O P I N I

Disclaimer: “Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan instansi/organisasi manapun.

Kepo dan Tutup Mata dalam Pengelolaan Keuangan Satuan Kerja

Oleh: Achmat Subekan (Widyaiswara Ahli Utama, Pusdiklat Anggaran dan Perbendaharaan)

Kata kepo merupakan ungkapan yang relatif baru dalam bahasa Indonesia, mulai populer di tahun 2005 (Stevani, 2022). Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikannya sebagai  rasa ingin tahu yang berlebihan tentang kepentingan atau urusan orang lain. Dengan arti tersebut, kata kepo memiliki konotasi negatif, ingin mengetahui urusan dan kepentingan orang lain yang bukan urusan dan keperluannya. Sementara itu, kata tutup mata merupakan kata majemuk dengan makna tidak mau tahu mengenai sesuatu yang sebenarnya diketahui. Pada dasarnya, yang bersangkutan mengetahui dengan sebenar-benarnya, tetapi pura-pura tidak tahu. 

Pengelolaan keuangan di satuan kerja kementerian/lembaga dilaksanakan oleh para pejabat perbendaharaan, yakni:  1) Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), 2) Pejabat Penandatangan Surat Perintah Membayar (PPSPM), 3) Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), dan 4) Bendahara Pengeluaran/Penerimaan. Selain mereka, terdapat pula Petugas Pengelolaan Administrasi Belanja Pegawai (PPABP) dan  Pengelola Basis Data Kepegawaian (PBDK). Semua pejabat perbendaharaan memiliki tugas dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2013 sdtd Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan APBN dan Peraturan Menteri Keuangan No. 62 Tahun 2023 tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuangan. 

KPA memiliki tanggung jawab formal dan material. Hal ini disebutkan dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2013, “KPA bertanggung jawab secara formal dan materiil kepada PA atas pelaksanaan Kegiatan yang berada dalam penguasaannya.“  Sebagai pimpinan tertinggi satuan kerja, wajar KPA bertanggung jawab secara material dan formal. Para pejabat perbendaharaan di bawah KPA bertanggung jawab kepada KPA, ada yang bertanggung jawab terhadap kebenaran materiil dan ada yang bertanggung jawab secara formal/administrasi.

PPK merupakan pejabat yang melaksanakan tugas dan kewenangan KPA dalam melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran anggaran belanja. Kelanjutan dari kewenangan ini adalah penerbitan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) berdasar tagihan dari pemilik hak tagih. Tagihan tersebut menjadi konsekuensi tindakan yang berakibat pengeluaran anggaran belanja yang telah dilakukan PPK. Tagihan harus memenuhi syarat dan ketentuan, baik formal maupun materiil, sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundangan. Konsekuensi atas tugas dan  wewenangnya, PPK memiliki tanggung jawab yang besar, yakni memastikan kebenaran materiil dan akibat yang timbul dari penggunaan bukti mengenai hak tagih kepada negara sebagaimana disebutkan dalam Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2013. Dengan demikian, PPK tidak hanya bertanggung jawab atas kebenaran materiil, tetapi juga atas kebenaran formal dokumen-dokumen yang menjadi persyaratan penerbitan SPP. Selain itu, PPK juga bertanggung jawab atas kebenaran materiil dan akibat yang timbul dari penggunaan bukti hak tagih yang menjadi wewenangnya. Apabila bukti hak tagih ternyata menimbulkan kerugian keuangan negara, maka PPK menjadi pihak yang mempertanggungjawabkannya. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan pihak-pihak lain juga harus turut mempertanggungjawabkannya.

PPSPM memiliki tugas dan wewenang melakukan pengujian SPP  yang diterbitkan PPK, menolaknya apabila tidak memenuhi persyaratan, membebankan tagihan, dan menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM). Seperti halnya PPK, PPSPM menjadi kepanjangantanganan KPA dalam melaksanakan wewenangnya menggunakan anggaran. Guna mewujudkan prinsip checks and balances yang efektif, kewenangan dalam melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran anggaran belanja (pembuatan komitmen) dan kewenangan menguji tagihan harus dipisahkan sehingga jabatan PPK dan PPSPM tidak boleh saling rangkap. PPSPM memiliki tanggung jawab sebagaimana disebutkan dalam Pasal 16 Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2013, “PPSPM bertanggung jawab terhadap: a. kebenaran administrasi, b. kelengkapan administrasi, dan  c. keabsahan administrasi dokumen hak tagih pembayaran yang menjadi dasar penerbitan SPM dan akibat yang timbul dari pengujian yang dilakukan.” Berdasar pasal ini, tanggung jawab PPSPM lebih ditujukan pada memperhatikan kebenaran/kelengkapan/keabsahan dokumen SPP dan kelengkapannya.

