BPK kembali memberikan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bagi LKPP 2024 atas delapan puluh empat LKKL, sedangkan dua LKKL memperoleh Wajar Dengan Pengecualian (WDP). Meskipun pencapaian opini tetap positif, LHP menunjukkan 14 temuan yang menghasilkan 31 rekomendasi yang harus segera ditindaklanjuti. Kewajiban menindaklanjuti temuan itu diatur UU 15/2004 tentang pemeriksaan pengelolaan keuangan negara, dan kegagalannya berisiko merugikan negara.
Temuan atas Laporan Keuangan Kementerian/Lembaga (LKKL) Tahun Anggaran 2024 yang telah diperiksa oleh BPK dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori utama—(1) efektivitas tindak lanjut rekomendasi audit, (2) risiko pagu minus belanja pegawai, (3) ketertiban revisi DIPA, (4) sertifikasi aset tanah, serta (5) pertanggungjawaban hibah pilkada, dengan penjabaran sebagai berikut:
No | Temuan Utama LKKL 2024 | Dampak / Risiko yang Dicatat BPK | Implikasi | Rekomendasi BPK |
---|---|---|---|---|
1 | Tindak lanjut rekomendasi audit belum tuntas | Potensi kerugian negara meningkat bila rekomendasi tidak segera diselesaikan; status “belum sesuai/belum ditindaklanjuti” masih dominan |
Pemantauan dan klasifikasi tindak lanjut belum optimal sehingga klasifikasi status tindak lanjut masih dominan di kategori “belum sesuai” atau “belum ditindaklanjuti”. Data LHP 2024 mengindikasikan ketimpangan kapasitas APIP antara K/L besar dan kecil. |
Percepatan pemantauan dan penelaahan tindak-lanjut oleh PA & APIP dengan integrasi dashboard monitoring pada aplikasi e-Rekomendasi milik BPK dengan modul SIM-EP di DJPb dapat menyediakan early warning otomatis, menurunkan time-lag verifikasi, serta memotong biaya koordinasi lintas lembaga. |
2 | Risiko pagu minus Belanja Pegawai | Defisit pagu dapat menunda pembayaran gaji & tunjangan dan menurunkan kualitas laporan keuangan dari segi opini audit oleh BPK |
|
Satker diminta lebih cermat menghitung kebutuhan belanja pegawai berbasis data lengkap & sistem informasi memadai |
3 | Revisi DIPA tidak selesai tepat waktu | BPK menilai banyak satker “tidak tertib” merevisi DIPA sebelum akhir tahun anggaran sehingga pekerjaan berjalan tanpa anggaran sah dan berujung utang pemerintah | Deviasi Halaman III DIPA berulang disebabkan perencanaan tidak akurat, keterlambatan juknis, dan faktor politik dalam alokasi bantuan. IKPA menempatkan frekuensi dan ketepatan waktu revisi sebagai indikator kualitas belanja. | Implementasi workflow revisi berbasis “exception-based approval”—semua usulan melewati sistem digital; jika melewati tenggat, otomatis diblokir. Skema ini selaras dengan surat DJPb S-1189/2024 tentang optimalisasi IKPA. |
4 | Aset tanah belum bersertifikat | Risiko sengketa & kehilangan hak atas 67.829 NUP tanah ≈ Rp 2,45 kuadriliun | Sertifikat belum atas nama Pemerintah RI atau hanya sebagian bidang yang bersertifikat | Percepat pensertifikatan & tingkatkan pengamanan fisik BMN tanah |
5 | Pertanggungjawaban sisa dana hibah Pilkada tertunda | Jumlah sisa dana belum akurat; Pemda tidak bisa segera memakai dana | Satker menunggu tahapan Pilkada selesai sebelum SP4HL; sebagian belum mengembalikan ke RKUD karena menunggu tahapan pilkada selesai. | KPU/Bawaslu wajib ajukan pengesahan & satker segera kembalikan sisa dana melalui SP4HL |
Lima dimensi kebijakan—governance, proses bisnis, teknologi, sumber daya manusia, dan regulasi—menjadi satu kerangka operasi terintegrasi adalah kunci untuk menindaklanjuti temuan BPK atas LKKL. Masing-masing dimensi dapat dirancang untuk saling menguatkan dan menghasilkan perbaikan berkelanjutan, melalui:
- Governance: melekatkan akuntabilitas pada kinerja pimpinan
