Haminjon (dibaca: hamijjon, huruf n pertama dibunyikan seperti j, bukan seperti en) adalah sebuah kata dalam bahasa Batak yang dahulu lazim terdengar di daerah Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), kota kelahiran penulis. Kata haminjon diserap ke dalam bahasa Indonesia dengan sedikit perubahan fonetik menjadi kemenyan. Itu menurut pendapat penulis. Siapa yang menyerap dan siapa yang diserap, wallahualam. Yang pasti, kedua kata tersebut memiliki kesamaan jumlah suku kata, baik secara lisan maupun tulisan: ha-min-jon dan ke-me-nyan.
Apa yang menarik dari kata ini? Jika diasumsikan bahwa bahasa Batak menyerap kata dari bahasa Indonesia, maka dapat diduga bahwa kata kemenyan lebih tua usianya dari kata haminjon. Dugaan ini mengarah pada kemungkinan bahwa pohon haminjon di kampung saya bukanlah tumbuhan asli hutan tersebut, melainkan tanaman pendatang yang mungkin dibawa oleh manusia, burung, atau hewan lain yang bermigrasi di masa lampau. Sebaliknya, jika bahasa Indonesia yang menyerap dari bahasa Batak, maka besar kemungkinan bahwa pohon kemenyan adalah flora asli hutan Humbahas. Jika hal ini benar, ada celah kecil untuk menduga bahwa orang Majus dari Timur, yang menurut kitab suci membawa persembahan berupa kemenyan saat kelahiran Yesus di Betlehem, adalah orang Batak. Kembali, wallahualam.
Dan jika benar bahwa kemenyan adalah tanaman asli hutan Humbahas—sementara pemerintah daerah selama beberapa periode kepemimpinan tampak belum berhasil menjadikan kemenyan sebagai produk unggulan daerah—maka patut dipertanyakan peran mereka dalam memanfaatkan potensi ini. Mengingat APBD seharusnya berfungsi sebagai pemicu denyut perekonomian daerah, mengapa tidak ada langkah signifikan untuk menjadikan Humbahas sebagai sentra kemenyan Sumatra Utara, bahkan Indonesia? Tentu akan terasa lucu jika para pengambil kebijakan hanya bisa menjawab dengan satu kata: wallahualam.
Sayangnya, kegagalan ini jarang disorot. Banyak sarjana asal Humbahas yang setelah lulus kuliah enggan kembali ke kampung halaman. Mereka lupa bahwa biaya pendidikan mereka dahulu sebagian besar berasal dari hasil pohon kemenyan.
Tanaman kemenyan merupakan tanaman keras yang menghasilkan getah bernilai jual tinggi. Pertanyaannya: berapa rupiah harga jualnya dan berapa kilogram getah yang bisa dihasilkan dari satu pohon? Dulu, harga dan produksinya cukup tinggi hingga mampu membiayai sekolah bahkan kuliah. Namun kini tidak lagi. Bukan wallahualam alasannya. Beberapa faktor penyebabnya antara lain: harga pasar yang tidak transparan karena keterbatasan alat komunikasi, peran dominan toke dalam sistem monopoli dagang, rendahnya pemahaman petani terhadap mekanisme pasar, serta kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada toke karena mereka menyumbang lebih besar kepada PAD daripada para petani.
Kemenyan tumbuh di hutan-hutan Kabupaten Humbahas, Dairi, Tapanuli Utara, dan Toba—yang semuanya berada di satu gugusan pegunungan. Namun pohon ini tidak tumbuh di Kabupaten Samosir. Dalam hal ini, "tumbuh" berarti mampu menghasilkan getah secara normal, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas, sehingga menjadikannya habitat alami. Yang paling subur adalah kawasan hutan Humbahas. Diperkirakan pohon kemenyan telah hidup di hutan Humbahas selama ratusan tahun, namun baru sekitar 100 tahun terakhir dimanfaatkan secara komersial oleh penduduk sebagai sumber mata pencaharian. Hingga kini, kebun haminjon masih menjadi andalan warga di Dolok Sanggul, ibu kota Kabupaten Humbahas.
Dukungan belanja APBN terhadap UMKM sangat jelas terlihat dari sisi regulasi dan alokasi anggaran dalam belasan tahun terakhir. Di era Presiden Joko Widodo, UMKM mendapat perhatian besar melalui berbagai kebijakan—seperti kemudahan perizinan, akses pembiayaan, dan digitalisasi. Semangat yang sama tampaknya berlanjut di era Presiden Prabowo. Namun, sayangnya, gema dari Istana itu tampaknya hanya terdengar sayup di Humbahas. Atau jangan-jangan para pendengarnya pura-pura tuli? Sekilas mirip lawakan Batak tentang nenek tua yang tak kunjung berpulang karena telinganya sudah begitu tua hingga tak lagi mendengar panggilan Tuhan.
Tinggi daratan, kadar kebasaan tanah yang pas, kehadiran tanaman pendukung, suhu yang dingin, curah hujan tinggi, serta minimnya hama alami menjadikan hutan Humbahas habitat yang ideal bagi tumbuhnya pohon kemenyan. Namun kenyataan ini belum juga menjadikan Humbahas sebagai sentra kemenyan berkelas dunia.
Sebagai bahan refleksi, mari bandingkan dengan Provinsi Riau yang secara alamiah cocok untuk sawit. Kecocokan ini tidak berhenti pada perkebunan tradisional saja, tetapi berkembang hingga menjadi pusat industri sawit yang hasilnya mendominasi pasar internasional, menjadi salah satu pilar menuju visi Indonesia Emas 2045. Jika itu bisa terjadi di sektor sawit, mengapa tidak di sektor kemenyan? Bayangkan jika kelak ada produk unggulan Indonesia bernama CKR – Crude Kemenyan Resin. Siapa tahu, orang Majus dari Timur yang membawa kemenyan ke luar negeri dulunya berasal dari pegunungan Batak.
Melalui tulisan ini, penulis—yang lahir dan besar di Humbahas dan pernah berkebun kemenyan bersama orang tua—berharap suatu saat kejayaan kemenyan kembali hadir. Masa di mana kemenyan mampu membiayai sekolah dan kuliah anak-anak desa hingga menjadi sarjana. Impian ini perlu dijemput melalui refocusing alokasi anggaran, baik APBDes, APBD, maupun APBN, untuk mendukung sektor perkebunan kemenyan di hutan Humbahas. Mari seluruh pihak yang menjadi pemangku kepentingan di sektor ini segera mengambil langkah awalnya masing-masing.