FWS
resah dan gelisah
menunggu di sini
-obbie messakh: kisah kasih di sekolah-
Belum selesai kepala kantor menyampaikan internalisasi tentang flexible working space (FWS), terdengar geremengan di sana sini, bisik-bisik tak jelas, menandakan keresahan dan kegelisahan dari pegawai yang hadir. Bila setiap meja boleh digunakan siapa saja, nanti bagaimana barang-barang pribadi pegawai, alat tulis yang biasa ditaruh di atas meja, berkas-berkas pribadi, komputer dan file yang tersimpan di dalamnya, dan seribu tanya yang menggantung di kepala masing-masing pegawai.
Tidak, tidak semua, dia tetap bergeming, tak sedikitpun terpengaruh dengan berita ini semua, tetap dengan ketenangan yang sama, seperti biasa, bahkan nafasnyapun tak berubah, hampir membikin iri para sejawat lainnya.
Selesai kegiatan internalisasi dan sembahyang asar sudah ditunaikan, aku menghampirinya di pojok kantin, di atas meja telah terhidang secangkir kopi hitam yang masih mengepul, meruapkan wangi kopi arabika, dan sepiring gorengan yang masih hangat.
“Pie Nda*,”sapaku membuka obrolan sambil berharap ditawari gorengan.
“Gimana apanya Nda,”dia menjawab dengan mengunyah sepotong tempe goreng.
“Itu tadi, kebijakan kantor pusat yang barusan diinternalisasi bapak-e, masa meja manapun boleh dipake siapapun, komputer juga sama, lha ga ada lagi barang-barang pribadi,”setengah jengkel aku menyahutnya, masih tak lepas pandanganku menatap tempe hangat yang memanggil-manggil.
“Namanya hal baru, kalo belum terbiasa kita akan canggung, belum bisa nerima bahkan mungkin menolaknya,”diseruputnya kopi panas dengan satu tegukan, kayaknya buat mendorong tempe yang masih tersangkut di tenggorokan.
Terdengar ketukan pisau menggilas talenan, kulihat mbak kantin di belakang etalase sedang memotong-motong sayuran, sambil mengelap keringat yang menetes di dahi dengan ujung kerudungnya.
“Tapi kan ga begitu juga to Nda, kita juga perlu sesuatu yang bersifat pribadi, khusus dipake sendiri, bukan rame rame, padhakne sandal musola dinggo bareng-bareng,”gerutuku sambil beranjak menghampiri mbak kantin memesan kopi pahit.
“Kamu kan tahu Nda, perubahan adalah keniscayaan bagi suatu organisasi yang senantiasa berkembang,”dia langsung membuka jawaban dengan kalimat yang seperti biasa tak perlu tanggapan.
“Sebenarnya, keadaan seperti ini sudah pernah dialami oleh mbah-mbah kita dulu, bahkan jauh sebelum Mbah Adam diturunkan ke bumi,” lanjutnya sambil mengunyah ote-ote. Aku hanya membatin, mulai ceramah ini, alamat bakalan sampai magrib.
Mbak kantin lewat membereskan piring dan gelas kotor di meja sebelah, akupun memesan seporsi tempe tahu.
“Nyapo pesen akeh-akeh,” dia menanyaiku, tak peduli wajah kesalku masih membayang jelas, akupun menyahut,”lha yaine arep ceramah, ngge tombo ngantuk”.
“Dapurmu,” tertawanya lepas, seolah lega membuatku kesal.
“Ora ngono Nda, dulu Mbah Adam pertama diciptakan Tuhan dan ditaruh di surga juga menghadapi hal-hal yang baru, sama sekali baru, maka Tuhan mengajarkan segala sesuatu kepada Mbah Adam, hingga paham dan tahu dan memiliki pengetahuan yang bahkan malaikat tidak menguasainya. Namun demikian setelah menyesuaikan dengan kondisi di surga, Mbah Adam merasa kesepian dan Tuhan memberinya pendamping, Mbah Hawa, yang memberi jalan kepada iblis untuk menggodanya hingga harus dibuang ke bumi kita sekarang ini”.
Aku menyeruput kopi yang semakin terasa pahit, terus menyimak omongannya yang mulai memanas.
