Di ruang-ruang diskusi warung kopi, media sosial, hingga mimbar politik, kata "utang negara" kerap mengundang perdebatan. Ada yang mencemaskan bebannya bagi generasi mendatang, ada pula yang memahaminya sebagai bagian dari strategi pembiayaan yang tak terelakkan. Namun satu hal yang tak terbantahkan: utang adalah alat. Seperti pisau bermata dua, ia bisa menjadi solusi, bisa pula menjadi masalah---tergantung siapa yang memegang dan bagaimana ia digunakan.
Pemerintah Indonesia memahami betul dilema ini. Karena itu, pembiayaan utang dalam APBN dikelola dengan penuh kehati-hatian, dalam bingkai besar fiskal yang berkelanjutan. Rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus dijaga pada batas aman. Risiko dikelola. Biaya ditekan. Dan di atas segalanya, utang diarahkan untuk belanja yang produktif: pendidikan, kesehatan, perlindungan sosial, serta pembangunan infrastruktur yang mempercepat pertumbuhan.
Rasio Aman dan Strategi Bertanggung Jawab
Per akhir 2024, rasio utang Indonesia terhadap PDB berada di angka39,36%, jauh di bawah batas maksimal 60% yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara. Artinya, secara statistik dan perbandingan global, posisi utang Indonesia masih relatif moderat.
Namun, pemerintah tak lantas berpuas diri. Sebab sehatnya APBN tak cukup dinilai dari jumlah utang, tetapi juga kualitas pengelolaannya. Inilah yang melandasi arah kebijakan pembiayaan utang tahun 2025 dan ke depan: efisien dalam biaya, terkendali dalam risiko, dan berkelanjutan dalam jangka panjang.
Utamakan Pembiayaan Dalam Negeri: Perkuat Kemandirian
Salah satu prioritas penting dalam pengelolaan utang adalah mengutamakan pembiayaan dari dalam negeri. Ini artinya, ketika pemerintah membutuhkan dana, yang pertama dituju adalah rakyat Indonesia sendiri---melalui berbagai instrumen Surat Berharga Negara (SBN), ORI, Sukuk Tabungan, dan lain-lain.
Strategi ini bukan hanya soal efisiensi biaya, tetapi juga membangun kemandirian fiskal. Pembiayaan dalam negeri lebih stabil dari tekanan eksternal dan membuka peluang partisipasi publik secara langsung dalam mendanai pembangunan nasional.
Kebijakan ini sekaligus menjadi alat untuk memperkuat literasi dan inklusi keuangan masyarakat. Semakin banyak warga negara memahami dan membeli instrumen negara, semakin luas pula basis investor domestik yang menopang stabilitas fiskal kita.
Pendalaman Pasar Keuangan: Bukan Sekadar Cari Dana
Dalam mendukung pembiayaan yang sehat, pemerintah juga mendorong pendalaman pasar keuangan domestik. Ini bukan hanya soal menciptakan instrumen baru, tetapi menciptakan ekosistem keuangan yang lebih kuat dan tahan guncangan.
Instrumen seperti green bond, sukuk wakaf, dan obligasi tematik lain bukan hanya membuka jalan pembiayaan berkelanjutan, tetapi juga memperluas pilihan investasi masyarakat. Pada saat yang sama, inovasi ini membantu mendiversifikasi risiko pembiayaan dan mendukung agenda pembangunan hijau serta inklusif.
Skema Liability Management dan Hedging: Antisipasi Risiko Global
Volatilitas global---dari gejolak geopolitik hingga perubahan suku bunga internasional---membuat pemerintah tidak hanya fokus pada how to borrow, tetapi juga how to manage. Inilah alasan kuat di balik pengembangan skema liability management dan strategi lindung nilai (hedging).
Dengan strategi ini, pemerintah bisa memperbaiki struktur jatuh tempo, merefinancing utang dengan bunga lebih rendah, serta melindungi portofolio dari fluktuasi nilai tukar. Pendekatan ini mencerminkan sikap proaktif dan adaptif, sekaligus menunjukkan bahwa pembiayaan utang dilakukan dengan pertimbangan matang, bukan sekadar tambal sulam fiskal.
Pembiayaan Kreatif dan Berkelanjutan: Inovasi untuk Masa Depan
Pemerintah menyadari bahwa tantangan pembangunan ke depan membutuhkan pendekatan yang kreatif. Oleh karena itu, pembiayaan berkelanjutan dan inovatif menjadi prioritas. Penerbitan sukuk hijau (green sukuk), misalnya, telah digunakan untuk mendanai proyek energi terbarukan, pengelolaan air bersih, dan transportasi ramah lingkungan.
Model seperti ini menunjukkan bahwa utang bisa menjadi alat untuk mendorong transformasi ekonomi, bukan hanya sebagai penopang APBN jangka pendek. Bahkan, dalam jangka panjang, pembiayaan semacam ini dapat mendorong pertumbuhan inklusif dan mengurangi kesenjangan.
Transparansi dan Akuntabilitas: Menjawab Kecemasan Publik
Apa yang membuat publik cemas pada utang bukan semata-mata jumlahnya, tapi ketidakjelasan pengelolaannya. Karena itu, transparansi dan akuntabilitas menjadi fondasi utama kebijakan utang negara. Pemerintah membuka data utang secara rutin melalui situs DJPPR (Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko), mengadakan kampanye edukasi publik, dan menghadirkan pelaporan berkala dalam APBN.
Langkah-langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak alergi terhadap kritik, dan justru mengajak masyarakat ikut mengawasi serta memahami kebijakan fiskal negara. Literasi fiskal bukan hanya alat bantu teknis, tapi fondasi demokrasi yang sehat.
Utang Negara Adalah Instrumen, Bukan Ancaman
Jika dikelola secara bijak, transparan, dan produktif, utang negara bukanlah beban, melainkan alat pembangunan. Ia memungkinkan negara tetap berdaya dalam menghadapi krisis, membiayai infrastruktur yang dibutuhkan rakyat, serta menciptakan keadilan sosial dalam jangka panjang.
Tantangan ke depan memang tidak ringan: ketidakpastian global, tekanan pembiayaan, dan tuntutan publik akan kualitas belanja negara. Tapi dengan strategi pembiayaan yang akseleratif, efisien, dan seimbang, serta pengelolaan risiko yang hati-hati, Indonesia bisa menjaga keberlanjutan fiskal dan memastikan bahwa APBN benar-benar hadir untuk rakyat.
Maka, mari berhenti memandang utang negara sebagai monster gelap yang membayangi masa depan. Lihatlah ia sebagai alat bantu, yang---dengan pengelolaan yang tepat---mampu membuka jalan menuju Indonesia yang adil, makmur, dan berkelanjutan.
Disclaimer : Tulisan diatas adalah pendapat pribadi dan tidak mewakili pendapat organisasi