Tindak lanjut rekomendasi audit perlu bergeser dari sekadar kewajiban administratif menjadi risk-based follow-up. Caranya, setiap rekomendasi diberi skor prioritas (tinggi–rendah) dan tenggat, kemudian skor penyelesaiannya dimasukkan sebagai Key Performance Indicator (KPI) dalam kontrak kinerja pejabat Eselon I. Pemerintah PU, misalnya, sudah menargetkan penuntasan rekomendasi BPK dalam 60 hari dan mempublikasikan rencana aksinya; pendekatan serupa dapat menjadi pola nasional. Agar insentif lebih terasa, hasil skor KPI dihubungkan langsung ke remunerasi kinerja tahunan serta penilaian Road Map Reformasi Birokrasi. - Proses bisnis: menutup celah pagu minus dan revisi DIPA
Pada level operasional, dua mekanisme kunci perlu dirombak. Pertama, payroll berbasis human-capital analytics: data kepegawaian BKN di-stream harian ke SAKTI sehingga setiap perubahan formasi, mutasi, atau tunjangan langsung memengaruhi proyeksi belanja pegawai—mengurangi risiko pagu minus di akhir tahun. Kedua, revisi DIPA diubah dari model “siapa cepat dia dapat” ke mekanisme exception-based approval dengan cut-off otomatis. Surat DJPb S-1189/2024 bahkan sudah memberi panduan bahwa kualitas dan waktu revisi DIPA kini diperhitungkan dalam Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran (IKPA); mempercepat digital-work-flow akan membantu satker menjaga skor IKPA tanpa menunggu teguran KPPN. - Teknologi: membangun digital audit-trail lintas aplikasi
Fragmentasi data antara e-Rekomendasi (BPK), SIM-EP (DJPb), SAKTI, dan SIMAN hanya dapat diatasi lewat application programming interface (API) standar dan autentikasi tunggal (GovSSO). Beberapa pemda telah menunjukkan bahwa SSO mampu mengurangi waktu akses sistem sampai 40%; pemerintah pusat bisa mengekstrapolasi manfaat tersebut pada ekosistem keuangan negara. Di sisi aset, ATR/BPN telah menggulirkan sertipikat tanah elektronik nasional sejak awal 2025; 83 kantor pertanahan kini memiliki kios self-service pencetakan ulang e-sertipikat. Integrasi langsung antara SIMAN dan Web-service ATR/BPN akan memangkas waktu verifikasi BMN tanah dari rata-rata 180 hari menjadi di bawah 60 hari. - Sumber daya manusia: profesionalisasi APIP dan verifikator
Kompleksitas sistem menuntut auditor dan verifikator anggaran yang lebih melek data. Di Indonesia, BPKP sudah mengadopsi model competency-based training dan melaporkan peningkatan skor kapabilitas APIP pada Laporan Kinerja 2024. Untuk mengakselerasi standar profesional, Kemenkeu dapat mengadopsi sertifikasi internasional seperti Certified Government Financial Manager (CGFM)—yang mencakup audit, akuntansi, dan kontrol internal di sektor publik—sebagai prasyarat jenjang fungsional madya dan utama. Program blended learning daring-luring serta penempatan silang (secondment) antara K/L akan memperkaya perspektif risiko lintas sektor. - Regulasi: membuka ruang regulatory sandbox dan harmonisasi aturan
Revisi PMK 199/2019 (yang kini baru mengatur kargo impor) diproyeksikan memasukkan pasal-pasal tentang e-sertipikat BMN dan escrow sengketa tanah; rancangan perubahan sedang didiskusikan oleh DJKN dan ATR/BPN. Sambil menunggu payung hukum final, pemerintah dapat menjalankan regulatory sandbox di lima K/L pemilik backlog tanah terbesar, memanfaatkan kewenangan uji-coba beleid digital sebagaimana diatur PP 95/2018 tentang SPBE. Di ranah audit, Peraturan BPK tentang pemantauan tindak lanjut juga perlu direvisi agar mewajibkan pertukaran data real-time dengan APIP, bukan lagi berbasis pelaporan manual.
Walau capaian opini WTP yang telah diberikan oleh BPK membanggakan, kualitas pengendalian intern dan kepatuhan proses masih perlu pembenahan serius. Temuan 2024 memperlihatkan pola berulang: data terfragmentasi, koordinasi lintas lembaga lemah, serta literasi digital yang belum merata. Bukti empiris dan praktik lapangan menegaskan bahwa kombinasi transformasi digital, penguatan APIP, dan tata kelola berbasis risiko adalah kunci menutup celah tersebut.
Dengan sinergi kebijakan yang solid—mulai dari kontrak kinerja pimpinan, restrukturisasi proses bisnis, fondasi teknologi bersama, profesionalisasi SDM, hingga regulasi yang adaptif—pemerintah tidak hanya menutup temuan berulang BPK, tetapi juga membangun kultur pengelolaan keuangan negara yang real-time, berbasis risiko, dan berorientasi hasil.