“Di bumi, Mbah Adam dan Mbah Hawa harus terpisah sejauh timur dan barat, yang berarti beliau berdua harus mengalami, sekali lagi, kondisi normal baru karena perubahan dari surga ke bumi, yang tentunya sangat jauh berbeda, dan nyatanya Mbah Adam dan Mbah Hawa bisa mengatasinya”.
Aku sedikit mengangguk sambil meniup tahu panas yang baru dihidangkan mbak kantin.
“Tahu ga Nda, kondisi di surga itu seperti kita di kantin sekarang ini,” lanjutnya seolah pernah mampir di surga,”pengen apapun tinggal tunjuk, kalo di surga yang nyediain malaikat, di sini mbak kantin yang nyiapin ha…ha…ha…”, tawanya lepas mengagetkan cicak yang sedang menunggu nyamuk datang.
“Dan kondisi-kondisi seperti itu, mengalami perubahan mendadak dan belum pernah punya pengalaman sama sekali, senantiasa dihadapi oleh para nabi. Nabi Ibrahim harus menyesuaikan dengan kondisi Mekah, yang jangan dibayangkan seperti sekarang ini, membangun Kabah kemudian meninggalkan anak dan istri di tanah yang bahkan tanamanpun enggan untuk singgah, apalagi hewan dan manusia”, dia nyerocos semakin tak terbendung.
“Nabi Yunus tinggal di dalam perut ikan selama 40 tahun, bahkan ada yang meriwayatkan lebih, dengan kondisi gelap gulita, tak tahu ndi lor ndi kidul, hingga terucap doa yang sangat masyhur terutama bagi kita yang sedang dilanda kepengapan, kegelapan dalam hidup, baik ekonomi, sosial, budaya maupun politik. Namun tak banyak yang percaya bahwa munajat ini ampuh untuk mrantasi kegelapan semacam itu”.
“Nabi Yusuf semasa balita disayang-sayang oleh ayahnya, namun menginjak remaja hingga dewasa mesti menjalani hidup terlunta-lunta, karena kedengkian saudara-saudaranya, terhina menjadi budak yang diperjualbelikan seperti barang dagangan, hingga Allah membukakan jalan dibeli dan diangkat anak seorang pembesar Mesir. Dan belum berhenti sampai di situ, karena fitnah wanita, Nabi Yusuf mesti menjalani hidup di penjara, bertahun-tahun, pada akhirnya beliau diangkat menjadi bendahara negara, nha ingat ini Nda, hanya jabatan bendahara yang ada di Al-Quran, maka banggalah jadi bagian perbendaharaan negara”.
Aku mengangguk mulai terasa bosan, mau menguap sudah terganjal kopi pahit.
“Ya sudah ga usah jauh-jauh, waktu maupun lokasinya, kita cerita yang dekat kita saja. Kerajaan Majapahit, Raden Wijaya membuka hutan Tarik mendirikan Majapahit, menjadi imperium besar yang disegani di seluruh dunia, bahkan Jenghis Khan yang mengalahkan Bagdad, menghancurkan Eropa, menundukkan China, bertekuk lutut di bawah Majapahit. Bagaimana Raden Wijaya menghadapi hal-hal baru saat membangun kerajaan di awal-awal dulu, tak usah kau bayangkan, ra nyandhak utekmu”.
Aku pura-pura mengerti.
“Kau ingat saat Bung Karno dan Bung Hatta memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia, para pendiri bangsa juga mengalami perubahan menghadapi hal baru, belum punya bekal apa-apa untuk mendirikan negara, bahkan banyak gedung pemerintahan, aset negara yang masih dalam genggaman Belanda dan Jepang, dan beliau-beliau menghadapinya dengan keyakinan demi masa depan bangsa dan negara, berdiri di atas kaki sendiri, dan dengan teguh meneriakan go to hell with your aid, ga patheken lek bosone dewe, demi harga diri dan martabat bangsa, jangan sampai diinjak-injak bangsa lain yang tak mau menaruh hormat dengan kita. Dan itu semua adalah hal-hal baru yang harus dijalani founding father”.
Deras seperti Grojogan Sewu, aku tak kuasa membantah maupun menyela, kunikmati saja tahu hangat yang senja itu terasa agak sedikit keras, tidak seperti biasanya.
