Andai
syawwal artinya meningkat
-k.h. rizal zakaria: halal bi halal kppn kediri-
Andai seluruh bulan adalah Ramadan, ada hal-hal yang tidak ada dan tidak ditemui kecuali di bulan Ramadan.
Pulang 15.30
Bila hari-hari di luar bulan Ramadan jam pulang kantor pukul 17.00 waktu setempat, ketika Ramadan tiba, kita bisa pulang pukul 15.30, dengan waktu buka sekira 17.30-18.00, masih terdapat jeda panjang untuk sampai ke saat kita dibolehkan makan dan minum menandakan bahwa waktu berbuka telah tiba. Minimal tiba di rumah saat lampu belum dinyalakan, mengingat mentari masih menyinarkan cahyanya, belum tertutup malam, dan kita bisa menikmati senja dengan ngabuburit/ngabuburide/ ngabuburead, sebuah kegiatan positif sambil menunggu bedug magrib, atau sekadar jalan-jalan sore (JJS) membeli cemilan, penganan, jajanan sebagai persiapan berbuka.
Inilah yang masih menjadi pertanyaan besar hingga hari ini, di saat Ramadan kita diharapkan menahan lapar dan haus, yang artinya mengurangi kadar serta volume makan dan minum, namun di satu sisi biaya konsumsi untuk pembelian makanan dan minuman lebih tinggi/meningkat di bulan Ramadan dibanding di bulan-bulan yang lain. Hingga pemerintahpun saat bulan Ramadan tiba memberi perhatian khusus/tersendiri terhadap ketersediaan dan harga kebutuhan pokok, dalam rangka mengurangi gejolak di masyarakat bila harga dan ketersediaan kebutuhan pokok berkurang atau langka, sehingga harga menjadi melambung jauh terbang tinggi (anggun c. sasmi).
Banyak tumbuh tangan di bawah, namun tangan di atas juga lebih banyak
Sudah jamak terjadi, saat bulan Ramadan tiba banyak bermunculan tangan di bawah, di pasar, perempatan, di tempat ibadah, kendaraan umum, pinggir jalan bahkan di tempat wisata dan rekreasi. Namun demikian jamak pula saat yang di bawah bertambah banyak, entah bagaimana tangan-tangan yang bergerak di atas juga tambah banyak, malahan lebih banyak.
Itu semua tak lepas dari nilai kemanusiaan yang ada dalam diri, tak peduli apa yang dicari, karena yang ada hanya memberi, bukan sekadar ingin berbagi, namun lebih kepada itulah bekal menempuh perjalanan panjang tiada bertepi.
Dan ketika sudah menjadi kebiasaan selama satu bulan, keberlanjutan atas hal-hal baik akan semakin mudah dan ringan menjadi hal biasa dalam hidup sehari-hari. Dan bila telah menjadi hal biasa, maka tak akan ada lagi riya, iri, dengki, meri, resah, kawatir dan anasir negatif yang lain.
Rasa gembira tak terkira
Tak terkecuali yang telah beranjak dewasa, anak-anak kecilpun merasakan kegembiraan yang tidak akan ditemukan pada bulan-bulan di luar Ramadan. Yang masih dalam tahap belajar melaksanakan puasa akan menunggu bedug Magrib dengan harap-harap cemas, kapankah suara merdu bedug terdengar, semakin mendekati waktu magrib, waktu terasa berjalan sangat lambat, berhenti bahkan.
Apalagi sejak setelah salat Asar ditunaikan, ibu sudah menyiapkan bermacam aneka makanan di meja, makanan dan masakan yang tidak ditemui di hari-hari di luar Ramadan, dengan warna, keharuman, bentuk, model, wadah dan tempat yang menambah selera seolah-olah begitu Magrib tiba, ingin rasanya melahap itu semua. Namun apa daya, terbasuh satu gelas air melewati tenggorokan, tiba-tiba hilang sudah keinginan untuk tak menyisakan apapun yang terhidang di meja.
Kegembiraan saat berbuka, berlanjut dengan kegembiraan lainnya, bersegera ke rumah ibadah, langgar, musola, masjid, tempat berkumpul dan bercengkerama dengan sahabat sebelum imam memasuki mihrab mengajak menjadi hamba yang tak punya daya suatu apa.
Masih dengan gembira di dada, meneriakkan jawaban salawat kepada Kanjeng Nabi pertanda tarwih siap dimulai, suara amin menggelora serasa meruntuhkan atap, membuyarkan kekhusyukan baris paling depan yang sedikit geram, namun hanya bisa mengeluh dalam diam.
Bahkan penjaga parkir kendaraan rumah ibadah di wilayah paling selatan negeri, berbatasan dengan Australia mengabarkan, “Enak pak ya kalo bulan puasa”, karena kendaraan yang dijaganya melimpah ruah, saban hari sebulan penuh tanpa terkecuali, silakan hitung berapa pundi-pundi yang menggembungkan kantongnya.
Ekonomi berjalan
Ramadan tiba diikuti dengan tingkat kemunculan pelaku usaha mikro kecil dan menengah yang menjamur, memberikan warna tersendiri bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi di masyarakat. Makanan jadi, siap saji, jajanan pembuka, perlengkapan ibadah laki perempuan, mukena, baju koko, gamis, sarung, kopiah, menjadi pemandangan sehari-hari.
Warung bakso yang biasa sepi pembeli, saat Ramadan tiba, ramainya seolah sang penjual tak kuasa melayani, belum lagi penyedia sayur matang, lauk pauk, goreng-gorengan, cemilan ringan, semua dengan geliat yang tak terkira.
Ramadan menjadi pemicu bagi pelaku usaha atau yang akan menjalankan pemasaran, baik yang baru saja maupun yang telah menempuh jalan perdagangan sebagai jalan suci memenuhi diri dengan kegiatan positif selama bertahun lamanya.
Ramadan seolah menyiarkan, inilah waktunya, inilah saatnya bagi siapa saja yang akan memulai usaha, menjadikan jual beli sebagai bagian memenuhi panggilan rezeki yang telah dipastikan turun dari sisi ilahi, manusia sebatas menjalani.
Rasa Ramadan
Ada rasa yang berbeda saat Ramadan tiba, kedamaian dan ketentraman seolah menyelimuti hari-hari, di rumah, di jalan, di kantor, tempat kerja, tempat nongkrong, apalagi di tempat ibadah, semua menandaskan ada yang lain, ada yang tak biasa hari-hari ini.
Algoritma yang biasa mengepung kehidupan sehari-hari penuh dengan rasa Ramadan, meski tetap saja ada hoaks, ada fitnah, ada bad news is good news, ada pamer, ada pamrih, namun terserap dengan rasa Ramadan yang seolah menyatakan berhenti dulu sejenak saja, untuk kembali menata dan menghitung diri, setelah sebelas bulan dihantam dengan algoritma materialisme.
Yang tak kalah menggembirakan, libur panjang yang ditetapkan pemerintah sebagai bagian memberi kesempatan kepada pelaku Ramadan untuk berdekat-dekat, merayu-rayu Tuhan, mengemis-ngemis, ndlosor menyurukkan kepala kita di bawah telapak Tuhan, setelah sebelas bulan kita menyapa seadanya dan seperlunya.
Dan ini baru sebatas hitung-hitungan duniawi yang pasti tak berhenti hanya di sini, belum hitungan secara ukhrawi, “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula)” (Al-Kahfi: 109).