga yang menelan biaya hingga Rp 3.24 Triliun dengan 2.54 juta kasus. Penerima manfaat BPJS Kesehatan tersebut didominasi oleh peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) yang dibiayai melalui APBN dan setiap tahunnya mengalami lonjakan.

Dengan melihat dampak konsumsi minuman berpemanis terhadap kontribusi peningkatan tingkat kematian akibat PTM, peningkatan PTM dan beban keuangan untuk penanganan penyakit, cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan harus segera dilaksanakan. Cukai MBDK merupakan kebijakan yang dinilai (cost-effective) atau hemat biaya. Kebijakan ini terbukti berhasil menurunkan tingkat konsumsi masyarakat terhadap MBDK di beberapa negara seperti Meksiko, Perancis, dan Finlandia. Pelaksanaan kebijakan ini akan lebih efektif jika diikuti dengan strategi promosi kesehatan oleh Pemerintah, seperti sosialisasi bahaya konsumsi gula berlebih, edukasi hidup sehat, atau pemberian label nutrisi pada produk pangan.

Peta Situs   |  Email Kemenkeu   |   FAQ   |   Prasyarat   |   Hubungi Kami

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Kanwil DJPb Prov. Sultra
Jalan Mayjen Sutoyo No.34, Tipulu, Kendari Barat, Kota Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

IKUTI KAMI

 

PENGADUAN

 

Search