Pejabat perbendaharaan berikutnya yang berkaitan dengan pembayaran adalah bendahara pengeluaran. Sesuai dengan Pasal 1 Undang-Undang No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, bendahara pengeluaran melaksanakan tugas: 1) menerima, 2) menyimpan, 3) membayarkan, 4) menatausahakan, dan 5) mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan belanja dalam rangka pelaksanaan anggaran. Berkaitan dengan pembayaran, Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang No. 1 tahun 2004 menyebutkan:

“Bendahara Pengeluaran melaksanakan pembayaran dari uang persediaan yang dikelolanya setelah:

 

a. meneliti kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran; 

b. menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam perintah pembayaran; 

c. menguji ketersediaan dana yang bersangkutan.”

 

Peraturan Menteri Keuangan No. 62 Tahun 2023 tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuangan merinci lebih lanjut tugas dan wewenang pengujian yang dilakukan Bendahara Pengeluaran. Pasal 220 ayat (6) peraturan menteri ini menyebutkan bahwa pengujian yang dilakukan Bendahara Pengeluaran mencakup: 1) kelengkapan perintah pembayaran yang diterbitkan PPK, 2) pemeriksaan kebenaran atas hak tagih, 3) ketersediaan dana, 4) pemeriksaan kesesuaian pencapaian keluaran antara spesifikasi teknis yang disebutkan dalam penerimaan barang/jasa dan spesifikasi teknis yang disebutkan dalam dokumen perjanjian/kontrak, dan 5) ketepatan penggunaan klasifikasi anggaran. Dari ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundangan tersebut, kewenangan Bendahara Pengeluaran dalam melakukan pengujian tagihan lebih bersifat memastikan kebenaran formal atau kelengkapan/kebenaran/keabsahan dokumen administrasi. 

PPSPM dan Bendahara Pengeluaran memiliki kemiripan tugas dan tanggung jawab dalam pengujian dokumen tagihan, yakni memastikan kebenaran formal/administrasi atas dokumen tagihan/pembayaran yang berupa SPP dan SPBy beserta dokumen lampirannya. Hal ini berbeda dengan PPK yang memiliki tanggung jawab memastikan kebenaran materiil. 

PPK: Pemulai Pelaksanaan Kegiatan dan Pembayaran

PPK merupakan pejabat yang menjadi pembuka pelaksanaan kegiatan dan pembayaran. Dalam pelaksanaan kegiatan, PPK menjadi pejabat yang melakukan perikatan dan penerimaan barang/jasa akibat pelaksanaan kegiatan. Dalam pelaksanaan pembayaran, PPK menjadi pejabat yang berwenang menerbitkan SPP. Dengan demikian, PPK menjadi pihak yang memulai pelaksanaan kegiatan dan pembayaran. Konsekuensi atas tugas dan wewenang ini, PPK memiliki tanggung jawab materiil dan formal atas pelaksanaan pembayaran. Dilihat dari proses pelaksanaan anggaran belanja, PPK merupakan pejabat yang aktif melaksanakan anggaran dan melakukan pembayaran atas tagihan. Pelaksanaan kegiatan anggaran, misalnya berupa pengadaan barang/jasa, diawali dengan pekerjaan yang menjadi tugas PPK. Perencanaan pengadaan dengan kegiatan menyusun Rencana Umum Pengadaan (RUP) adalah tugas PPK. Demikian juga pada saat persiapan pengadaan barang/jasa dengan kegiatan utama berupa penyusunan/penetapan spesifikasi teknis/kerangka acuan kerja, Harga Perkiraan Sendiri (HPS), dan draf kontrak. Penandatanganan dan pelaksanaan/pengendalian kontrak pengadaan barang/jasa pemerintah juga dilaksanakan oleh PPK. 

