Gedung Pusaka Arsitektur Neo Renaissance : “Dari Masa De Javasche Bank Djokjakarta ke Bank Indonesia Yogyakarta”
Oleh:
Veronica Handayani, S.E.,M.Hum
(Pelaksana Seksi PPA II A Bidang PPA II Kanwil DJPb Provinsi DIY)
Yogyakarta, 4 Juni 2024 - Pusaka Saujana beserta arsitekturnya yang membentang dari Merapi sampai Pantai Laut Selatan di Yogyakarta, sesungguhnya mengisahkan pertautan antara ruang dan waktu kosmis dengan keabadian teologis. Pertautan itu melambangkan keselarasan hubungan antara manusia dengan Tuhan (hablun min Allah), hubungan antara manusia dengan sesamanya (hablun min annas), dan hubungan antara manusia dengan alam semesta (hablun min ‘alamin). De Javasche Bank Djokyakarta berdiri sebagai suatu entitas neo-rennaisance, sebuah pencerahan yang membawa kejayaan. Sebagaimana “tradisi dalam modernisasi” yang digaungkan Pangeran Mangkubumi, Cuypers dan Hulswitt, dua arsitek yang merancangnya, tentu memberikan karakter niew indisch, yang memperlihatkan transisi menuju modernisasi, tanpa meninggalkan indigenous identity.
Kota Ngayogyakarta Hadiningrat telah berkembang pesat dengan beragam atribut yang melekat padanya: Kota Revolusi (Perjuangan), Kota Pelajar (Pendidikan), Kota Budaya hingga Kota Pariwisata. Semuanya itu merupakan perjalanan sejarah yang panjang dan mengandung banyak makna. Pada dasarnya, Yogyakarta adalah ibukota Kasultanan Yogyakarta, yang dibangun dengan tata ruang yang mengandung filosofi mendalam, yang kemudian mengalami percampuran budaya antar bangsa dan daerah. Salah satu bukti dari percampuran antar bangsa yang menonjol adalah kehadiran peninggalan Belanda yang terlihat dengan jelas dari tata ruang dan fungsi bangunannya. Gedung eks De Javasche Bank (Gedung Bank Indonesia) adalah salah dari sekian banyak peninggalan Belanda, yang kehadirannya kini berdampingan dengan bangunan-bangunan dan tata ruang asli milik Kesultanan Yogyakarta, menjadi dasar dari nilai-nilai keistimewaan kota Yogyakarta hingga saat ini.
Gedung Bank Indonesia Yogyakarta tempo dulu memiliki nama De Javasche Bank Djokjakarta. De Javasche Bank dibuka pada 1 April 1879, dan kantornya dibangun di atas tanah milik De Javasche Bank yang berstatus eigendom seluas kira-kira 300 m2. Status eigendom menunjukkan tanah ini bukan lagi milik Sultan melainkan sudah milik De Javasche Bank. Di sisi barat gedung De Javasche Bank adalah tanah Kantor Pos, sedang sisi lain adalah Sultan Ground. Di sebelah utaranya terdapat Benteng Vredeburg.
Pada tahun 1912 gedung permanen bagi De Javasche Bank mulai dibangun di lokasi yang sama. Gedung baru itu memiliki 3 lantai dan pembangunannya diselesaikan pada tanggal 15 Februari 1915. Gedung baru tersebut, dirancang oleh arsitek Cuypers dan Hulswitt dengan menampilkan konsep langgam neo-Rennaisance, yang melambangkan suatu kejayaan. Gedung De Javasche Bank Djokjakarta merupakan kantor cabang ke delapan. Didirikan dengan alasan adanya desakan dari berbagai pihak, termasuk Firma Dorrepaal & Co Semarang, karena firma tersebut mempunyai cabang usaha di Yogyakarta yang pada saat itu mempunyai perkembangan ekonomi yang cerah sebagai pusat perkebunan tebu, penghasil gula.
Arsitektur gedung eks De Javasche Bank sangat menonjol di tengah kota Yogyakarta, khususnya di Titik Nol Kilometer Yogyakarta, dan menjadi salah satu penanda kawasan peninggalan Belanda. Pandangan dari luar, tinggi gedung ini terlihat hanya terdiri dari 2 lantai, karena separuh lantai dasar memang berada di bawah tanah. Gedung eks De Javasche Bank terdiri dari tiga lantai, yang masing-masing merupakan ruang-ruang dengan fungsi yang berbeda. Ruang di lantai basement berfungsi sebagai ruang penyimpanan uang (khasanah). Pada lantai 1 terdapat ruang kantor yang merupakan fungsi utama dalam gedung bank. Sedangkan di lantai 2 terdapat ruang tinggal pimpinan bank dan keluarganya, pada masa itu membangun gedung bank sekaligus ruang tinggal dianggap lebih praktis daripada membangun rumah yang berdiri sendiri.
Pada masa Pendudukan Jepang Gedung De Javache Bank Djokjakarta ditutup akibat kebijakan Jepang untuk melikuidasi seluruh bank Belanda, Inggris, dan beberapa bank China. Gedung De Javache Bank Djokjakarta dibuka kembali tanggal 30 Desember 1948 pasca Agresi Militer Belanda kedua (19 Desember 1949) dan kembali ditutup pada 29 Juni 1949. Hal ini terjadi karena tentara Belanda ditarik kembali dari Yogyakarta setelah dilakukan diplomasi antara NICA dan RI.