“Yo wis, diri kita sendiri saja, Kamu ingat waktu pertama ditempatkan di luar Jawa, jauh dari sanak kadang, neng alas gung liwang liwung ibarate, kita bisa menyesuaikan dengan hal baru, suasana baru, teman baru, lingkungan baru. Ingat nggak, ada yang menyambut kita dengan antusias, ada biasa saja, bahkan ada yang iri dengan kedatangan kita, ditambah lagi kita berdua lulusan STAN yang pertama ditempatkan di situ, bertambahlah ketidaksukaannya dengan kita”.
Aku mengangguk mengiyakan, meski tetap dengan rasa kesal, tahunya masih keras digigit.
“Dan Kamu tentu masih ingat, bagaimana cara kita melunakan hati si bapak yang iri dengan kita. Kau ajak aku main ke rumahnya, kita bawain oleh-oleh dari kampung, kita sangoni anak-anaknya meski seribu duaribu rupiah, kita bantu beliau saat rumahnya kemalingan, dan pada akhirnya betapa baiknya beliau dengan kita, bahkan melebihi yang lain, yang sudah menerima kita duluan”.
Rasanya seperti menyaksikan video diputar ulang, bahkan wajah si bapak masih terbayang jelas di depan mata, oalah apa kabar mereka semua.
“Hingga saat kita pamitan karena mutasi ke ibu kota, apa yang dilakukan si bapak dan teman-teman yang lain”.
“Awake dewe diterne neng terminal, disangoni macem-macem,” sahutku sambil menelan potongan tahu yang mulai terasa lembut.
“Nha yo kelingan ngono,” ujarnya sambil menyenggol pundakku. Aku hanya tersenyum sekilas, semoga dia ga melihatnya.
“Yang jelas kebijakan dari kantor pusat, pasti sudah dipikirkan masak-masak oleh orang-orang pintar di sana, pasti sudah dilakukan survei opo kajian po pie mbuh ga ngerti aku, ga semata-mata koyok membalik telapak tangan”.
“Jadi ga usah terlalu dipikirkan, gitu aja kok repot”.
Gundulmu kui, aku hanya bisa mengumpat dalam hati Gusdurian yang satu ini.
“Wis ra sah dipikir, sing penting engko bengi nongkrong neng endi, eneng warung kopi anyar sampinge terminal, nonton po pie, yuk sudah azan itu”.
Langit semakin merah.
Catatan:
- Pie Nda: bagaimana Nda (nda merupakan panggilan keakraban wilayah Jawa Timur sebelah barat)
- padhakne sandal musola dinggo bareng-bareng: disamakan dengan sandal musola dipake bergantian, bersama-sama yang lain
- Nyapo pesen akeh-akeh: buat apa pesan banyak
- lha yaine arep ceramah, ngge tombo ngantuk: kyai akan menyampaikan ceramah, buat obat ngantuk
- Dapurmu: umpatan cinta kepada sahabat yang sudah seperti saudara
- Ora ngono Nda: tidak begitu Nda
- ndi lor ndi kidul: mana utara mana selatan, sebuah ungkapan yang menyatakan apabila yang bersangkutan memiliki pengetahuan sama sekali dengan yang dihadapi di suatu daerah
- ra nyandhak utekmu: tidak akan sampai pemikiranmu
- go to hell with your aid: teriakan Bung Karno menanggapi maksud amerika untuk memberikan bantuan kepada indonesia namun dengan persyaratan yang melukai harga diri bangsa
- ga patheken lek bosone dewe: tak peduli apabila dalam bahasa kita (jawa)
- neng alas gung liwang liwung ibarate: di hutan yang belum terjamah manusia
- sangoni: memberi sangu berupa uang atau bekal
- Awake dewe diterne neng terminal: kita diantar ke terminal
- yo kelingan ngono: ingat gitu lho
- po pie mbuh ga ngerti aku: entahlah tidak mengerti aku
- Wis ra sah dipikir, sing penting engko bengi nongkrong neng endi, eneng warung kopi anyar sampinge terminal, nonton po pie: tak usah dipikirkan, yang penting nanti malam nongkrong di mana, ada café baru di samping terminal, atau nonton
- Langit semakin merah: penggalan syair lagu God Bless (Anak Kehidupan)