Berdasarkan Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018, sdtd Peraturan Presiden No. 12 Tahun 2021 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, proses pengadaan barang/jasa diakhiri dengan serah-terima dari penyedia kepada pejabat penandatangan kontrak (sesuai dengan PP 45 tahun 2013, tanda tangan kontrak menjadi tugas dan wewenang PPK). Dokumen yang membuktikan adanya serah terima dimaksud antara lain berupa Berita Acara Serah Terima (BAST). Sebagai pihak yang menandatangani BAST, PPK harus memastikan kebenaran materiil barang/jasa yang diterimanya dari penyedia. Kebenaran materiil tersebut antara lain berkaitan dengan ketepatan waktu serah-terima, kesesuaian spesifikasi teknis antara yang tercantum dalam kontrak dengan spesifikasi teknis barang/jasa yang diserah-terimakan, kesesuaian volume barang/jasa, dan sebagainya. Tugas dan wewenang PPK memastikan kebenaran materiil ini berkonsekuensi PPK bertanggung jawab atas akibat yang timbul dari penggunaan BAST. Apabila BAST menimbulkan kerugian negara, misalnya karena volume atau spesifikasi teknis barang/jasa yang diserahterimakan kurang dari yang disebutkan dalam BAST, maka sesuai dengan Pasal 13 Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 2013, PPK menjadi pihak yang harus mempertanggungjawabkannya. Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara juga menyebutkan hal yang senada, yaitu:

“Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN/APBD bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud”.

Klausul tersebut tidak membatasi hanya pada PPK, tetapi semua pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban anggaran. Apabila sebelum terbitnya BAST terdapat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) barang/jasa dan menjadi satu-kesatuan dengan BAST, maka ketentuan dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tersebut juga berlaku bagi para penandatangan BAP. 

PPK tidak hanya pemulai kegiatan, tetapi juga pemulai pelaksanaan pembayaran. Semua tagihan dari para penyedia/pemilik hak tagih ditujukan kepada PPK. Terhadap tagihan yang diterimanya, PPK melakukan pengujian dokumen-dokumen yang menjadi dasar hak tagih. Pengujian ini guna memastikan kebenaran materiil dan kebenaran formalnya. Kebenaran materiil ditujukan untuk memastikan barang/jasa yang dibayar benar-benar telah diterima oleh satuan kerja sesuai dengan spesifikasi teknis/volume yang tertera dalam kontrak dan BAST. Guna memastikan kebenaran materiil, PPK berwenang melakukan pemeriksaan fisik atas barang/jasa yang diajukan tagihannya. Sedangkan untuk memastikan kebenaran formal, maka PPK melakukan pengujian terhadap dokumen-dokumen yang menjadi dasar hak tagih baik mengenai kelengkapan, kebenaran, maupun keabsahannya. Sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, PPK harus jeli memeriksa barang/jasa yang akan dilakukan pembayaran. 

PPSPM dan Bendahara Pengeluaran: Pelanjut Pembayaran Anggaran Belanja

PPSPM melaksanakan kewenangan KPA dalam melakukan pengujian SPP dan penerbitan SPM. Apabila dari hasil pengujian SPP tidak ditemukan kesalahan/kekeliruan, maka PPSPM menerbitkan SPM. PPSPM tidak dapat menerbitkan SPM tanpa adanya SPP dari PPK. Hal sama juga berlaku pada Bendahara Pengeluaran, tidak melakukan pembayaran tanpa adanya Surat Perintah Bayar (SPBy) yang diterbitkan PPK. Bandahara Pengeluaran melakukan pembayaran SPBy setelah memperhitungkan semua kewajiban penerima pembayaran kepada negara.

PPSPM dan Bendahara Pengeluaran merupakan pejabat yang menindaklanjuti tugas dan pekerjaan PPK. Dalam pembayaran atas beban anggaran belanja, PPSPM dan Bendahara Pengeluaran tidak dapat mendahului PPK. Keduanya menjadi pihak yang menindaklanjuti tugas dan pekerjaan PPK. Tugas PPSPM dan Bendahara Pengeluaran lebih ke arah memastikan kebenaran formal atau administrasi SPP/SPBy.  Keduanya tidak diberi tanggung jawab untuk memastikan kebenaran materiil. Pada saat ada SPP LS mengenai pengadaan alat tulis kantor (ATK), misalnya, PPSPM tidak dibenarkan memaksa untuk mengecek (kepo) apakah ATK dimaksud telah diterima sesuai dengan spesifikasi yang terdapat dalam kontrak dan BAST. PPSPM yang memaksa untuk melakukan pemeriksaan fisik ATK dimaksud merupakan tindakan di luar kewenangan yang dimilikinya. Dalam menguji SPP, kewenangan PPSPM adalah memastikan kebenaran formal atau administrasi SPP dan dokumen pendukungnya.

