HBP
Jadikan aku bendahara negara
-Q.S. Yusuf: 55-
Ribuan tahun yang lalu, si kecil Yusuf menceritakan kepada ayahnya-Nabi Ya’qub-tentang mimpinya semalam, wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku (Q.S. Yusuf: 4). Dengan kewaskitaan dan kelantipan sang ayah yang sudah mengetahui sakdurunge winarah, bila si kecil Yusuf kelak akan menjadi Nabi yang memimpin bangsanya, menjadi mercusuar diantara bangsa-bangsa di dunia. Rahasia mimpi yang seharusnya tersimpan rapat, pada akhirnya terkuak juga dan didengar oleh saudara-saudara yang lain, yang mengakibatkan semakin menambah iri dan dengki kepada Yusuf kecil, ditambah lagi sayang dan cinta Nabi Ya’qub sebagai ayah lebih terlimpah kepada Yusuf kecil.
Tak menunggu lama, kakak yang penuh iri itupun bersepakat untuk memisahkan Yusuf dari ayah yang sangat menyayanginya. Dengan dalih dan alasan yang dicari dan dibuat-buat (kedengkian dan iri hati senantiasa menumbuhkan kebohongan untuk mendukung dan membenarkan perbuatan buruk), dibuanglah Yusuf kecil ke dalam sumur yang dengan kersaning Gusti ditemukan oleh kafilah dagang yang sedang lewat.
Terlunta-lunta, terhina dan sengsara diperjualbelikan sebagai budak, Nabi Yusuf jatuh ke tangan pembesar negeri Mesir dan diangkat sebagai anak. Namun Tuhan masih menguji Nabi Yusuf lewat fitnah keji seorang perempuan yang berbuah penjara, hingga terlupakan bahkan oleh teman dalam satu sel yang telah ditolongnya dengan menakwilkan mimpinya. Sampai batas ketika Allah kembali mengangkat Nabi Yusuf ke tempat yang lebih mulia dari sebelumnya.
Mimpi raja Mesir (Firaun) ditakwilkan dengan tepat oleh Nabi Yusuf, dengan solusi dan rekomendasi untuk mengatasi hal buruk yang digambarkan dalam pandangan saat tidur sang raja. Dan Nabi Yusuf-pun dengan bimbingan Tuhan, mengajukan satu persyaratan agar dapat mengatasi masalah dengan sepenuh-penuhnya dan semaksimal mungkin, agar beliau diangkat menjadi bendahara negeri Mesir (awal dari mimpi yang mewujud nyata adalah menjadi bendahara).
Pada era khulafaurrasyidin, pelembagaan baitul mal diinisiasi oleh Khalifah Umar mengingat saat era Khalifah Abu Bakar harta negara hanya disimpan di rumahnya dalam karung/kantung dan dibagikan kepada siapa saja yang membutuhkan, belum memperhitungkan perlunya baitul mal dalam tataran publik, karena pendistribusian harta dilakukan secara langsung seperti pada masa Rasulullah, sehingga karung tersebut lebih sering kosong.
“Tidak dihalalkan bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim panas dan sepotong pakaian musim dingin, serta uang yang cukup untuk kehidupan sehari-hari seorang di antara orang-orang Quraisy biasa. Dan aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum Muslimin." (republika.co.id). Begitulah pesan Sayyidina Umar saat diangkat sebagai khalifah menggantikan Abu Bakar kepada bendahara yang memegang kunci baitul mal negara, sebuah lembaga pemerintah yang mengelola keuangan negara dan menjalankan fungsi sebagai bendahara negara.
Dalam Negarakertagama, saat masa Raja Hayam Wuruk memerintah Majapahit dengan didampingi Patih Gajah Mada telah membawahi 98 kerajaan di Nusantara, mulai dari Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, hingga sebagian wilayah Asia Tenggara. Majapahit memiliki perahu yang mampu menampung seribu prajurit dan seribu kuda, yang lebih besar dari perahu yang pernah digunakan oleh prajurit China era Jenghis Khan untuk ngeluruk Tanah Jawa. Hal ini tentunya harus ditopang oleh sistem keuangan negara yang baik dan bendahara kerajaan yang mumpuni. Dan sebelum Pangeran Sabrang Lor menyeberangi Selat Malaka untuk mengusir Portugis, prajurit Majapahit di saat terakhir kejayaannya pernah melakukan pengusiran yang sama di Malaka (Pramoedya Ananta Toer: Arus Balik).
Biaya untuk mendanai itu semua berasal dari pajak yang dibayar oleh rakyat Majapahit maupun rakyat tanah perdikan yang juga memberikan upeti kepada raja. Orang-orang di seluruh desa di seluruh negeri memberi dana pajak laksana air mengalir, dipersembahkan terus-menerus (negara kertagama dalam majalahpajak.net).
Dua ratus tahun yang lewat, Indonesiche Comptabiliteit Wet (ICW) atau Undang-undang Perbendaharaan yang ditetapkan oleh Pemerintahan Hindia Belanda pada 1864, proses penyusunannya telah melewati beberapa rancangan. Rancangan terakhir diajukan oleh Menteri Keuangan Fransen van de Putte, dengan tambahan klausul pada rancangan ketiga salah satu diantaranya adalah tuntutan ganti rugi kepada pegawai negeri dan kepada bendaharawan yang merugikan negara (bphn.go.id). ICW mulai diberlakukan pada 1 Januari 1867.
Setelah ditetapkan sebagai undang-undang, ICW juga mengalami beberapa kali perubahan oleh pemerintah Hindia Belanda, yang terakhir pada tahun 1925. Pada 1 Januari 1967 Pemerintah Republik Indonesia menetapkan ICW sebagai undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara.
14 Januari 2004, sembilan belas tahun berlalu, dengan berbagai pertimbangan yang salah satu diantaranya yakni bahwa Undang-undang Perbendaharaan Indonesia/Indische Comptabiliteitswet (Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448) sebagaimana telah beberapa kali diubah dan ditambah terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran Negara Tahun 1968 Nomor 53), tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, pemerintah menetapkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
Disamping ICW sudah tidak sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan zaman yang semakin terdisrupsi menuntut serba cepat, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 merupakan hasil pemikiran anak-anak bangsa dan disesuaikan dengan semangat Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan buah pemikiran para pendiri bangsa yang mencita-citakan kemerdekaan dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selamat Hari Bakti Perbendaharaan.