Bangkit
Satu nusa
Satu bangsa
Satu bahasa kita
-liberty manik: satu nusa satu bangsa-
Tahun 1596 pertama kali bangsa Belanda menginjakkan kaki di bumi Indonesia, dipimpin oleh Cornelis de Houtman, dalam rangka mencari rempah-rempah, dengan tujuan akhir mengeruk dan menimbun laba, -karena adanya akuntansi rugi laba- (E.S. Ito: Negara Kelima). Sejak itu era penjajahan dimulai, Nusantara yang terdiri dari banyak suku bangsa dan terhimpun dalam berbagai kerajaan dan kesultanan harus berjibaku melawan hegemoni Belanda, dan mereka tak lebih dari pelaut miskin, pedagang bangkrut yang nyaris mati kena penyakit sariawan dalam perjalanan panjang menuju Batavia. Setiba di pelabuhan, para gembel itu mendapati diri mereka berubah menjadi makhluk mulia (Iksaka Banu: Rasina).
Satu demi satu, putra-putra terbaik bangsa mengangkat senjata, mencoba untuk mengusir para durjana dari nusa tercinta, namun semua membentur tembok tebal setinggi angkasa. Pengkhianatan, ketidakbersatuan, kekurangcermatan, kesalahan dalam melangkah, persekongkolan, manusia yang mementingkan diri dan kelompoknya, menjadikan langkah perjuangan seperti menebas angin pagi, berlalu bersama waktu.
Perang Jawa yang dipelopori oleh Pangeran Diponegoro merupakan titik pijak perjuangan bangsa Indonesia, berbalik dari perjuangan mengokang senjata menjadi perjuangan memegang pena. Akibat perang Diponegoro, Belanda hampir bangkrut, hingga dicetuskan politik etis oleh C. Th. Van Deventer sebagai kritik terhadap politik tanam paksa, yang dicanangkan Belanda untuk mengembalikan kerugian setelah selama lebih kurang lima tahun digempur pasukan Pangeran Diponegoro (historia.id dan id.wikipedia.org).
Pemikiran politik etis menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kesejahteraan bumiputera. Sejak itu anak-anak bangsa mulai memasuki sekolah-sekolah Belanda, menjadi manusia-manusia yang melek dan memahami kondisi dunia, serta berani mencetuskan ide cita-cita Indonesia merdeka.
20 Mei 1908 sekelompok pemuda yang sedang belajar di STOVIA (School tot Opleiding van Indische Arsten), sekolah bagi para calon dokter, berkumpul dan mendirikan organisasi Budi Utomo. Digagas oleh dr. Wahidin Sudirohusodo yang berkeliling Jawa, mencari dana untuk membiayai anak-anak pintar namun tak mampu membayar sekolah. Bertemu dengan dr Sutomo yang sangat mengaguminya, dan mengusulkan agar kegiatan ini diperluas tidak hanya di bidang pendidikan, namun juga pertanian, peternakan, perniagaan, industri hingga kesenian.
Sebuah langkah berani, di tengah kekangan pemerintah kolonial Belanda yang masih menyayangi bumi Nusantara agar tidak lepas dari cengkeraman kuasa penjajahan. Tak pelak kondisi ini membuat pemerintah Belanda gusar, karena satu titik terang Budi Utomo menumbuhkan cahaya yang lain, yang menerangi negeri katulistiwa.
Sarekat Islam, yang sebelumnya bernama Sarekat Dagang Islam dicetuskan K.H. Samanhudi pada 16 Oktober 1905, di bawah H.O.S. Cokroaminoto menjadi Sarekat Islam, awalnya membawahi para pedagang batik, namun meluas menjadi organisasi politik.
Indische Partij, 25 Desember 1912 digawangi Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setiabudi), dr Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara), dianggap sebagai peletak dasar politik Indonesia, sudah mencita-citakan kemerdekaan, hingga diberangus oleh Pemerintah Belanda dan menjadi organisasi terlarang.
Perhimpunan Indonesia, yang sebelumnya bernama Indische Vereeniging (1908), dengan tokoh utama Muhammad Hatta, Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat.
Mei 1914 Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV) sebagai cikal bakal Partai Komunis Indonesia, didirikan oleh Henk Sneevlit sebagai Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda.
Partai Nasional Indonesia 4 Juli 1927, siapa lagi kalo bukan Bung Besar bersama Gatot Mangkoepradja, Maskoen dan Supradinata yang akhirnya ditangkap Belanda, karena sudah menyuarakan Indonesia merdeka.
Muhammadiyah 18 November 1912, Sang Pencerah K.H. Ahmad Dahlan sebagai tanggapan atas saran Budi Utomo untuk memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya.
Dan pada 31 Januari 1926 Nahdhatul Ulama, dipimpin Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asyari bergerak dalam bidang pendidikan dengan mendirikan pesantren Tebuireng, dan menjadi organisasi Islam terbesar di dunia.
Namun jauh sebelum kebangkitan bangsa Indonesia lewat organisasi dan partai politik, ribuan tahun yang lewat, di jazirah Arab, Allah telah membangkitkan bangsa jahiliyah yang penuh kegelapan dan kemungkaran lewat Nabi Muhammad SAW menuju cahaya yang menerangi alam semesta.
Bukan, bukan takut karena didatangi Malaikat Jibril yang membawa wahyu, bacalah, yang membuat Sang Nabi terkasih berlari pulang ke rumah dan minta segera diselimuti oleh istri tercinta, Bunda Siti Khadijah, karena semua telah dipersiapkan oleh Tuhan jauh sebelumnya. Bahkan tak terbit rasa takut sedikitpun ketika masih kanak-kanak saat didatangi dua malaikat yang membelah dada untuk membersihkan hati dari anasir kegelapan dan ketidakbaikan.
Lebih dari itu, betapa berat dirasa tugas yang diemban, yang bahkan gunung dan langitpun tak sanggup menyangganya.
Hai orang yang berkemul (berselimut), bangunlah (bangkitlah) lalu berilah peringatan.
Bangkitlah, singkirkan selimut itu, selimut kemungkaran, selimut keterbelakangan, selimut ketidakbaikan, selimut kebodohan, selimut kejahiliyahan, selimut yang membuat terlena, selimut dunia yang membuat lupa dengan Tuhan, selimut berhala yang nyata dan yang maya.
Selimut apa saja yang membuat manusia tidak segera tergerak untuk melakukan kebaikan, menumbuhkan keindahan, kebijaksanaan, kemaslahatan, kebermanfaatan.
22 Mei 2023 upacara memperingati Hari Kebangkitan Nasional dilaksanakan di halaman KPPN Kediri, diikuti segenap pegawai Kemenkeu Satu, DJBC (KPP BC TMC Kediri), DJPb (KPPN Kediri), DJP (KPP Pratama Kediri dan KPP Pratama Pare).
Dalam amanah yang dibacakan Kepala KPPN Kediri Bapak Nurwedi Tjahjono sebagai Inspektur Upacara, Menteri Keuangan RI menyampaikan pesan, tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah. Bangkit dengan lebih memberi manfaat kepada yang lain, daripada hanya sekadar menjadi penerima, singkirkan selimut ketidakpedulian, kecuekan, keegoisan.
Bukan untuk mengharap balasan yang setimpal, bukan juga pahala yang melimpah, atau bahkan untuk nama yang semakin tenar. Lebih dari itu, sebagai wujud dari jangan pernah lelah mencintai Indonesia, karena kita ditakdirkan lahir, hidup dari tanah, air dan udara negeri tercinta Indonesia.