Setiap tahun, ketika dokumen tebal berisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) diumumkan ke publik, sebagian besar dari kita mungkin hanya melihatnya sebagai ritual kenegaraan yang berulang. Kita mendengar angka-angka fantastis: ratusan triliun untuk pendidikan, puluhan triliun untuk kesehatan, dan miliaran untuk subsidi energi. Namun, di balik hitungan-hitungan itu, tersembunyi makna yang jauh lebih dalam dari sekadar laporan fiskal tahunan. APBN adalah wajah negara. Ia adalah janji yang diikrarkan kepada setiap warga negara, tanpa terkecuali.
Dalam dokumen APBN, terkandung harapan seorang ibu yang ingin anaknya tetap bisa bersekolah. Ada kecemasan seorang petani yang bertanya apakah ia masih bisa mendapat pupuk bersubsidi. Ada doa seorang lansia yang menanti uluran jaminan hidup di usia senja. APBN bukan hanya milik para pejabat atau ekonom. Ia adalah milik kita semua. Karena itu, kita menyebutnya APBN KiTa---bukan sekadar akronim dari Kinerja dan Fakta, tetapi sebuah penegasan bahwa anggaran ini disusun dari rakyat, oleh negara, dan untuk rakyat.
Filosofi APBN: Janji Negara yang Hidup
Setiap negara memiliki cara untuk menunjukkan keberpihakannya. Di negara demokratis, salah satu instrumen paling konkret dari keberpihakan itu adalah anggaran negara. Di sinilah negara telah menaruh prioritasnya. Di sinilah adanya keberpihakan diuji---apakah anggaran digunakan untuk menjangkau mereka yang paling membutuhkan.
Dalam konteks Indonesia, APBN telah menjadi tulang punggung pembangunan sekaligus jaring pengaman sosial. Dengan postur belanja mencapai lebih dari Rp3.500 triliun pada tahun 2025, negara berupaya keras memastikan bahwa setiap rupiah membawa manfaat nyata. APBN bukan sekadar alat pertumbuhan ekonomi, tetapi juga instrumen keadilan sosial dan kemanusiaan.
Pendidikan: Memuliakan Masa Depan Bangsa
Setiap anak bangsa, dari Sabang sampai Merauke, memiliki hak yang sama untuk bermimpi besar. Namun, mimpi itu kerap kandas di tengah jalan, bukan karena kurangnya potensi, tapi karena terbatasnya akses dan biaya. Di sinilah negara hadir melalui APBN.
Anggaran pendidikan sebagai mandatory yang mencapai 20% dari total belanja negara bukanlah angka kosong. Itu adalah investasi jangka panjang untuk peradaban. Program Indonesia Pintar, dana BOS, dan KIP Kuliah adalah bukti nyata negara mendorong transformasi sosial lewat pendidikan.
Saya pernah bertemu seorang siswa di salah satu daerah yang dengan semangat menceritakan cita-citanya menjadi guru. "Saya bisa sekolah karena ada KIP," katanya sambil tersenyum malu. Senyumnya adalah bukti bahwa APBN telah bekerja.
Kesehatan: Menyentuh yang Terpencil, Menyapa yang Terlupakan
Dalam dunia yang ideal, setiap warga memiliki akses kesehatan yang setara. Namun realitas kadang berkata lain. Masih banyak wilayah Indonesia yang minim tenaga medis dan fasilitas kesehatan. Di sinilah peran anggaran kesehatan menjadi sangat vital.
Lewat APBN, negara memastikan program JKN-KIS terus berlanjut dan menjangkau mereka yang sebelumnya tak tersentuh layanan kesehatan modern. Di desa-desa, puskesmas ditingkatkan. Di kota-kota, rumah sakit diperluas. Di daerah terpencil, insentif diberikan kepada para dokter dan bidan agar mereka mau mengabdi.
Anggaran bukan lagi sekadar alokasi, tetapi jembatan kemanusiaan. Ketika seorang anak di daerah pedalaman bisa mendapatkan vaksin atau ketika seorang lansia bisa menjalani operasi katarak tanpa biaya---itulah APBN dalam makna yang paling manusiawi.
Perlindungan Sosial: Negara Tidak Membiarkan Warganya Jatuh Sendiri
Ketika pandemi melanda, jutaan orang kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Negara tidak tinggal diam. Melalui APBN, disalurkan bantuan langsung tunai, subsidi upah, bantuan UMKM, hingga bansos reguler dan darurat. Di sinilah wajah negara tampil paling konkret---sebagai pelindung.
Program seperti PKH (Program Keluarga Harapan), kartu sembako, dan subsidi energi menjadi penyelamat bagi kelompok rentan. Tidak hanya untuk sekadar bertahan hidup, tetapi juga untuk tetap menjaga martabat.
APBN telah menjadi jaring pengaman sosial yang mencegah krisis berubah menjadi bencana kemanusiaan. Ini bukan soal angka. Ini soal menyelamatkan kehidupan.
Transparansi dan Akuntabilitas: Mengubah Rakyat dari Penonton Menjadi Pengawal
Satu hal yang patut diapresiasi dari APBN KiTa adalah keterbukaan. Setiap bulan, Kementerian Keuangan menerbitkan laporan realisasi anggaran secara terbuka kepada publik. Dengan infografis yang sederhana dan bahasa yang mudah dipahami, masyarakat diajak untuk terlibat, mengawal, bahkan mengkritisi.
Inilah bentuk literasi fiskal yang sesungguhnya: rakyat tidak hanya tahu ke mana uang mereka digunakan, tetapi juga berhak untuk memastikan bahwa uang itu digunakan sebagaimana mestinya. Karena uang negara bukan milik birokrat. Uang negara adalah milik rakyat.
Menjaga Harapan, Merawat Janji
APBN bukan dokumen yang mati. Ia adalah nadi dari kepercayaan rakyat pada negara. Ketika APBN disusun dengan orientasi keadilan, digunakan secara transparan, dan dirasakan manfaatnya oleh rakyat kecil---di situlah kepercayaan publik tumbuh. Dan dari kepercayaan itu, lahirlah legitimasi.
Hari ini, di tengah tantangan global, ketidakpastian ekonomi, perubahan iklim, dan konflik geopolitik, APBN harus tampil sebagai jangkar yang menstabilkan sekaligus jembatan yang mempersatukan. Bukan hanya alat fiskal, tetapi alat pemersatu bangsa.
Dari Tabel ke Tindakan, Dari Rencana ke Kehidupan
Di ruang-ruang rapat, para pejabat negara merancang APBN dengan presisi teknokratik. Tapi di lapangan, rakyat menilainya dengan ukuran yang sangat sederhana: "Apakah hidup saya lebih baik karena ini?"
Maka, jika hari ini ada lebih banyak anak yang bisa sekolah, lebih banyak ibu yang bisa melahirkan dengan selamat, lebih banyak lansia yang tetap hidup layak---itu bukan semata karena kebijakan, tetapi karena janji yang ditepati.
APBN adalah janji. Dan janji negara pada rakyatnya adalah janji yang tidak boleh dilupakan.
Disclaimer : Tulisan diatas adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat organisasi