Harta
hei boleh saja, boleh saja kau cintai dunia
tapi ingat suatu saat kau kan meninggalkannya
-rhoma irama: boleh saja-
Pada era Nabi Musa A.S. menyampaikan risalahnya di bumi Mesir, hidup seorang sangat kaya, dengan timbunan harta, yang bahkan untuk membawa kunci-kunci gudangnya diperlukan berpuluh orang untuk mengangkatnya. Ada suatu riwayat, menceritakan bahwa sebelum kaya sejatinya dia orang yang miskin papa, bahkan untuk makan sehari-haripun belum tentu ada simpanan bahan pokok di rumahnya. Dengan doa Nabi Musa A.S., seorang kalimullah-nabi yang diajak berbincang langsung oleh Allah, si miskin papa menjadi orang terkaya yang tak tertandingi, hingga membikin iri siapapun yang hatinya terpaut dengan dunia, moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun, sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar (Q.S. 28: 79-80), namun bagi orang alim hal itu tidak berarti apa-apa, pahala Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, dan tidak diperoleh pahala itu, kecuali oleh orang- orang yang sabar.
Harta yang banyak membuat Qarun menjadi sombong, angkuh dan berbuat zalim, kufur kepada Nabi Musa A.S., merendahkan dan menghina kaumnya, suka memamerkan harta kekayaannya. Betapa di ruang publik yang tak terbatas saat ini, sangat tak terbatas pula yang menunjukkan aku punya dan memiliki, namun apabila tiba nasihat di telinganya, "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku" padahal Allah melapangkan rezki bagi siapa yang Dia kehendaki dari hamba-hambanya dan menyempitkannya, dan Qarunpun ditelan bumi beserta harta yang dibanggakannya, namun tak sedikitpun mampu menolongnya.
Tsalabah selalu tergesa-gesa pulang setelah menunaikan salat jamaah bersama Nabi S.A.W. tak peduli siang malam, atau pagi dan sore. Setiap selesai salam langsung bangkit berdiri, plencing, meninggalkan segala zikir dan doa yang dipimpin Nabi, yang tentu saja menjadi tanya di benak Nabi dan para sahabat. Bukan berarti Nabi tidak mengetahui, ada apa di balik itu semua. Namun rasa cinta dan kasih sayanglah yang membuat Nabi mempertanyakan ketidakjenakan Tsalabah dalam berjamaah di masjid, sehingga buru-buru melangkahkan kaki keluar setelah mengucapkan salam.
Kesempatan baik tak datang dua kali, Tsalabahpun membalas pertanyaan Nabi dengan menceritakan bahwa ia tak punya baju ganti selain yang menempel di tubuh, maka selesai salat di masjid ia harus segera pulang agar bajunya dapat dipakai istrinya untuk menunaikan salat. Dan pada akhirnya meminta didoakan Kanjeng Nabi agar diberi kecukupan harta, dengan harapan bila sudah tercukupi kebutuhannya ia akan dapat lebih khusyu beribadah.
Nabi, seorang manusia linuwih yang sangat memahami dan mengetahui sifat serta karakter para sahabatnya, hanya menyuruh Tsalabah untuk sabar menghadapi itu semua, karena yakinlah bahwa itu lebih baik dari pada yang diangankan Tsalabah.
Namun Tsalabah terlanjur basah, dan terus memaksa Nabi untuk mendoakannya yang pada akhirnya dengan kewelas asihan Kanjeng Nabi, beliau mendoakan Tsalabah untuk dicukupi semua kebutuhannya, maka terjadilah.
Setelah memiliki harta yang tak mudah untuk menghitungnya, Tsalabah mulai lupa dengan janji dan sumpahnya. Salat jamaah tak lagi terlihat di setiap waktu, hanya sekali dua, bahkan berangsur menjadi sepekan sekali hingga dalam setahun sekali dan tak pernah sekalipun terlihat di jajaran makmum jamaah Nabi.
Puncaknya ketika ada utusan Nabi menagih zakat yang wajib dibayar Tsalabah, peristiwa ribuan tahun yang lewat kembali terulang, Aku tidak tahu, apa ini? Pergilah sehingga selesai tugasmu, nanti kembali lagi kepadaku. Tak ada zakat yang dibayarkan, hanya kesombongan yang tersisa dan pada akhirnya penyesalan tidak berguna. Nabi masygul, tidak mau menerima lagi zakat dari Tsalabah, demikian juga para sahabat sesudah Nabi berpulang, tak seorangpun mau memungut zakat dan apapun dari Tsalabah. Runtuh jiwa dan raga Tsalabah, demikian juga harta bendanya tak sedikitpun mampu menolongnya.
Tahun 1602 Vereenigde Oostindische Compagnie-VOC didirikan di Negeri Belanda dan mulai menancapkan kukunya di tanah jajahan Hindia Belanda. Tahun-tahun di masa ketika bangsa Eropa mulai melirik timur, dalam rangka mengumpulkan kekayaan dari hasil rempah-rempah yang berharga selangit dan mampu memakmurkan Belanda namun menyengsarakan rakyat Indonesia.
Sejarah terulang kembali, kesombongan dan keserakahan meruntuhkan sebuah perusahaan paling kaya di dunia, dengan lebih dari 150 kapal dagang, 40 kapal perang, 50.000 karyawan, 10.000 tentara swasta, dan pembayaran dividen 40% dari investasi awal. Jika dihitung sampai saat ini, aset VOC diperkirakan sebesar US$ 7,9 triliun (liputan6.com).
Monopoli, kerja rodi, intimidasi dan politik adu domba (devide et impera) yang membuat semuanya menjadi mungkin, dilakukan dengan cara yang hampir sekeji penaklukan jagat Inca dan Aztec oleh para petualang militer Spanyol satu abad sebelumnya (Iksaka Banu: Rasina), namun korupsi yang menggerogoti jantung VOC tak mampu ditepis para pemimpinnya, masing-masing ingin memperkaya diri sendiri, tak mau berbagi, tak peduli dengan liyan, meskipun orang lain sengsara akibat perbuatannya.
Sekali lagi sejarah terulang, VOC runtuh oleh kecintaan terhadap harta, yang ditempuh para punggawanya dengan melakukan ketidakbaikan, hanya karena tak mau orang lain lebih kaya dari dirinya, hanya karena tak sudi melihat orang lain menyamai apa yang dimilikinya, berlomba dalam kekayaan, meski harus menempuh jalan menyimpang.
Betapa Kanjeng Nabi sangat faham dan mengerti dengan sifat dan karakter manusia, apabila diberi satu gunung emas akan meminta gunung yang kedua, ketiga dan seterusnya, hingga berhenti saat segumpal tanah menyumpal mulutnya (muttafaqun’alaih), dan Allah sendiri yang menciptakan manusia juga telah mewanti-wanti, dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Q.S. 28: 77).
Harta, dunia bukan seberapa banyak yang kita genggam, bukan seberapa berat yang kita pikul, dan bukan seberapa luas yang dapat kita hamparkan, namun lebih kepada untuk apa itu semua, karena hanyalah jangan melupakan, berarti bukan yang utama dalam rangka mencapai tujuan hakiki manusia, kembali ke kampung halaman sejati.