Sudahkah kita bersyukur hari ini?
Pertanyaan itu selalu saya ajukan setiap hari. Bahkan tatkala baru terbangun dari tidur, saat kali pertama mata terbuka, kalimat syukur itu patut kita ucapkan. Sebab, suatu anugerah bagi kita masih bisa bernapas di hari yang baru. Tidak ada yang tahu bukan, pada saat kita terlelap, Tuhan bisa saja memanggil kita ke ribaan-Nya. Maut berada di luar kuasa manusia.
Tentu, rasa syukur itu tidak terbatas pada ucapan semata. Rasa syukur itu menjadi energi untuk menjalani kehidupaan, terwujud dalam setiap tindakan.
Barangkali itulah jawaban yang paling mewakili ketika banyak orang bertanya kenapa sih saya selalu tampak semangat dalam bekerja? Bahkan lebih semangat dari rekan-rekan kebanyakan? Itu tidak lain dan tidak bukan sebagai bentuk rasa syukur saya. Mengabdi sebaik-baiknya buat negara sudah menjadi keyakinan penuh saat tapak pertama kujejakkan.
Bisa saja sih, saya memilih menjadi pegawai biasa yang bekerja ke kantor, masuk pukul 07.30, bekerja sekenanya sebelum pulang ke rumah pada pukul 17.00. Tidak ada yang salah dengan pilihan seperti itu.
Namun, saya merasa malu manakala teringat bahwa setiap sen penghasilan yang saya terima berasal dari pajak rakyat. Bayangkan, uang yang kita makan itu berasal dari rakyat. Kok kita nggak bersyukur dan menjadikannya semangat untuk berkinerja dan memberikan kontribusi terbaik bagi rakyat.
Saya jadi teringat pada sebuah kisah Imam Syafii. Suatu hari, seseorang datang kepada Imam Syafii mengadukan tentang kesempitan hidup yang ia alami. Dia memberitahukan bahwa ia bekerja sebagai orang upahan dengan gaji 5 dirham. Gaji itu tidak mencukupinya.
Namun anehnya, Imam Syafii justru menyuruh dia untuk menemui orang yang mengupahnya supaya mengurangi gajinya menjadi 4 dirham. Orang itu pergi melaksanakan perintah Imam Syafii sekalipun ia tidak paham apa maksud dari perintah itu.
Setelah berlalu beberapa lama orang itu datang lagi kepada Imam Syafii mengadukan tentang kehidupannya yang tidak ada kemajuan. Lalu Imam Syafii memerintahkannya untuk kembali menemui orang yang mengupahnya dan minta untuk mengurangi lagi gajinya menjadi 3 dirham. Orang itu pun pergi melaksanakan anjuran Imam Syafii dengan perasaan sangat heran.
Setelah berlalu sekian hari orang itu kembali lagi menemui Imam Syafii dan berterima kasih atas nasihatnya. Ia menceritakan bahwa uang 3 dirham justru bisa menutupi seluruh kebutuhan hidupnya, bahkan hidupnya menjadi lapang. Ia menanyakan apa rahasia di balik itu semua?
Imam Syafii menjelaskan bahwa pekerjaan yang ia jalani itu tidak berhak mendapatkan upah lebih dari 3 dirham. Dan kelebihan 2 dirham itu telah mencabut keberkahan harta yang ia miliki ketika tercampur dengannya. Lalu Imam Syafii membacakan sebuah syair:
Dia kumpulkan yang haram dengan yang halal supaya ia menjadi banyak. Yang haram pun masuk ke dalam yang halal lalu ia merusaknya.
Barangkali kisah ini bisa menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi kita dalam bekerja. Jangan terlalu berharap gaji besar bila pekerjaan kita hanya sederhana. Dan jangan berbangga dulu mendapatkan gaji besar, padahal etos kerja sangat lemah atau tidak seimbang dengan gaji yang diterima.
Dari kisah itu, saya belajar merasa takut, jika saya tidak bekerja sebaik-baiknya, ada bagian penghasilan saya yang tidak berkah. Lalu Tuhan akan mengambil bagian yang tidak berkah itu melalui beberapa cara seperti sakit atau musibah. Tentu saya tidak ingin hal itu terjadi dan ingin selalu berkah dalam menjalani kehidupan, dalam setiap sen penghasilan yang saya terima.
Persis seperti yang dibilang Buya Hamka, jika hidup sekadar hidup, babi di hutan juga hidup. Kalau bekerja sekadar bekerja, kera juga bekerja.
Ungkapan tersebut begitu telak menyindir saya. Karena itulah, prinsip saya adalah bagaimana kemudian saya bisa melahirkan nilai tambah di setiap pekerjaan yang saya tekuni. Biar kata orang saya ini kok tidak bisa diam, berinteraksi ke berbagai pihak seperti kurang kerjaan, saya tetap menempuh jalan yang saya yakini itu.
Nilai tambah dari setiap pekerjaan dilakukan dengan penuh kecintaan, karena sesungguhya bekerja menurut saya adalah sebuah anugerah, bukanlah hak semata.
Semangat itu terus saya tanamkan di setiap aktivitas pekerjaan sehari-hari, memotivasi diri ketika terasa lelah dengan target atau pun tuntutan kinerja maupun mandat organisasi yang terus-menerus datang silih berganti. Hingga suatu hari saya menemukan sebuah kutipan, sebuah filosofi, dari Buya Hamka dalam buku BATIC, karya 4 motivator Indonesia. Filosofi itulah yang menguatkan hati saya untuk menambah the power of value of life, bahwa bekerja dengan cinta diibaratkan sedang membangun istana karya. Tidak hanya terbatas pada mengejar target dan kinerja, melainkan juga mengukir makna di setiap pilar-pilar atau nilai kehidupan.
Ditulis oleh: Rd. Yen Yen Nuryeni
(Dikutip dari Do with Love: Passion on action, leadership and integrity, Yen Yen Tahun 2020)