Salah satu elemen Dana Perimbangan adalah Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik. Definisi DAK Fisik sendiri dalam PMK nomor 130/PMK.07/2019 tentang Pengelolaan DAK Fisik adalah dana yang dialokasikan dalam APBN kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus fisik yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Porsi penyaluran DAK Fisik dilaksanakan dengan 3 tahap. Tahap I dibayarkan maksimal 25%, tahap II 45% dan Tahap III dibayarkan sebesar nilai kontrak kegiatan yang tercantum dalam daftar Berita Acara Serah Terima (BAST) barang/pekerjaan. Syarat-syarat dokumen yang harus dilengkapi dan diupload oleh Pemda diatur dalam PMK 121/PMK.07/2018.
Pemerintah telah mengalokasikan DAK Fisik dalam APBN 2019 sebesar Rp 69,33 triliun atau 11,11% dari total dana Transfer ke Daerah. Penyaluran DAK Fisik 2019 disalurkan melalui 173 KPPN di seluruh wilayah Indonesia. Sebelum tahun 2017, penyalurannya hanya dilakukan melalui KPPN Jakarta II. Perubahan kebijakan ini bertujuan untuk mendekatan pelayanan, meningkatkan efisiensi ketika diperlukan koordinasi dan konsultasi, serta untuk meningkatkan efektifitas monitoring atas serapan dana dan capaian output.
Penyerapan DAK Fisik hingga Triwulan III 2019 masih 42,99% atau dibawah serapan ideal yaitu 70%. Serapan periode yang sama tahun ini jika dibanding dengan dua tahun terakhir tergolong rendah (serapan tahun 2017 sebesar 68,29%, 2018 sebesar 72,40% , dan 2019 sebesar 42,99%). Oleh karena itu, perlu analisis mendalam guna mencari penyebab penurunan serapan DAK Fisik serta menemukan opsi solusinya.
Penyebab pertama, adanya tambahan persyaratan baru di tahun 2019 yaitu kewajiban Pemda melampirkan hasil reviu APIP atas serapan anggaran dan capaian output per bidang. Syarat ini memberatkan dan tentu saja menambah panjang rantai birokrasi. Boleh saja reviu ini dilakukan, tetapi cukup sebatas mereviu serapan dana dan tak perlu mereviu capaian output. Pemerintah perlu mengkaji ulang tambahan persyaratan ini karena dalam Persyatan Penyaluran DAK Tahap II ini sebenarnya yang dinilai hanya serapan dana minimum 75%, sedangkan persentase capaian output tidak diatur.
Penyebab kedua, Petunjuk Teknis DAK Fisik dari kementerian teknis sering terlambat terbit. Guna mengatasi hal ini, Kemenkeu dan kementerian teknis perlu mencari solusi terbaik agar Pemda tidak terhambat dalam melaksanakan DAK Fisik. Sebenarnya Kementerian teknis tak perlu menerbitkan petunjuk teknis setiap tahun jika jenis pekerjaan tersebut sama dan berulang. Pemda cukup mempedomani juknis yang sudah ada dalam menjalankan aktivitas fisiknya. Hal ini disamping mempercepat serapan dana dan capaian output, juga dapat mendukung kinerja positif pada Pemda yang telah berhasil menetapkan Perda APBD tepat waktu sebelum tahun anggaran dimulai.
Penyebab ketiga adalah kurangnya respon Pemda terhadap pengelolaan DAK Fisik. Sebagian Pemda tidak terlalu proaktif dalam mengelola dana DAK Fisik yang diterimanya. Hal ini berdampak pada hangusnya DAK Fisik yang disebabkan permasalahan internal maupun adminsitratif, seperti terjadinya gagal lelang kegiatan pengadaan barang/jasa. Kemenkeu perlu memberikan stimulus berupa reward konkret kepada Pemda dengan kinerja terbaik dalam mengelola DAK Fisik. Reward bisa berupa insentif tambahan pagu. Kebijakan ini tentu dapat dilakukan, berkaca pada pola yang telah diterapkan kepada K/L dengan memberikan reward insentif tambahan pagu anggaran atas K/L dengan kinerja terbaik (5 besar pada tiga kategori).
Penyebab lain adalah sebagian Pemda mengeluhkan adanya prioritas pengadaan barang melalui media e-katalog. Persepsi ini menjadi hambatan bagi Pemda, ketika spesifikasi barang yang dibutuhkan tidak tersedia dalam e-katalog. Hambatan lain ketika alokasi dana yang tersedia dari DAK Fisik tidak mencukupi/tidak sesuai dengan nilai harga yang tertera dalam e-katalog, menyebabkan barang tidak jadi dibeli Pemda, sehingga dana yang tersedia batal terserap. Sementara untuk melakukan pembelian barang melalui proses pengadaan biasa, Pemda merasa ragu dan cenderung tidak jadi melakukan pembelian barang. Mengatasi hal ini, sekiranya perlu adanya penegasan bahwa pengadaan barang tidak mutlak menggunakan e-katalog, tetapi Pemda diperkenankan menggunakan mekanisme lain seperti pengadaan langsung maupun lelang terbuka sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah maupun merujuk pada aturan yang diterbitkan oleh LKPP.
Alternatif lain yakni dengan membuat kebijakan memajukan waktu pemrosesan penyaluran DAK Fisik yang sebelumnya dimulai bulan Februari dimajukan ke bulan Januari. Persentase dan fase pencairan juga dapat ditinjau dan diubah menjadi dua tahap saja, guna menyederhanakan proses administrasi penyaluran DAK Fisik.
Kemenkeu patut pula mempertimbangkan memberikan fleksibilitas pengelolaan DAK Fisik bagi Pemda melalui penyederhanaan prasyarat pencairan tahap I yakni cukup melampirkan Perda APBD, Rencana Kegiatan, Laporan Serapan Dana dan Capaian Output tahun lalu. Sementara Daftar Kontrak Kegiatan yang sebelumnya wajib disampaikan dalam penyaluran Tahap I, digeser sebagai syarat pencairan tahap II. Pemerintah tak perlu lagi menilai batal atau tidaknya sebuah kontrak, tetapi cukup fokus pada kegiatan monitoring capaian kuantitas output secara kumulatif.
Opini oleh Aprijon
*)Disclaimer, tulisan ini pendapat pribadi dan tidak menggambarkan opini dari instansi penulis.
Tulisan telah dimuat di laman https://www.kemenkeu.go.id/ pada tanggal 31 Oktober 2019