Setelah memasuki masa kemerdekaan indonesia, bangunan De Javasche Bank Djokjakarta kembali diaktifkan operasionalnya pada tahun 1948 saat ibukota negara berada di Gedung Agung, kota Yogyakarta. Namun tak lama kemudian muncul Agresi Militer Belanda yang mengakibatkan tutupnya bangunan ini.
Kantor De Javasche Bank Djokjakarta Tahun 1930
Sumber : Koleksi Arsip Bank Indonesia
Setelah dilakukannya perundingan di Konferensi Meja Bundar yang berada di Den Haag, Belanda menghasilkan putusan bangunan beroperasi kembali. Pada tanggal 22 Maret 1950, Presiden Soekarno membuat kebijakan tentang bangunan ini untuk beroperasi dan berganti nama sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1953. Pada tanggal 1 Juli 1953, Gedung De Javasche Bank resmi berganti nama menjadi Gedung Bank Indonesia. Ketika De Javasche Bank dinasionalisasi oleh Pemerintah RI pada tahun 1953, semua gedung De Javache Bank menjadi properti Bank Indonesia, termasuk di Yogyakarta, yang hingga saat ini tetap beroperasi. Seiring dengan perkembangan kegiatan operasional yang meningkat, kantor cabang Bank Indonesia Yogyakarta diperluas dan pada tanggal 4 Februari 1993 gedung baru yang bersebelahan dengan gedung lama diresmikan. Selanjutnya sebutan kantor cabang Yogyakarta sejak tanggal 1 Agustus 1996 berubah menjadi Bank Indonesia Yogyakarta.
Pada tanggal 17 Februari 2012, Deputi Gubernur Bank Indonesia Ardhayadi Mitroatmodjo meresmikan penggunaan kembali gedung cagar budaya milik Bank Indonesia di Yogyakarta. Dengan melestarikan heritage bangunan ini diharapkan dapat berbagi pengetahuan dengan masyarakat mengenai bangunan bersejarah. Bank Indonesia memiliki 12 (dua belas) gedung eks De Javasche Bank di seluruh Indonesia. Empat bangunan di antaranya sudah selesai dikonservasi, yakni di Jakarta, Padang, Surabaya, dan Yogyakarta. Menurut catatan sejarah pendirian bangunan ini mempunyai gaya arsitektur Neo Renaissance, dimana gaya tersebut tidak beradaptasi dengan iklim dan cuaca setempat sehingga terdapat beberapa faktor yang dapat mempercepat waktu decay bangunan, yaitu faktor umur, faktor perubahan iklim, penggunaan serta renovasi-renovasi sebelumnya.
Gedung Bank Indonesia Yogyakarta Tahun 2008
Sumber : Koleksi Arsip Bank Indonesia
Dengan demikian diperlukan upaya konservasi untuk mempertahankan nilai historis dan arsitektural yang direpresentasikan pada elemen-elemen yang ada pada bangunan. Upaya konservasi tersebut sudah dilakukan sesuai standar UNESCO untuk cagar budaya, yakni dengan tidak mengubah bagian-bagian inti dari bangunan.
De Javasche Bank merupakan cikal bakal kehadiran bank sentral di Indonesia. Melalui proses nasionalisasi, pada tahun 1953 secara resmi De Javasche Bank berubah menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral Republik Indonesia. Keberadaan De Javasche Bank yang berlanjut menjadi Bank Indonesia telah melalui perjalanan panjang hingga memiliki peran sebagai bank sentral modern seperti saat ini.
Perubahan tersebut juga berimplikasi pada tingkat daerah, yang kemudian membawa dampak yang besar. Jika dahulu De Javasche Bank Djokjakarta berperan sebagai bank komersial yang sekaligus menjalankan peran sebagai bank sirkulasi, maka saat ini Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta hadir sebagai bank sentral yang memiliki tugas pokok yang terkait dengan peranan dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter, stabilitas sistem keuangan, dan sistem pembayaran di wilayah kerjanya.
Sejak masa lalu, De Javasche Bank Djokjakarta telah menjadi memoar akan kejayaan ekonomi Yogyakarta sebagai wilayah yang istimewa dalam perjalanan sejarah bangsa. Pengalaman sejarah dan hal-hal yang dapat dipelajari pada masa lalu dapat memberikan pelajaran berharga dalam merumuskan kebijakan ekonomi dalam upaya mewujudkan Indonesia yang sejahtera. Melalui sinergi dengan pemerintah, Bank Indonesia akan terus mengawal laju ekonomi Yogyakarta agar dapat mempertahankan keistimewaan Yogyakarta.
Referensi:
BI Institute, Seri Buku Sejarah dan Heritage : “Bersinergi Dalam Keistimewaan, Peran Bank Indonesia Dalam Pembangunan Ekonomi Yogyakarta”.
https://www.bi.go.id
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id
https://nasional.kompas.com
5https://arsitektur.unpar.ac.id
6https://www.kompasiana.com