Poso
agar kamu bertakwa
-Q.S. 2:183-
Setelah perjanjian Hudaibiyah, yakni perjanjian gencatan senjata antara Rasul dan Kaum Quraisy Makah, Kanjeng Nabi berkesempatan untuk berkorespondensi ke negara tetangga, baik dengan bangsa Romawi maupun dengan bangsa penyembah api di Jazirah Iran, hingga ke negeri-negeri benua Afrika. Tak ketinggalan dengan bangsa dan suku di sekitar jazirah Arab, yang dikuasai oleh penguasa lokal atau raja-raja kecil, Rasul mengutus dutanya untuk menyampaikan ajakan kepada risalah ilahi.
Ada yang menyambut baik ajakan tersebut, meski tidak serta merta mengikutinya, namun ada pula yang dengan frontal menolaknya, seperti Kisra di Persia yang merobek dan membuang surat yang dikirimkan Kanjeng Nabi, hingga Allah langsung memporak-porandakan kerajaannya, sang raja dibunuh oleh anaknya sendiri hingga suasana kerajaan menjadi kisruh.
Salah seorang raja yang menyambut baik ajakan Kanjeng Nabi, membalasnya dengan memberi hadiah seorang dokter, tabib, ahli obat, penyembuh yang diberi tugas untuk memeriksa, mengobati dan mengobservasi segala hal terkait kesehatan para sahabat dan Nabi pribadi.
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan hingga satu tahun berselang, dokter tersebut tidak menemukan satupun penduduk Madinah, khususnya pengikut Nabi, yang pernah mengalami sakit, meskipun hanya sakit ringan, semacam flu maupun sakit kepala yang terkadang datang saat musim dingin menjelang, atau saat musim panas yang sanggup mengeringkan oase di sekitar wilayah Madinah.
Praktis setiap hari dokter tersebut hanya berkeliling dari satu rumah ke rumah yang lain, tanpa ada satupun penduduk yang sakit dan memerlukan pengobatan, atau membutuhkan ketrampilannya mengobati yang sakit.
Dalam mengobati rasa herannya (bahkan dokterpun perlu berobat), sang dokter menghadap Kanjeng Nabi, dan menanyakan kondisi serta keadaan yang dihadapinya, bagaimana mungkin suatu kaum yang bermukim dalam satu wilayah tidak terdapat satupun penduduknya yang pernah sakit. Nabi bersabda, “Kami adalah kaum yang makan ketika lapar dan berhenti sebelum kenyang”. Meski termasuk hadits dhaif namun maknanya benar (muslim.or.id).
Bila kita memiliki pakaian sepenuh lemari, hingga terkadang kita sendiri lupa bahwa kita punya baju batik warna merah dengan pola bunga dan kumbang yang setelah kita coba kenakan, tidak muat lagi. Meski memiliki berpuluh bahkan beratus pakaian, hanya sepasang yang kita kenakan, begitu berganti dari satu baju ke pakaian yang lain (pakaian juga bisa berarti hal lain yang terkait dengan kehidupan kita sehari-hari) di hari yang berganti pula.
Seorang penumpang pesawat terbang terpaksa harus mengenakan baju yang dibawanya karena melebihi batas berat bagasi. Tak tanggung-tanggung lebih kurang dua kilogram pakaian dikenakan agar batas berat bagasi bisa terpenuhi. Pria bernama Gel Rodriguez bermasalah dengan koper yang kelebihan muatan saat diperiksa staf bandara di konter check-in. Apa yang kemudian dilakukannya? Dia mengenakan sebagian besar pakaian yang berada di tas untuk mengurangi beban kopernya. 2,5 kilogram dikeluarkan dari koper kemudian dikenakan satu persatu agar dia bisa tetap naik bersama barang bawaannya, sesuai dengan peraturan maskapai yang akan ditumpanginya (beritatrans.com). Kesulitan, tersiksa dan mengganggu orang di sekitarnya, tidak nyaman, akibat berlembar-lembar pakaian menutupi badan.
Apabila dalam kegiatan sehari-hari, kesana kemari kita mengenakan bertumpuk pakaian, akibat pertama akan tumbuh rerasan diantara tetangga dan sejawat bahwa kita sudah termasuk dalam golongan orang-orang yang ditandai dengan jari telunjuk ditempel miring di dahi. Dampak berikutnya, segala tindakan dan omongan yang keluar dari mulut kita, tak akan lagi dianggap dan tak dihiraukan oleh siapapun.
Saat bermain game Ketika sedang istirahat, baik di komputer meja, di komputer jinjing maupun di ponsel pintar, ada kalanya kita mesti berhenti sejenak, menekan tombol pause, entah karena dipanggil pimpinan, waktunya makan siang, kopi yang keburu dingin, atau akan menunaikan hajat kepada Tuhan. Kita jeda sementara waktu, untuk nanti kembali meneruskan level yang belum tuntas, musuh yang mulai menembus batas demarkasi, zombie yang masih berkeliaran atau bola yang menyentuh tiang gawang dan memantul ke garis pinggir lapangan.
Saum atau puasa adalah menahan diri dari makan dan minum serta segala perbuatan yang bisa membatalkannya, mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari (id.wikipedia.org).
Menahan…
Betapa berat kegiatan yang bernama menahan, seorang kekasih menahan rindu untuk berjumpa dengan gantungan hatinya, waktu serasa berhenti, makan tak enak, tidur tak nyenyak. Si sakit menahan derita, sambil bertanya-tanya kapan sembuhnya, meski hanya sekadar flu yang mendera. Seorang atlit lari jauh juga menahan kekuatan kapan tiba garis finish, orang tua menahan lara ketika anaknya didera sengsara, bahkan menahan rasa nelangsa saat sang anak mulai berani melawan dengan kata-kata. Menahan keinginan yang tak terbatas, menahan hasrat memiliki segala hingga menghalalkan segala jalan dan dosa.
Karena hidup bukan melampiaskan, hidup bukan gas pol, hidup bukan los dol. Karena hidup penuh keterbatasan, hidup memahami batas-batas, ojo dumeh kata orang Jawa.
Karena itu Allah menciptakan konsep puasa, agar manusia menahan diri untuk hanya mengenakan satu lembar pakaian atau yang cukup untuk melindunginya dari panas dan dingin, agar hanya makan ketika perut sudah memberi tanda bahwa tiba waktunya diisi, dan sekuat tenaga untuk menahan agar tidak melampaui kapasitas isi perut, dan mampu berkata cukup, bukan memperturutkan keinginan lidah untuk terus memamah dan mengunyah.
Tidak ada unsur kehidupan manusia yang tidak memerlukan puasa, sosial, ekonomi, budaya, apalagi politik, bahkan di dalam puasa ada puasa dan Tuhan-pun berpuasa. Puasa adalah ruang cinta antara Tuhan dan hamba-Nya (mbah Nun).
Di saat dunia dihela dengan konsep materialisme yang menyingkirkan nilai ilahi, menafikan prinsip kemanusiaan, mengabaikan rasa bebrayan, menghilangkan hati meminggirkan nurani, saat itulah kita perlu menekan tombol pause kehidupan, berhenti sejenak, menahan segala asa keduniaan, menengok ke belakang apa yang sudah kita lakukan dan kembali meniti diri, sudahkah kita menapak jalan suci, jalan para Nabi, jalan yang bahkan keberadaannya diturunkan Tuhan jauh sebelum manusia sendiri ada menapak bumi.
Karena puasa adalah poso, ngeposne roso.