Bendahara Pengeluaran memiliki tugas yang hampir sama dengan PPSPM, tidak dibenarkan memaksakan diri melakukan pemeriksaan fisik guna memastikan kebenaran materiil barang/jasa yang akan dilunasi pembayarannya berdasar SPBy yang diterbitkan PPK. Bendahara Pengeluaran melakukan pengujian terhadap kelengkapan dokumen, kebenaran perhitungan, dan ketersediaan anggarannya. Bendahara Pengeluaran tidak dibenarkan kepo, yakni melakukan pemeriksaan fisik/materiil atas barang/jasa di luar kewenangannya.

Dalam kondisi tertentu, kebenaran materiil  dapat diketahui dengan sederhana dan bahkan dapat diketahui banyak orang. Hal ini dapat dicontohkan dengan pembayaran tunjangan keluarga dalam pembayaran gaji pegawai. Misal, Badu (bukan nama sebenarnya) adalah seorang pegawai di sebuah kantor pemerintah. Istri Badu meninggal dunia dan seluruh pegawai di kantor Badu mengetahuinya, mereka melayat dan turut berbela sungkawa. Pada pembayaran gaji Badu berikutnya, rupanya tetap terdapat pembayaran tunjangan istri, padahal istrinya telah meninggal dunia. Para pejabat perbendaharaan melakukan pembiaran atas hal ini dengan alasan Badu tidak/belum menyampaikan Surat Kematian istrinya. Merasa diuntungkan, Badu pun tidak mengurus dan tidak menyampaikan Surat Kematian dimaksud. Akibatnya, pembayaran tunjangan istri tersebut terus berlangsung.

KPA, PPK, PPSPM, Bendahara Pengeluaran, dan Petugas Pengelola Administrasi Belanja Pegawai seharusnya menghentikan pembayaran tunjangan istri tersebut. Dengan terang-benderang mereka mengetahui kebenaran materiil atas meninggalnya istri Badu sehingga tidak boleh tutup mata. Meskipun PPSPM dan Bendahara Pengeluaran tidak berkewajiban memastikan kebenaran materiil, mereka tidak boleh tutup mata. Keduanya tidak dapat berlindung di balik ketentuan dalam peraturan perundangan di bidang keuangan yang menyatakan bahwa keduanya hanya bertugas memastikan kebenaran formal/administrasi. Peraturan perundangan bidang keuangan negara tidak ada yang menyatakan PPSPM atau Bendahara Pengeluaran wajib  menerbitkan SPM atau melunasi pembayaran apabila kebenaran formal telah terpenuhi. Apabila nyata-nyata SPP/SPBy memilki kejanggalan (kesalahan) dalam kebenaran materiil, maka PPSPM dan Bendahara Pengeluaran tetap memiliki wewenang untuk melakukan penolakan. 

Beberapa dasar hukum yang dapat digunakan PPSPM dan Bendahara Pengeluaran untuk melakukan penolakan SPP/SPBy antara lain adalah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sdtd Undang Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 15 undang-undang tersebut menyebutkan: 

“Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.”

Tindakan tutup mata (pura-pura tidak tahu) dalam pembayaran tunjangan istri yang telah meninggal di atas berakibat kerugian keuangan negara. Merugikan keuangan negara menjadi salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Para pejabat perbendaharaan, meskipun tugas dan tanggung jawabnya pada kebenaran formal, tidak dibenarkan tutup mata terhadap tindakan yang bisa merugikan keuangan negara, sementara dia memiliki wewenang untuk mencegahnya.

