Dilema Perantauan
Oleh
Ali Agil Prasetyo, Ak, M.Prof.Acc
(Kepala Seksi PPA II Bidang PPA II Kanwil DJPb Provinsi DIY)
Yogyakarta, 4 Juni 2024 - Sebagai seorang insan perbendaharaan, sudah lumrah bagi kita jika kita dimutasi ke berbagai daerah di seluruh penjuru Indonesia. Sebagai seorang perantau yang baik, tentu kita harus bisa beradaptasi dengan tempat di mana kita merantau, termasuk beradaptasi dengan makanannya.
Namun demikian, terdapat sebagian dari kita yang sulit beradaptasi dengan makanan penduduk setempat. Contohnya, ketika saya dimutasi ke Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Urang Banjar, sudah terbiasa memakan beras banjar yang pera dan cenderung keras. Sebagian rekan saya dan juga termasuk istri saya yang berasal dari Jawa, ternyata tidak bisa beradaptasi dengan beras banjar yang pera, karena mereka terbiasa mengkonsumsi beras dari jawa yang pulen. Oleh karena itu, ketika mereka membeli beras, mereka cenderung membeli beras impor dari Pulau Jawa yang pulen. Demikian juga ketika saya ditempatkan di Manado, Sulawesi Utara. Masyarakat Sulawesi pada umumnya sudah terbiasa mengkonsumsi ikan laut sehari-hari, termasuk masyarakat Manado. Namun, sebagian rekan kerja saya yang notabene kebanyakan dari Pulau Jawa, merasa bosan jika memakan ikan setiap hari, sehingga mereka sering membeli tempe yang sebenarnya merupakan barang “impor” dari Pulau Jawa. Bagi mereka, memakan tempe merupakan sebuah kemewahan. Contoh lain dari barang impor ini adalah air mineral galon yang biasa dikonsumsi oleh pegawai perantauan, ternyata banyak yang diimpor dari Pulau Jawa, karena daerah setempat belum mampu memiliki air mineral produk lokal.
Namun demikian, satu hal yang tidak disadari oleh para perantau ini bahwa ternyata impor barang dari luar daerah, secara ekonomi tidak meningkatkan PDRB daerah setempat. Jika PDRB dilambangkan sebagai Y=C+I+X-M, maka ketika para perantau membeli beras impor dari jawa yang pulen, misalnya, walaupun mereka meningkatkan konsumsi rumah tangga (C), katakanlah sebesar seribu rupiah, namun pada sisi lain mereka meningkatkan impor (I) juga sebesar seribu rupiah. Sehingga kedua sektor ini akan saling mengeliminasi, menyebabkan PDRB daerah setempat tidak meningkat.
Selain itu, masuknya sejumlah barang impor di suatu daerah, yang biasanya harganya lebih tinggi dibandingkan barang produk lokal, akan menyebabkan kenaikan harga beras pada Indeks Harga Konsumen atau IHK, yang pada gilirannya dapat menyebabkan inflasi pada wilayah setempat. Dengan demikian, bukan hanya barang impor tidak meningkatkan PDRB atau pertumbuhan ekonomi, namun juga barang impor berpotensi dapat menyebabkan inflasi.
Selain itu, terdapat kebiasaan para perantau, di mana mereka cenderung irit di perantauan, namun mereka akan berfoya-foya ketika mereka pulang ke kampung halaman masing-masing. Hal ini tentunya akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi di tempat perantauan mereka cenderung lambat atau stagnan, sedangkan pertumbuhan ekonomi di kampung halaman mereka cenderung lebih cepat.
Seyogyanya, kita para perantau harus dapat memberikan manfaat kepada daerah tempat kita merantau, antara lain dengan cara mengkonsumsi produk-produk lokal yang dihasilkan oleh daerah setempat, agar kita dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada daerah tempat kita merantau. Bagaimanapun, kita harus menjunjung daerah tempat kita berpijak. Jika kita merasa kurang cocok dengan makanan setempat, misalnya seperti nasi pera atau ikan laut, maka kita harus belajar beradaptasi untuk menyesuaikan diri dengan makanan setempat. Karena adaptasi merupakan kunci utama bagi makhluk hidup jika kita ingin bertahan dalam seleksi alam yang ketat ini.
(based on a true story)