Peraturan lain yang menjadi dasar tidak bolehnya tutup mata adalah Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2021 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), para pejabat perbendaharaan terikat dengan peraturan pemerintah tersebut. Pasal 5 huruf h Peraturan Pemerintah ini menyatakan bahwa, PNS dilarang melakukan kegiatan yang merugikan negara. Kegiatan yang merugikan negara tersebut dijelaskan pada bagian penjelasan sebagai berikut:

“Yang dimaksud dengan "melakukan kegiatan yang merugikan negara" termasuk kegiatan yang dilakukan bersama dengan atasan, teman sejawat, bawahan, atau orang lain di dalam maupun di luar lingkungan kerjanya dengan tujuan untuk keuntungan pribadi, golongan, atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan kerugian keuangan negara.”

Pelanggaran terhadap disiplin PNS dapat berakibat pada jatuhnya hukuman disiplin kepada pelakunya. PPSPM, Bendahara Pengeluaran, dan pejabat perbendaharaan lainnya harus menghindari kegiatan yang dilarang dalam peraturan pemerintah tentang disiplin PNS, termasuk kegiatan yang merugikan negara.

Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pemerintah tentang Disiplin PNS memang tidak secara langsung mengatur tentang pengelolaan keuangan negara oleh satuan kerja kementerian/lembaga. Namun, peraturan tersebut telah diundangkan sehingga harus dipatuhi oleh setiap warga negara. Sesuai dengan asas fiksi hukum, setiap warga negara berkewajiban mematuhi peraturan perundangan yang diundangkan pemerintah (Marwan, 2016). Pemerintah telah mengundangkan dan mempublikasikan kedua peraturan perundangan di atas. Alasan ketidaktahuan terhadap peraturan perundangan tidak menjadikan pelanggarnya bebas dari tuntutan hukum.

Setiap pejabat perbendaharaan memiliki tugas, wewenang, dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku. Tugas, wewenang, dan tanggung jawab tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tercipta checks and balances (saling uji) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara dan Undang-Undang Perbendaharaan Negara. Dalam melaksanakan tugas, wewenang, dan tanggung jawabnya, pejabat perbendaharaan satuan kerja harus berpedoman peraturan perundangan bidang keuangan negara dan peraturan perundangan lain yang terkait. Dengan demikian, pejabat perbendaharaan tidak kepo terhadap sesuatu yang bukan tugas dan wewenangnya serta tidak tutup mata terhadap sesuatu kejanggalan yang dengan terang benderang diketahuinya. 

 

Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan organisasi

 

Referensi:

Republik Indonesia. 1999. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Lembaran Negara No. 140. Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Republik Indonesia. 2001. Undang Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tambahan Lembaran Negara RI No. 4150.  Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. Lembaran Negara No. 47, Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Republik Indonesia. 2004 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Lembaran Negara No. 5. Sekretariat Negara Republik Indonesia.

Republik Indonesia. 2013. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2013 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Lembaran Negara No. 103. Sekretariat Negara Republik Indonesia

Republik Indonesia. 2018.  Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2018 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Lembaran Negara No. 229. Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia

Republik Indonesia. 2021. Peraturan Pemerintah No. 94 Tahun 2021 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Lembaran Negara No. 202. Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia

Republik Indonesia. 2023. Peraturan Menteri Keuangan No. 62 Tahun 2023 tentang Perencanaan Anggaran, Pelaksanaan Anggaran, serta Akuntansi dan Pelaporan Keuangan. Berita Negara No. 472. Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia.

Marwan, A. (2016). Mengkritisi Pemberlakuan Teori Fiksi Hukum. Jurnal Penelitian Hukum De Jure, 16(3), 251–264.

Stevani, Elma Gloria. 2022. Arti Kata Kepo, Simak Contoh Penggunaannya di Keseharian, Ketahui Makna Berbagai Bahasa Gaul Lainnyahttps://jatim.tribunnews.com/ 2022/11/15/arti-kata-kepo-simak-contoh-penggunaannya-di-keseharian-ketahui-makna-berbagai-bahasa-gaul-lainnya. Diakses 9 Januari 2024.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kepo, diakses 9 Januari 2024

 

 

Hak Cipta Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan RI
Manajemen Portal DJPb - Gedung Prijadi Praptosuhardo II Lt. 1
Jl. Lapangan Banteng Timur No. 2-4 Jakarta Pusat 10710
Call Center: 14090
Tel: 021-386.5130 Fax: 021-384.6402

 

 

IKUTI KAMI

 

PENGADUAN

 

 

Search

Kantor Wilayah Provinsi, Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) 

(Daftar Kantor Vertikal DJPb Selengkapnya ..)